Jadi rancangan demokrasi desa itu dibangun dan telah menempatkan musdes sebagai institusi tertinggi di tingkat desa. Dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat strategis, kewenangan tidak lagi berada di tangan kepala desa atau perangkat desa semata melainkan, diputuskan melalui proses musyawarah desa (musdes) yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan demikian, musdes adalah arena pertarungan kepentingan yang dilangsungkan dalam menemukan konteks tersebut.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang dimaksud oleh Abraham Lincoln, karena memang hal tersebut merupakan fenomena baru di negeri Ini yang muncul sebagai ikutan dari formasi negara Republik Indonesia yang merdeka.
Disaat yang sama, kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal, yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian nilai-nilai demokrasi hingga taraf tertentu pun telah berkembang pesat dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya.
Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di bumi Nusantara, sebut saja dalam Minangkabau misalnya, pada abad 14 sampai 16 kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan.Â
Jadi ada istilah yang cukup terkenal di masa saat itu bahwa Rakyat ber-(raja) pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut.
Dengan demikian, menurutnya, raja sejati di dalam kultur ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan dan patut-lah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolak bila bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005:15-16)
Bung Hatta (1992: 121) setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara-manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanja dan menjadi tujuannya.
Demokratisasi Desa Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Bmenyebutkan bahwa Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan bagi kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baca: (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 angka 1).
Menurut Sutardjo Hadikusuma (2004;18) Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat yang bertempat tinggal dalam lingkungan yang sama dan berkuasa untuk mengadakan pemerintahan sendiri.
Desa biasanya terdiri dari tempat kediaman masyarakat atau terdiri dari pedukuhan-pedukuhan yang tergabung menjadi induk desa. Dengan kata lain, demokrasi desa merupakan gejala yang terbentuk dari interaksi berbentuk piramida, yaitu di tingkat vertikal merupakan supradesa, sedangkan di tingkat horizontal merupakan landasan pemerintah dan masyarakat desa terhadap pihak ketiga yang teribat di desa. (Eko Prasetyanto, 2018).
Dalam hal ini agar upaya demokratisasi desa tersebut dapat berjalan efektif dan efisien maka harus ada kerjasama dari berbagai unsur desa yaitu Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan Desa, Lembaga Adat, Tokoh Masyarakat dan Kader Pendamping Masyarakat Desa (KPMD).Â