[caption id="attachment_368261" align="aligncenter" width="640" caption="Beberapa alat pembayaran non tunai yang ada di Indonesia (koleksi pribadi)"][/caption]
Sejak periode 2005-2006, kebijakan less cash society (LCS) mulai gencar menjadi bahan perbincangan di negeri ini. Beberapa kajian mengenai LCS yang sering diartikan sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen tunai di masyarakat pun sudah ramai dilakukan. Bahkan di Bank Indonesia sendiri pernah terbentuk kelompok yang mengkaji Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai yang mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memetakan dampak penggunaan alat pembayaran non tunai.
Dari sudut pandang penerima kebijakan, pertanyaan penting yang muncul adalah, mengapa masyarakat sebaiknya menggunakan alat pembayaran non tunai dalam transaksinya?
Beberapa hal menjadi jawaban atas pertanyaan ini, terutama terkait manfaat menggunakan alat pembayaran non tunai. Pertama, dari sisi keamanan dan kepraktisan. Membawa uang tunai pasti lebih banyak dibanding membawa alat pembayaran non tunai yang biasanya berbentuk kartu (chip based) atau lainnya (server based). Maka dari sisi keamanan, membawa alat pembayaran non tunai relatif lebih aman dan praktis saat bertransaksi dibanding dengan uang tunai. Kedua, nilai intrinsik uang tunai relatif lebih besar daripada alat pembayaran non tunai. Penggunaan instrumen non tunai akan menekan ongkos pencetakan uang tunai, sehingga akan menghemat biaya pengelolaannya. Ketiga, jika transaksi dilakukan secara non-tunai, maka akan mudah terintegrasi dengan sistem keuangan. Hal ini kemudian memudahkan dalam menghitung aktivitas ekonomi. Kita ketahui bersama, bahwa Indonesia masih sangat rawan dengan berbagai praktek kegiatan underground economy yang umumnya dilakukan dalam bentuk tunai. Sehingga pengurangan transaksi tunai diperkirakan akan meminimalisasi kejahatan kriminal serta menekan potensi kehilangan angka yang terekam dalam PDB (produk domestik bruto). Keempat, penggunaan alat pembayaran non tunai juga akan meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian (velocity of money). Meminjam kalimat R. Maulana Ibrahim S. (mantan Deputi Gubernur BI), perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang diciptakannya.[caption id="attachment_368261" align="aligncenter" width="640" caption="Manfaat penggunaan non tunai (sosialisasi GNNT, Bank Indonesia)"]
Namun, perjalanan menuju penerapan kebijakan less cash society tidaklah mudah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penghadang utama kebijakan ini; iklim atau ekosistem bisnis di Indonesia dan permasalahan klasik infrastruktur.
Masyarakat Indonesia masih sangat terbiasa menggunakan uang tunai dalam bertransaksi. Sebagian orang beranggapan bahwa ‘rasanya belum memegang uang jika memegang kartu’. Alasan ini cukup relevan karena instrumen pembayaran non tunai belum menyeluruh dikenal masyarakat. Selain itu, relatif masih banyak masyarakat kita yang terbiasa membelanjakan uangnya di pasar tradisional, warung-warung, atau toko kelontong yang belum menyediakan prasarana non-tunai. Ketersediaan EDC (electronic data capture) masih relatif minim persebarannya di Indonesia. Ditambah lagi dengan belum tersedianya EDC yang bisa digunakan untuk semua jenis kartu. Kejadian error saat menggunakan kartu juga kerap terjadi. Tak kalah penting dengan masalah ‘fisik’ tersebut, faktor lainnya yang menghambat adalah persoalan manusianya. Tak jarang, EDC atau alatnya sudah tersedia, tetapi tidak tahu cara mengoperasikannya.
Belum selesai sampai di situ, pada pelaksanaannya ada sebagian orang yang menganggap bertransaksi non tunai justru lebih ribet; memasukkan pin (pada kartu debet) atau memasukkan nomor (pada e-money) lebih memerlukan waktu dibanding mengambil berlembar-lembar uang tunai di dompet. Sementara, bayangan akan bunga yang mencekik dan kejahatan 'carding' masih terus saja membayangi saat akan menggunakan kartu kredit.
[caption id="attachment_368262" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi: Masih ada anggapan 'belum membawa uang jika membawa kartu', masyarakat tetap membawa uang tunai meskipun berbagai alat pembayaran non tunai sudah memenuhi dompetnya (koleksi pribadi)"]
Bank Indonesia, for one, has adopted the “less-cash” mantra in its publications as the central bank of Indonesia. With almost 250 million people and a card penetration rate of less than 15%, even small movements to electronic payments will benefit Indonesia in terms of efficiency and cost reductions in supporting the payment infrastructure.
(dikutip sebagaimana aslinya dalam The Evolution of Cash, an Investigative Study, Juli 2014)
Potret menarik tentang pelaksanaan LCS bisa kita lihat di Swedia. Di negara yang pernah diklaim sebagai negara yang paling non-tunai sedunia ini, empat dari lima transaksi dilakukan secara elektronik. Tony Prasentiantono (Ekonom UGM) dalam analisis ekonominya yang pernah dimuat di Harian Kompas (23/2/2015) menyebutkan bahwa rata-rata penduduk negara di Skandinavia tersebut melakukan 260 transaksi elektronik per orang per tahun. Hampir setiap transaksi, mulai dari membeli majalah, naik bus, parkir kendaraan, hingga menyumbang ke tempat ibadah bisa dilakukan secara non tunai. Sehingga diprediksikan pada 2030 Swedia akan tuntas menerapkan less cash society.
Sementara itu, menurut beberapa sumber yang lain, sampai dengan 2014 Belgia menjadi juara dalam penerapan transaksi non tunai. Di negara yang terkenal dengan coklatnya tersebut, 93 persen transaksi sudah dilakukan secara non tunai (atau hanya 7 persen transaksi yang dilakukan secara tunai!). Rasio pengguna kartu debet sudah 86 persen dibanding seluruh populasinya, meskipun penduduknya hanya 11,2 juta jiwa. [caption id="attachment_368264" align="aligncenter" width="505" caption="Negara dengan transaksi non tunai tertinggi (katadata.co.id)"]
Di Indonesia sendiri meskipun dari masa ke masa volume dan nilai transaksi non tunai terus meningkat, perkembangannya dianggap masih rendah. Bahkan di antara beberapa negara ASEAN lainnya, persentase transaksi ritel Indonesia masih ‘sangat tunai’ dibanding Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.
[caption id="attachment_368267" align="aligncenter" width="560" caption="Persentase transaksi ritel tunai di beberapa negara ASEAN (sumber: McKinsey & Company, Asia Pacific Payments Trend, Global Payment Summit 2013, dikutip dari paparan BI tentang Less Cash Society)"]
Peluang meningkatkan transaksi non-tunai
Belajar dari negara-negara yang telah sukses menerapkan LCS, mereka juga tidak sebentar dalam menjalani proses penerapannya. Tak sedikit pula mereka telah melalui berbagai pasang surut dan menghadapi tantangan yang bervariasi. Perlu diketahui bahwa Belgia sudah sejak 1990-an telah mulai aktif dalam menerapkan transaksi non tunai (berdasarkan cerita Prof. Dr. Leo van Hove dari Vrije Universiteit Brussel dalam seminar internasional yang diselenggarakan BI pada Juni 2006). Swedia selama bertahun-tahun bekerja ekstra keras dengan mengembangkan beragam instrumen pembayaran non tunai dan layanan perbankan untuk ponsel pintar (smartphone).
Kembali tentang transaksi non tunai di Indonesia, sebenarnya dari data yang dirangkum oleh BI, transaksi non-tunai yang terjadi di Indonesia mengalami kenaikan, baik secara volume maupun nominalnya. Kenaikan tersebut terutama dari kontribusi penggunaan kartu ATM yang juga berfungsi sebagai kartu debet. Sampai dengan akhir 2014, volume transaksi yang menggunakan kartu ATM+debet telah menembus angka 4 miliar transaksi dengan nominal sekitar Rp 4.445 triliun! Jauh meninggalkan volume transaksi kartu kredit yang baru mencapai 254,32 juta transaksi dengan nominal Rp 255 triliun.
Yang menarik adalah saat mengamati perkembangan e-money. Hingga akhir 2014, jumlah e-money yang beredar di masyarakat melesat menjadi 35,7 juta kartu, jauh meningkat dibanding tujuh tahun lalu yang hanya 430.801 kartu yang beredar di masyarakat. Volume transaksinya pun melonjak drastis, dari sekitar 2,5 juta pada 2008 menjadi 203 juta transaksi di akhir 2014. Nominal transaksi e-money yang semula Rp 76 miliar pada 2008 pun melejit menjadi Rp 3,3 triliun per akhir 2014.
Angka tersebut secara rasio memang belum begitu signifikan jika dibanding jumlah transaksi tunai di Indonesia. Namun perlu diingat bahwa luas wilayah kita berbeda dengan Singapura, dan jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dibanding Belgia apalagi Swedia. Artinya, setiap pertumbuhan persentase transaksi non tunai di Indonesia, sangat berarti bagi penambahan jumlah volume dan nominal transaksi non tunai. [caption id="attachment_368269" align="aligncenter" width="650" caption="Data alat pembayaran non tunai di Indonesia, 2008-2014 (Bank Indonesia, diolah)"]
Sebagai catatan, berdasarkan laporan APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia), jika pada periode 2012 ada sekitar 63 juta orang pengguna internet di Indonesia, pada akhir 2014 pengguna internet telah mencapai 88,1 juta orang. Diprediksikan pada 2017 sudah menembus lebih dari 100 juta orang di Indonesia telah menggunakan internet.
Laporan APJII tersebut bisa kita bedah lebih rinci dan menjadi salah satu sumber bagi BI dalam mempengaruhi demand dan supply agar transaksi non tunai semakin diminati.
Fitur menarik bagi pengguna ponsel
APJII melaporkan bahwa pada periode 2014 sebanyak 85% pengguna internet melakukan aktivitas di dunia maya memakai telepon seluler (ponsel), jauh lebih banyak daripada yang memakai laptop/netbook, tablet, apalagi PC. Saya yakin BI sudah melihat celah ini. Langkah BI berikutnya yang ditunggu adalah koordinasi intensif dengan segenap policy makers dan stakeholders serta segera mengeksekusi hasilnya agar peningkatan transaksi non tunai bisa difasilitasi melalui berbagai fitur yang tersedia di setiap ponsel.
Terkait penetrasi transaksi non tunai melalui ponsel, bisa kita pelajari dari kesuksesan M-Pesa di Kenya yang tak lepas dari cerdiknya penerbit alat pembayaran non tunai dalam menyediakan berbagai layanan melalui mobile banking, internet banking, maupun fitur lainnya yang dengan mudah diakses melalui ponsel. Jika negara sub-sahara Afrika seperti Kenya saja bisa, Indonesia pantas lebih maju beberapa langkah di depannya.
LCS dan gaya hidup modern
Temuan statistik yang dilaporkan APJII menekankan bahwa hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia (49%) berusia 18-25 tahun. Artinya, dapat dikatakan bahwa segmen pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang termasuk ke dalam kategori ‘digital natives’. Penggunaan internet oleh digital natives ini sebagian besar digunakan untuk memanfaatkan aplikasi/konten jejaring sosial sebesar 87,4%, searching 68,7%, instant messaging 59,9%, mencari berita terkini 59,7% , dan mengunduh serta mengunggah video 27,3%.
Temuan ini sangat menarik jika dikaitkan dengan peningkatan transaksi non tunai. Mengapa? Anak muda relatif tidak suka sesuatu yang ribet, menyukai hal-hal yang cepat, dan cenderung gemar dengan kebaruan. Mereka adalah segmen potensial bagi instrumen pembayaran non tunai, karena karakter orang muda ini cukup match dengan transaksi non tunai yang menjanjikan kepraktisan. Mungkin langkah berikutnya yang dapat ditempuh adalah memoles kemasan layanan agar cocok dan lebih dekat dengan kehidupan anak muda.[caption id="attachment_368269" align="aligncenter" width="650" caption="Salah satu cara sosialisasi gerakan nasional non-tunai dari BI (www.bi.go.id)"]
Target spesifik untuk menaikkan nilai transaksi non tunai lainnya ada pada kaum hawa. APJII mengutarakan bahwa sebuah fakta baru tentang profil pengguna internet di Indonesia muncul saat jumlah wanita yang menggunakan internet lebih unggul dibanding pengguna pria (wanita 51% sedangkan pria hanya 49%).
Kaum hawa yang identik dengan urusan keuangan dan belanja sangat potensial dibidik agar lebih banyak menggunakan alat pembayaran non tunai baik saat belanja secara langsung maupun secara online. Aktivitas belanja menggunakan alat pembayaran non tunai relatif sesuai dengan gaya hidup mereka di era kekinian yang senang bertransaksi melalui online shop. Sesuai data APJII, pengguna internet yang memanfaatkan untuk online shop telah tumbuh dari 5% menjadi 11%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap transaksi online semakin baik. Maka integrasi antara online shop dengan beragam instrumen non tunai sebaiknya bisa dilakukan semudah mungkin tanpa menghilangkan unsur kehati-hatian dalam proses perijinan.
Kerjasama dengan penyedia jasa internet dan provider telekomunikasi
Teknologi yang mumpuni seakan menjadi tulang punggung (backbone) transaksi non tunai. Pekerjaan rumah kita sekarang bukan hanya melakukan pemerataan akses internet ke seluruh penjuru Indonesia, namun internet yang telah tersedia juga diharapkan lebih stabil. Untuk itu, BI dan otoritas lainnya sebaiknya mulai mengintensifkan kerjasama dengan penyedia jasa internet dan provider telekomunikasi agar beragam instrumen non tunai yang telah tersedia berjalan maksimal.
Penguatan perbankan dan sistem keuangan
Perbankan yang sehat dan sistem keuangan yang tangguh akan membuat kepercayaan (trust) masyarakat semakin meningkat. Kondisi ini kemudian menjadi dasar saat masyarakat akan bertransaksi secara non tunai karena rasa khawatir fraud semakin berkurang.
Selain itu, perbankan juga perlu belanja teknologi untuk menyediakan layanan non tunai yang lebih baik. Hal ini berarti memerlukan bank-bank yang powerful dalam menghadapi tantangan-tantangan saat transaksi non tunai semakin ramai.
Penambahan merchant dan masif melakukan sosialisasi kreatif
Rasanya tepat jika BI memilih kata ‘gerakan’ dalam menyebarluaskan transaksi non tunai. Namun, BI juga harus konsisten dengan mengimbanginya melalui kebijakan yang mendorong penerbit alat pembayaran non tunai melakukan penambahan merchant, EDC, dan segala infrastruktur yang memuluskan penerapan LCS. BI diharapkan lebih massive lagi melakukan pengarahan pada berbagai lini bisnis agar lebih gencar memberikan insentif (entah dalam bentuk promo, diskon, dan lainnya) yang mengajak masyarakat semakin tertarik melakukan transaksi non tunai.
Selain itu, sosialisasi GNNT juga perlu lebih sering didengungkan dengan beragam kreatifitas. Berbagai kegiatan secara offline maupun online bisa digagas. Sebagai salah satu referensi, dalam memantapkan gerakan LCS Swedia didukung oleh Bjoern Ulvaeus—Vokalis ABBA, bahkan mereka pernah membuat festival less-cash dalam mengampanyekan transaksi non-tunai. Indonesia bisa mengadopsi langkah-langkah tersebut dengan menyesuaikan konteks dan karakter yang ada di negeri ini. Selain dengan duta non-tunai dan pendekatan terhadap komunitas-komunitas, kerjasama dengan entitas usaha lokal mungkin bisa digagas untuk meningkatkan pemahaman tentang transaksi non-tunai. [caption id="attachment_368269" align="aligncenter" width="650" caption="Salah satu warung susu di Jogja yang sedang hits sudah menyediakan fasilitas non-tunai, sekaligus memberikan diskon bagi pengguna e-money (dok. pribadi)"]
Jika usaha-usaha ini dilakukan, maka GNNT tak sekadar terdengar gemanya di berbagai tempat, tetapi memang terlaksana di setiap aktivitas karena kemudahan dan keamanan aksesnya. Aktivitas non tunai pun tersebar di mana-mana, kemudian LCS akan membudaya secara nyata di Indonesia.
Dari susunan kalimat yang terangkai panjang di atas, saya meyakini bahwa jawaban atas beragam tantangan sudah ditemukan oleh BI maupun stakeholders lainnya. Tantangan penerapan less cash society di Indonesia mungkin menyempit menjadi satu pertanyaan saja, apakah kita benar-benar mau melaksanakannya? Kalau iya, tak perlu ragu lagi. Mantapkan semua sisi untuk lebih kreatif, berani, dan penuh komitmen tinggi mewujudkan less cash society!
______________
Referensi:
A. Tony Prasetiantono, Berakhirnya Era Uang Tunai, dimuat di Harian Kompas pada 23 Februari 2015 hal. 15
APJII, Profil Pengguna Internet Indonesia 2014,15 Mei 2015, APJII 2015.
Australian Payments Clearing Association, The Evolution of Cash, an Investigative Study, RFi Consulting, Juli 2014.
Bambang Pramono, Tri Yanuarti, Pipih D. Purusitawati, Yosefin Tyas Emmy D.K. Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian Dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, September 2006.
Materi Sosialisasi GNNT, Bank Indonesia 2015.
Siti Hidayati, Ida Nuryanti, Agus Firmansyah, Aulia Fadly, Isnu Yuwana Darmawan, Operasional E-money, Bank Indonesia, Oktober 2006.
Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Bank Indonesia, Desember 2006.
Towards a Less Cash Society in Indonesia, Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Juni 2006.
William Jack, Tavneet Suri, and Robert Townsend, Monetary Theory and Electronic Money: Reflections on the Kenyan Experience, Federal Reserve Bank of Richmond Economic, Q1 2010.
Bank Indonesia, Statistik Sistem Pembayaran, http://www.bi.go.id/id/statistik/sistem-pembayaran/apmk/Contents/Penyelenggara%20APMK.aspx
Daily Mail, Sweden could be first country to go cashless as even churches are taking cards for offerings, http://www.dailymail.co.uk/news/article-2117643/Sweden-Country-cashless-churches-accepting-cards-offerings.html
The Guardian, Welcome to Sweden - the most cash-free society on the planet, http://www.theguardian.com/world/2014/nov/11/welcome-sweden-electronic-money-not-so-funny
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H