Memang, sejak bulan Oktober-November, pemerintah mencanangkan pemulihan pariwisata Bali dengan gerakan yang 'gila-gilaan', mengerahkan banyak tokoh publik, artis dan bahkan sejumlah pertemuan tingkat tinggi, agar pariwisata pulau kecil ini kembali bergigi. Pak Menteri Pariwisata Wisnutama, tampak secara langsung memimpin program di garis depan. Mengingat kuartal III pertumbuhan ekonomi Bali minus 12,28 %, tertinggi di antara provinsi lainnya, maka program membawa Bali hidup kembali seolah keniscayaan yang perlu segera dieksekusi.
Sampai di sini.. cerita seolah berakhir happy ending.
Tapi bak drakor yang belakangan sering saya tonton dengan twist-nya yang penuh kejutan, hal itu pula yang kemudian terjadi.
Surat Edaran no 2021 tahun 2020 dari Gubernur Bali 'bersafari' dari satu grup WA ke grup WA yang lain. Isinya, mempertegas kebijakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pak Luhut, bahwa wisatawan yang hendak ke Bali mulai 18 Desember 2020, wajib PCR dan tes rapid antigen H-2.Â
Kewajiban tes usap (swab) polymerase chain reaction (PCR) bagi yang melalui jalur udara. Alhasil, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sebagaimana disampaikan CNN, mengungkapkan jumlah transaksi pengembalian (refund) tiket wisatawan yang hendak berkunjung ke Bali mencapai Rp 317 miliar. Jumlah itu berasal dari 133 ribu tiket pesawat.
Padahal sebelumnya, pemerintah sudah memangkas libur panjang, dan pemerintah DKI sendiri belakangan tidak mengizinkan pegawainya cuti di akhir tahun. Berbagai stimulus dari pak Wisnutama dengan mendorong orang berlibur, berhadapan dengan berbagai pengetatan dari pemerintah pusat yang ngerem agar warganya sulit berlibur. Pada gilirannya, perekonomian Bali yang menjadi tumbal. Diperkirakan, dampak kebijakan pemerintah yang mengetatkan syarat berlibur ini, mencapai Rp. 967 miliar.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran dalam wawancaranya disebuah televisi pun menyampaikan, yang justru membayar pengorbanan dari kebijakan yang bersilang ini, adalah pelaku usaha --khususnya, dibidang pariwisata sendiri.
Dalam wawancara eksklusif antara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi, beliau dengan tegas menyatakan bahwa kesehatan adalah prioritas utama, bukan ekonomi apalagi politik. Kebijakan lockdown yang tidak menjadi pilihan, sebagaimana disampaikan dalam wawancara tersebut, dinilai tepat oleh Presiden dengan dalih agar tak membayar biaya hidup masyarakat miskin yang terdampak kebijakan ini.
Namun apa yang kemudian terjadi selama 9 bulan terakhir, layaknya pertunjukan 'pembangkangan' (ada diksi yang lebih sopan untuk ini, namun saya enggan menggunakannya karena alasan emosional) baik antara pemerintah sendiri, maupun pada misi yang dicanangkan.
Pembangkangan Perdana
Dalam catatan saya, Wali Kota Tegal, Jawa Tengah, Dedy Yon Supriyono adalah orang pemerintahan pertama yang melakukan 'pembangkangan' atas kebijakan pusat, ia memutuskan untuk mengambil kebijakan lokal dengan melakukan lockdown, Â menutup akses keluar masuk kota yang ketika itu ia canangkan selama 4 bulan.