Yang menarik adalah saat mengamati perkembangan e-money. Hingga akhir 2014, jumlah e-money yang beredar di masyarakat melesat menjadi 35,7 juta kartu, jauh meningkat dibanding tujuh tahun lalu yang hanya 430.801 kartu yang beredar di masyarakat. Volume transaksinya pun melonjak drastis, dari sekitar 2,5 juta pada 2008 menjadi 203 juta transaksi di akhir 2014. Nominal transaksi e-money yang semula Rp 76 miliar pada 2008 pun melejit menjadi Rp 3,3 triliun per akhir 2014.
Angka tersebut secara rasio memang belum begitu signifikan jika dibanding jumlah transaksi tunai di Indonesia. Namun perlu diingat bahwa luas wilayah kita berbeda dengan Singapura, dan jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dibanding Belgia apalagi Swedia. Artinya, setiap pertumbuhan persentase transaksi non tunai di Indonesia, sangat berarti bagi penambahan jumlah volume dan nominal transaksi non tunai. [caption id="attachment_368269" align="aligncenter" width="650" caption="Data alat pembayaran non tunai di Indonesia, 2008-2014 (Bank Indonesia, diolah)"]
Sebagai catatan, berdasarkan laporan APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia), jika pada periode 2012 ada sekitar 63 juta orang pengguna internet di Indonesia, pada akhir 2014 pengguna internet telah mencapai 88,1 juta orang. Diprediksikan pada 2017 sudah menembus lebih dari 100 juta orang di Indonesia telah menggunakan internet.
Laporan APJII tersebut bisa kita bedah lebih rinci dan menjadi salah satu sumber bagi BI dalam mempengaruhi demand dan supply agar transaksi non tunai semakin diminati.
Fitur menarik bagi pengguna ponsel
APJII melaporkan bahwa pada periode 2014 sebanyak 85% pengguna internet melakukan aktivitas di dunia maya memakai telepon seluler (ponsel), jauh lebih banyak daripada yang memakai laptop/netbook, tablet, apalagi PC. Saya yakin BI sudah melihat celah ini. Langkah BI berikutnya yang ditunggu adalah koordinasi intensif dengan segenap policy makers dan stakeholders serta segera mengeksekusi hasilnya agar peningkatan transaksi non tunai bisa difasilitasi melalui berbagai fitur yang tersedia di setiap ponsel.
Terkait penetrasi transaksi non tunai melalui ponsel, bisa kita pelajari dari kesuksesan M-Pesa di Kenya yang tak lepas dari cerdiknya penerbit alat pembayaran non tunai dalam menyediakan berbagai layanan melalui mobile banking, internet banking, maupun fitur lainnya yang dengan mudah diakses melalui ponsel. Jika negara sub-sahara Afrika seperti Kenya saja bisa, Indonesia pantas lebih maju beberapa langkah di depannya.
LCS dan gaya hidup modern
Temuan statistik yang dilaporkan APJII menekankan bahwa hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia (49%) berusia 18-25 tahun. Artinya, dapat dikatakan bahwa segmen pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang termasuk ke dalam kategori ‘digital natives’. Penggunaan internet oleh digital natives ini sebagian besar digunakan untuk memanfaatkan aplikasi/konten jejaring sosial sebesar 87,4%, searching 68,7%, instant messaging 59,9%, mencari berita terkini 59,7% , dan mengunduh serta mengunggah video 27,3%.
Temuan ini sangat menarik jika dikaitkan dengan peningkatan transaksi non tunai. Mengapa? Anak muda relatif tidak suka sesuatu yang ribet, menyukai hal-hal yang cepat, dan cenderung gemar dengan kebaruan. Mereka adalah segmen potensial bagi instrumen pembayaran non tunai, karena karakter orang muda ini cukup match dengan transaksi non tunai yang menjanjikan kepraktisan. Mungkin langkah berikutnya yang dapat ditempuh adalah memoles kemasan layanan agar cocok dan lebih dekat dengan kehidupan anak muda.[caption id="attachment_368269" align="aligncenter" width="650" caption="Salah satu cara sosialisasi gerakan nasional non-tunai dari BI (www.bi.go.id)"]