Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Misteri Kebun Karet di Desa Rejowinangun

7 Januari 2021   13:37 Diperbarui: 8 Januari 2021   04:45 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Bobo.ID - Grid.ID Kisah Petani Karet - Semua Halaman - Bobo

Pagi tadi kebetulan aku ingin mengurus SIM Kendaraan bermotor, maklum sudah hampir sepuluh tahun SIM mati. Biar nanti jika pas ada keperluan ke kota tidak celingukan kaya orang edan. Main kucing-kucingan dengan aparat kepolisian. Awas jangan ditiru lho!

Pada saat melewati desa Rejowinangun inilah ingatanku kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu. Saat aku sedikit merajai "dunia malam". Hati-hati lo, jangan salah sangka. Ini dunia malam betulan bukan dunia remang-remang.

Desa Rejowinangun memang aga jauh dari tempat tinggalku sekarang. Sekitar 30 menit jika naik motor pelan. Kalau sekarang lebih enak, hampir semua jalan beraspal. Kendaraan bisa meluncur deras tanpa hambatan.

Ada sih beberapa lobang, tapi maklumlah dibanding  sepuluh tahun lalu. Yang namanya motor, lebih banyak kita yang mendorongnya dari pada motornya yang kita tunggang.

Sebelum ada perkebunan kelapa sawit yang mengelilingi sebagian besar desa, dahulunya kebun karetlah yang jadi primadona. Makanya wajar jika banyak kebun karet.

Alkisah, ketika itu saya berdua dengan teman asli warga desa Rejowinangun memiliki hobi yang sama. Begitulah, orang akan menjadi sahabat dengan salah satu alasannya karena memiliki hobi yang sama. Saya suka mancing. dia suka mancing. Tak perlu ba bi bu. klop saja jadinya.

Wilayah Desa Rejowinangung memang orang-orang menyebutnya sebagai kawasan kaki gunung meratus. Walau sangat jauh dari pegunungan meratus yang sebenarnya. Perbukitan itulah ciri khas dari kawasan ini.

Hanya sedikit orang yang tau kalau ternyata di bawah tanah, di sela-sela batu yang tertutup dataran pegunungan ini ada sungai mengalir di bawahnya. Warga asli hafal betul tentang hal ini.

Kalau saya berkata, "Tak mungkin ada ikan jika tak ada airnya." Begitulah mungkin yang warga masyarakat desa Rejowinangun pikir.

Jadilah kebun karet menjadi lahan pemancingan. Khusus bagi mereka yang punya nyali besar tentunya. Ikan dalam sungai goa (saya menyebutnya) ini adalah kelompok ikan nokturnal, beraktifitas di malam hari. Jadi jangan berharap dapat ikan jika mancingnya pagi atau siang hari. Kecuali ada ikan yang nyidam saja. Begitu ungkapan mereka.

Ketika itu memang sejak pagi hari hujan deras. Biasanya jika selepas hujan begini, ikan akan berkeliaran bahkan sejak sore hari. Tapi boss! Nyamuknya maklum banyaknya. Tidak lagi satu satu datangnya. Kalau hanya satu dua, di geblok mati. Ini harus dipurut baru mati sekaligus.

Tapi namanya "lingsang", sejenis hewan yang sering disebut berang-berang begitu almarhum ibuku memberi gelaran kepadaku. Karena hobi mancing yang keterlaluan. Hampir tidak ada hari tanpa mancing. Coba aja sehari nggak mancing pasti linglung katanya, seperti orang gila. Kelewatan emang almarhum ibuku itu.

Bila ada kesempatan mancing apalagi harapan mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar serta ikan jenis yang sulit dipancingi memang memiliki sensasi tersendiri. Bahagianya tak tertandingi dengan apa pun.

Ada pun jenis ikannya adalah ikan lembat, lele, keting, baung, lampuk, kalau lagi apes dapat belut tanah. Gak tanggung-tanggung kalau belut tanah ini. Beda dengan belut sawah, rakusnya minta ampun serta besar sekali. Saya pernah dapat sebesar betis. Setengah jam lebih baru belut naik.

Sore itu entah mengapa, hanya saya dan teman saya yang mancing di tempat itu. Kebun karet itu memang kebun karet temannya temanku. Jadi walau tak meminta izin pasti diizinkan. Kalau orang jauh biasanya harus minta izin. Kebiasaan karet hasil sadapan hilang.

Karena hanya berdua, walau masih senja seperti sudah hampir malam. Remang-remang. Mau dinyalakan senter padahal masih senja. Tidak dinyalakan senter memasukkan umpan ke dalam lubang rada repot. Kalau tetap memaksa dinyalakan juga, malu lah jika ada orang yang lewat. Mosok masih sore sudah menyalakan sintar.

Tiba-tiba saja, semut salimbada (semut hitam besar) sudah berkerumun di dekat kaki, entah dari mana datangnya langsung menggigit dan skaitnya sakit sekali. Mereka yang pernah digigit semut salimbada pasti akan tau rasanya seperti apa.

Perasaan saya sudah tidak biasa ini. Jarang-jarang ada semut salimbada di dataran tinggi begini. Kadang juga yang ada biasanya di tepian sawah, pertanda akan segera musim hujan dan tanah tersebut terendam air.

Saya pun menjauhi tempat itu. Jarak saya dan teman saya memang tidak berdekatan. Masing-masing punya spot idaman bersasarkan pengalaman memancingnya. Namun masih di kebun yang sama.

Kadang-kadang suara teman saya terdengar jelas, biasalah mengusir sepi sambil bersenandung larik-larik uyon dalam bahada saja. Kadang-kadang mengherutu sendiri. Seperti bercakap-capak. Sama juga yang saya lakukan. Bercapak-capak dengan diri sendiri. Edan memang!

"Sudah dapat belum, Lek?" tanya dua perempuan setengah baya dan anaknya mungkin menghampiri saya.

Gerrrr!!!! Bulu kuduk saya tiba-tiba berdiri. Belum selesai urusan dengan semut salimbada dan spot pancing yang sulit ditembus ikan. Dikagetkan dengan suara orang. Perempuan pula. Gak mungkinlah kalau kuntilanak, wong masih senja. Biar pun mendung, tetap saja belum waktunya kuntilanak datang.

"Belum. Lagi mulung ya!"

"Inggih,Lek. Esok pagi mau timbangan," jawabnya sambil berlalu ke arah temanku.

Heran juga memang, kalau mereka tadi orang mengapa bulu kudukku nggak mau turun. Tetap aja berdiri. Berkali-kali saya usap, tetap saja. Ini ada apa? Mereka siapa? Di tempat temanku tak ada suara sapa menyapa. Padahal harusnya mereka sudah sangat akrab. Wong mereka tetanggaan.

Untuk menghibur diri, maka saya yakinkan saja bahwa mereka berdua memang isteri dari pemilik kebun karet ini sedang memunguti karet sadap untuk ditimbang kepada pengepul esok siang.

Lagi asyik melamun, tiba-tiba senar pancingku ditarik dari bawah.

"Wiuhk!! Ikan besar ini," teriakku

"Dapat, Mas?" sahut temanku dari kejauhan.

"Mbuh ki, Abot pisan!"

Jangan-jangan lele besar. Atau lembat besar nih. Rejeki nomplok. Belum malam sudah disambar ikan.

Setelah sekian menit berjibaku menarik dan melombar senar pancing. Ikan pun menyerah. Lembat tiga jengkal panjangnya naik ke permukaan.

Enak jika dibakar, direndam ke santen pedes-pedes ini!

"Gimana, Mas!"

"Dapat dong! Siapa dulu. Lingsang, pengalaman," sahutku berbangga diri.

Hari mulai gelap. Senter sudah melomgkar di kepala. Saya baru dapat satu ikan.

"Cuk! Gimana?" tanyaku

"Belum dapat, Lek!"

"Sudah mulai malam lo. Ke sini, biar nyamuknya kita bagi-bagi."

Terdengar temanku membereskan alat pancingnya. Sejurus kemudian kami sudah berdekatan.

"Kamu sedang bermusuhan ya sama keluarga yang punya kebun ini?" tanyaku

"Pakde Sastro ya? Nggak lah. Wong dia orangnya baik. Buat apa juga bermusuhan denganya. Rugi tuh punya musuh, walau satu juga."

"Terus kenapa tadi sama isteri dan anaknya yang mulung itu nggak saling sapa?"

"Isteri dan anak? Ngamur kamu, Mas. Isteri dan anaknya sudah lama tiada."

"Lah! Yang lewat sini dan mulung tadi siapa?"

"Ngawur kamu, jangan menakut-nakuti lah. Jangan bercanda. Pamali lo."

"Beneran! Aku tadi ketemu mereka."

"Ngarang itu namanya. Masih sore, Lek. Nggak bakalan ada kuntilanak si sini. Apalagi genderuwo. Wedok pula."

Saya langsung diam, temanku serius berarti tak melihat dan berpapasan dengan mereka. Beberapa kali tangan saya menyapu leher menurunkan bulu kuduk yang tak mau juga kembali.

Sambil menanti umpan ditarik ikan lagi, pikiran saya masih mengembara ke alam antah berantah. Wong selama ini saya paling tidak percaya dengan adanya penampakan. Yo mosok, saya ditemukan dengan mereka.

Tiba-tiba temanku berdiri, sebelumnya kami jongkok menghadap lobang spot mancing.

"Dapet kayanya ini. Gede, Lek! Tarikannya kuat banget. Putus nggak ya senarku."

"Yo hati-hati ben nggak putus. Harus dapat lah."

"Ya ampun, Lek! Tarikannya kian kuat. Gimana ini?"

Tarik lombar pun terjadi. Saking penasarannya sampai senar pancing di tangan saya lepaskan. Fokus menyaksikan teman saya dapat ikan.

Setelah beberapa menit, rupanya ikan menyerah juga. Kalah berperang melawan kegesitan teman saya.

Begitu kepala ikan lembat besar naik ke permukaan lobang dia mulai tuh keluar susumbarnya, "Mosok pemancing mania dilawan!"

Tapi alangkah terkejutnya saya begitu sampai seluruh badan ikan tersebut naik ke permukaan. Separo badannya tidak ada! Bagian tengah badannya berceceran darah segar.

"Edan! Edan! Dimakan belum paling ini, pantes berat banget."

Temanku sih biasa saja. Tak ada raut takit atau sejenisnya. Barangkali ia sudah biasa bertemu dengan ikan hasil pancingan yang hilang separo. Tetap saja sisanya dibawa pulang. Saya saja yang penakut mungkin, pikirku dalam hati.

Tapi memang, bulu kudukku sejak senja bertemu dengan dua orang perempuan tadi hingga saat saya mengajak temanku pulang tak henti-hentinya berdiri. Daripada mendapatkan petaka, lebih baik pulang.

"Pulang yuk!"

"Aku baru dapat separo ki lho. Seekor lagi saja biar ada yang genap tubuhnya baru pulang. Apa kata isteriku kalau cuma dapat separo."

"Yo wis, punyaku saja ambil. Aku masih ada kok ikan kemarin. Masih hidup."

Kami pun pulang dan semenjak itu saya tak berani lagi menginjakkan kaki mancing di kebun karet itu. Meskipun gak makan ikan setahun, kalau diminta mancing di tempat itu lebih baik menyerah.

Coba saja jika diteruskan, malam akan semakin larut. Dan gelap pasti akan semakin gelap. Dalam gelap siapa tau ada bahaya mengancam. Soal semut salimbada saja tak saya ceritakan ke teman saya. Apalagi soal bulu kuduk yang selalu berdiri. Biarlah jadi rahasia saya sampai mati.

Ya malu dong. Mosok "lingsang" takut sama mahluk yang begituan. Padahal sudah ngaku "rajanya dunia malam". Ha ha ha....

Tapi biar bagaimana pun, bertemu dengan mahluk astral meskipun dipungkiri kehadiran dan menjelmanya mereka sehingga dapat terlihat oleh mata telanjang kadang tanpa sengaja bertemu juga. Trauma yang hingga kini masih tetap saya alami.

Jika ada pembaca yang percaya silakan. Tidak percaya pun tak mengapa, karena ini sebuah rahasia. Rahasia "Lingsang". Wkwkwkk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun