Tarik lombar pun terjadi. Saking penasarannya sampai senar pancing di tangan saya lepaskan. Fokus menyaksikan teman saya dapat ikan.
Setelah beberapa menit, rupanya ikan menyerah juga. Kalah berperang melawan kegesitan teman saya.
Begitu kepala ikan lembat besar naik ke permukaan lobang dia mulai tuh keluar susumbarnya, "Mosok pemancing mania dilawan!"
Tapi alangkah terkejutnya saya begitu sampai seluruh badan ikan tersebut naik ke permukaan. Separo badannya tidak ada! Bagian tengah badannya berceceran darah segar.
"Edan! Edan! Dimakan belum paling ini, pantes berat banget."
Temanku sih biasa saja. Tak ada raut takit atau sejenisnya. Barangkali ia sudah biasa bertemu dengan ikan hasil pancingan yang hilang separo. Tetap saja sisanya dibawa pulang. Saya saja yang penakut mungkin, pikirku dalam hati.
Tapi memang, bulu kudukku sejak senja bertemu dengan dua orang perempuan tadi hingga saat saya mengajak temanku pulang tak henti-hentinya berdiri. Daripada mendapatkan petaka, lebih baik pulang.
"Pulang yuk!"
"Aku baru dapat separo ki lho. Seekor lagi saja biar ada yang genap tubuhnya baru pulang. Apa kata isteriku kalau cuma dapat separo."
"Yo wis, punyaku saja ambil. Aku masih ada kok ikan kemarin. Masih hidup."
Kami pun pulang dan semenjak itu saya tak berani lagi menginjakkan kaki mancing di kebun karet itu. Meskipun gak makan ikan setahun, kalau diminta mancing di tempat itu lebih baik menyerah.