Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Stimulus Demokrasi Dari Desa

18 Mei 2024   04:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   14:57 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar dari jakarta. Akan tetapi Indonesia bercahaya karena lilin-lilin di desa. (Mohammad Hatta).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah disahkan dalam hal ini selanjutnya disebut dengan UU Desa sebagai legitimasi untuk mengatur Desa dengan cara yang lebih baik yakni, melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal dan berkelanjutan. 

Di saat yang sama, Undang-Undang (UU) tersebut Juga menyebutkan, bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan bagi kepentingan masyarakat setempat.

Dan dalam UU Desa itu juga terdapat dua asas utama yaitu Pemerintah Desa memiliki kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal-usul (rekognisi).

Pengakuan dan penghormatan akan identitas, adat-istiadat, pranata dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural (cultural justice) juga diikuti oleh redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana desa dari APBN dan APBD harus dilakukan. 

Hal tersebut dikenal sebagai bentuk dari rekognisi desa. Sehingga, dengan adanya asas rekognisi, negara mengakui secara utuh kedudukan desa sebagai sebuah wilayah yang mandiri dengan cara memperkuat perekonomian desa serta memiliki kekhasan tersendiri dalam keberagaman budaya.

UU Desa, seperti yang kita ketahui, adalah regulasi yang berupaya mendorong lahirnya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi secara komprehensif di tingkat desa. Berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baca : UU Desa No 6 Tahun 2014.

Menurut Sutardjo Hadikusuma Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat yang bertempat tinggal dalam lingkungan yang sama dan berkuasa untuk mengadakan pemerintahan sendiri.

Konstruksi demikian lebih sejalan dengan ideologi tipologi desa yang bersifat lokalis ekstensialis dibandingkan tipologi orientalis modernis dan struktural radikalis.

Tipologi Desa

Tipologi desa ini menjadi dasar argemen bahwa desa merupakan situs otentisitas dan basis peradaban negara bangsa modern. Pemahaman tersebut akhirnya membawanya kepada pandangan bahwa demokrasi desa merupakan demokrasi komunitarian (kebaikan bersama dan musyawarah).

Oleh sebab itu, tipologi desa kiranya menentukan arah pembangunan desa yang dituju dan keseluruhan aktivitasnya, hingga pada persoalan demokrasi desa.

Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan. Jadi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, tidak sedikit ongkos pengorbanan yang telah dicurahkan oleh para pahlawan bangsa.

Dalam kaitan ini Soekarno menyatakan; Masyarakat adil dan makmur, adalah cita-cita asli dan murni dari Rakyat Indonesia yang telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Karena Masyarakat adil dan makmur tujuan terakhir dari revolusi kita. 

Gema keadilan dan kemakmuran dalam sanubari rakyat Indonesia itu berdimensi "kenangan" (backward looking nostalgia) dan "harapan" (forward looking nostalgia). Dikatakan "kenangan" karena kisah yang dituturkan baik oleh sejarah lisan maupun tulisan dan melukiskan bahwa, kepulauan Nusantara pra-kolonial adalah suatu rangkaian dari "gugus kemakmuran" (belt of prosperity). 

Dikatakan harapan karena setelah penjajahan berlalu, penderitaan dan kemiskinan rakyat akan ditransformasikan ke dalam daya pancapaian agung, keadilan dan kemakmuran.

 Untuk mencapai harapan keadilan dan kemakmuran tersebut, seperti ditegaskan oleh Soekarno, "syarat- syarat badaniah dan syarat-syarat ruhaniah. Syarat-syarat material dan spiritual mental ada di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia" (Soekarno, 1959; 2002: 214).

Historiografi terbaru tentang kawasan Nusantara memperlihatkan konsensus bahwa pada masa pra-kolonial (pra-modern) pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan gambaran tetap dari kawasan ini. Dengan demikian, pandangan kolonial yang biasanya melukiskan perekonomian pra-modern dari kawasan tersebut sebaga sesuatu yang secara intrinsik bersifat statis tidak lagi valid (Houbert, 2002: 35).

Akar kemakmuran Indonesia itu bisa dilacak hingga zaman prasejarah. Bukti-bukti terbaru, seperti yang ditunjukkan oleh Profesor Stephen Oppenheimer dalam Eden in the East (1999, 2010).

Membumikan Demokrasi Dari Desa

Secara politik, demokrasi (politik desa) didorong melalui tersedianya ruang-ruang dialog/musyawarah bagi warga desa dengan pemerintah desa untuk mengelola desanya. Salah satunya sebagaimana yang kita kenal adalah musyawarah desa (MusDes).

Jadi rancangan demokrasi desa itu dibangun dan telah menempatkan musdes sebagai institusi tertinggi di tingkat desa. Dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat strategis, kewenangan tidak lagi berada di tangan kepala desa atau perangkat desa semata melainkan, diputuskan melalui proses musyawarah desa (musdes) yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan demikian, musdes adalah arena pertarungan kepentingan yang dilangsungkan dalam menemukan konteks tersebut.

Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang dimaksud oleh Abraham Lincoln, karena memang hal tersebut merupakan fenomena baru di negeri Ini yang muncul sebagai ikutan dari formasi negara Republik Indonesia yang merdeka.

Disaat yang sama, kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal, yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian nilai-nilai demokrasi hingga taraf tertentu pun telah berkembang pesat dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya.

Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di bumi Nusantara, sebut saja dalam Minangkabau misalnya, pada abad 14 sampai 16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. 

Jadi ada istilah yang cukup terkenal di masa saat itu bahwa Rakyat ber-(raja) pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut.

Dengan demikian, menurutnya, raja sejati di dalam kultur ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan dan patut-lah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolak bila bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005:15-16)

Bung Hatta (1992: 121) setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara-manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanja dan menjadi tujuannya.

Demokratisasi Desa Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Bmenyebutkan bahwa Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan bagi kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baca: (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 angka 1).

Menurut Sutardjo Hadikusuma (2004;18) Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat yang bertempat tinggal dalam lingkungan yang sama dan berkuasa untuk mengadakan pemerintahan sendiri.

Desa biasanya terdiri dari tempat kediaman masyarakat atau terdiri dari pedukuhan-pedukuhan yang tergabung menjadi induk desa. Dengan kata lain, demokrasi desa merupakan gejala yang terbentuk dari interaksi berbentuk piramida, yaitu di tingkat vertikal merupakan supradesa, sedangkan di tingkat horizontal merupakan landasan pemerintah dan masyarakat desa terhadap pihak ketiga yang teribat di desa. (Eko Prasetyanto, 2018).

Dalam hal ini agar upaya demokratisasi desa tersebut dapat berjalan efektif dan efisien maka harus ada kerjasama dari berbagai unsur desa yaitu Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan Desa, Lembaga Adat, Tokoh Masyarakat dan Kader Pendamping Masyarakat Desa (KPMD). 

Kondisi ini tentu menuntut agar demokrasi desa dapat menjaga kearifan lokal setempat dengan sungguh-sungguh. Mohamad Hatta, (1992: 111) berpendapat bahwa, demokrasi tidak bisa dilenyapkan pada denyut kehidupan bangsa Indonesia. 

Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, jadi demokrasi di sini berurat akar di dalam pergaulan hidup, karena itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Di saat yang sama, desa sudah semestinya kembali membumikan demokrasi, tradisi dan nilai-nilai gotong royong, guna mendorong percepatan akselerasi pembangunan dan kearifan lokal (local) wisdom suatu negeri itu lebih baik.

Oleh sebab itu, demokratisasi dalam desa seharusnya bukan hanya sebatas pada berjalannya prosedur teknis demokratis saja. Demokratisasi desa harus dapat berjalan pada dua arah, yakni pertama adanya prosedur dan mekanisme yang menghasilkan penetapan keputusan yang bersifat demokratis. Kedua, adanya kultur atau budaya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dalam kehidupan sosial masyarakat desa.

Untuk itu, demokrasi tingkat desa diharapkan dapat menjadi model tata kelola pemerintahan yang efektif dan berkeadilan di tingkat lokal. Sebab, dengan adanya demokrasi tingkat desa yang kuat, diharapkan agar dapat tercipta pembangunan desa yang berkelanjutan dan mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat desa. Selain itu, diharapkan juga dapat tercipta kehidupan sosial yang harmonis dan memperkuat identitas serta kebudayaan lokal itu sendiri.

Semoga.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun