Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ke(kalah)an Karena Ke(salah)an

17 Mei 2024   18:03 Diperbarui: 18 Mei 2024   19:31 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: Media Indonesia.

Aricle ini kiranya tiba pada point' of view, mengarah pada perspektif fundamental untuk menyikapi kekalahan karena sebuah kesalahan dalam dinamika politik pasca pemilu 2024.

Namun, artikel ini tentunya juga disajikan dalam bentuk unggahan, dan tidak menampilkan kecenderungan gugatan tertentu, dan inilah yang menjadi inti tulisan ini.

Meskipun istilah tersebut memang sulit untuk didefinisikan,"gugah'' mungkin memiliki arti objektif, bagi penulisan meminta seseorang melakukan sesuatu yang baik dan sertakan kebajikan. 

Gugah dapat dibawakan tanpa akting apa pun. Artinya mengajak kita untuk berbuat baik. Akan tetapi satu hal yang pasti, banyak kebijaksanaan yang diperoleh dari hal ini. Itu adalah sebuah tindakan, meski orang yang melakukannya tidak bisa berkata banyak. 

Terdapat fase aktif yang memasuki pusaran risiko. Memutuskan sikap terhadap tindakan adalah tahap keberanian. Langkah berani berikutnya adalah mengambil risiko. Oleh karena itu, sukses atau gagal, kaya atau miskin adalah soal hasil.

 

Ketika orang yang tidak melakukan apa pun gagal, mereka akan bersyukur karena tidak mengambil risiko. Sebaliknya bagi mereka yang gagal, karena kegagalan bisa menjadi hal yang amat menyakitkan bahkan berakibat fatal.

 Mungkin bisa jatuh ke dalam spiral kemiskinan, di mana penderitaan dan risiko akan menghancurkan segalanya. Akan tetapi justru  itulah intinya, dan itulah tambahan atas sebuah cerita. 

Hal ini pun harus dilihat sebagai serangkaian undang-undang, sebuah  tarik menarik yang jelas tidak bisa dihindari, dan bukannya bisa disangkal. Karena tidak menutup kemungkinan objek tersebut akan dimaknai berbeda tergantung apa yang dibicarakan dan siapa yang menyuarakan kritik tersebut.

 Definisi kritik.

Mungkin kritik dan ke(gairah)an mempunyai hukum tarik-menarik, namun kata kritik terkadang paling menyebalkan pula, karena konotasinya selalu buruk, tidak (menenangkan) bahkan membuat sasarannya menjadi orang yang sangat ter(hukum)i. Maka dari itu penulis sedikit mengurai defenisi kritik agar supaya dapat dipahami bahwa, kritik tidak harus ditafsirkan dalam pengertian sejumawa itu. Karena sebagai publik figur, kita harusnya lebih kritis secara (akademis) dan lebih dewasa dalam mendefinisikannya.

Kritik sebagai inisiatif yang lebih baik dengan makna yang tertutup. Yaitu analisis, interpretasi, dan juga evaluasi.  Hal ini karena "teori kritis" pada dasarnya berarti "teori sosial" yang kritis. Disebut kritis karena berarti merenungkan, memahami dan mempelajari situasi sosial secara mendalam dan jelas. Maka dari itu Kritik tidak sekadar muncul dari diskusi basa-basi diatas meja antara kritikus dan subjeknya, namun hadir sebagai medium pelengkap dan evaluatif untuk reduksi yang efektif. 

Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika menjadikan satu sama lain (kritikus) sebagai musuh bebuyutan yang tak harus dihindari, lalu memburunya. Namun kalau begitu, kata para psikiater, orang yang tidak mau menerima kritikan (anti kritik) mempunyai kepribadian yang  tertutup dan stagnant maka disini penulis meng(analogi)kan seperti setan yang ketakutan melihat ada kuburan di dalamnya.

Kembali pada teori Kritik disini penulis meminjam terminologi "Habermas" yang dimana  merupakan  generasi  kedua  dari  Teori  Kritis  Mahzab  Frankfurt generasi  pertama  Mahzab  Frakfurt  yang terdiri  dari  lima  orang  pemikir yakni,  Max  Horkheimer,  Theodor Adorno,  Herbert  Mercuse,  Walter  Benjamin,  dan  Erich  Fromm.  

Teori  Kristis  generasi  pertama ini dilandaskan  pada pemikiran-pemikiran  Karl  Marx.  Marx  muda  memiliki  keprihatinan  terhadap disintegrasi sosial yang dihasilkan oleh Pencerahan. Jadi suatu proyek teori yang memadukan analisis sosiologis dan kritik yakni, filosofi untuk menjelaskan susunan masyarakat kapitalis kontemporer, dan merancang sutau disain teori yang bertujuan mengemansipasikan susunan masyarakat yang dominatif itu. 

Marx muda yang prihatin dengan keadaan sosial ini merekomendasikan sebuah reformasi untuk penghilangan status hak  milik,  dan  berubah   menjadi kepemilikan   bersama. Untuk itu, Kehidupan kepemilikan bersama yang teratur itu kemudian disebut sebagai paham sosialis. Karena Marx yakin jika status hak  milik  dihilangkan, maka kelas-kelas strata  sosial  dapat juga dihilangkan (Hardiman, 2003). 

Dari terminologi diatas jika dikonotasikan pada kehidupan sehari-hari, tentang kritik adalah penyakit (Pe-De) dan penyakit tersebut biasanya disebabkan oleh ketidak(mampu)an, namun (kesombongan) lebih sering bermula dari perasaan kuat dan terkendali. Fobia kritis adalah suatu bentuk ketakutan berlebihan atau persepsi ketidak(mampu)-an dan rasa lemah dalam mengejar kendali itu sendiri.

Tafsir Kalah karena Salah.

Kembali ke topik utama tafsir kekalahan (gagal) dan kesalahan, yang dimana kritik pada hakikatnya adalah upaya menganalisis sesuatu untuk mengungkap apa yang ada di dalamnya, baik  positif maupun negatif.

Menurut Psikolog Klinis Dewasa, Yulius Steven, M.Psi., Psikolog, kekalahan adalah hal yang tidak nyaman untuk dirasakan. Namun, dengan pemikiran dewasa dan rasional, negativisme (sifat atau kecenderungan untuk menolak, menentang, atau mengingkari) dapat teredam.  

Pada saat yang bersamaan, kita dapat mereview kembali (dinamika politik) tahun 2024, dalam konteks Indonesia, yang dimana upaya mereka tentu layak untuk dibicarakan, dan pembahasannya yang telah selesai. 

Dan ketika kita harus berbicara tentang kemenangan, tentu saja (tidak menyangkal yang lain) ada tiga figur publik  yang telah kita diskusikan. Ketiganya juga dipilih secara politik oleh partai politik terdaftar dan memegang kedua peran politik tersebut. Struktur partai politik ini berfungsi sebagai kekuatan pendorong pembangunan ekonomi dan kesehatan sumber daya manusia. 

Secara pribadi mungkin saya belajar banyak  dari figur publik yang ada. Dan saya juga belajar dari betapa pentingnya memiliki komitmen untuk bekerja sama. Namun kemenangan dan persatuan ternyata hanyalah permulaan awal.

Namun kemenangan dan kebersamaan itu, ternyata merupakan sebuah awal embrio kepentingan (interest), sebagai aula unjuk kekuatan, yang pada akhirnya kepentingan itu melumat kekuatan, dan tentu saja kompetisi kepentingan dan kekuatan menelorkan perlawanan.

 Perlawanan adalah sebuah diksi yang tidak harus diterjemahkan, namun penting dimaknai, sebab, fakta kemudian adalah munculnya pemenang. Karena Pemenang tentunya menyisahkan yang kalah, dan yang kalah hanya punya dua pilihan optimistik atau pesimistik, dan itulah ilustrasi yang saya petik dari ketiga tokoh (Public figur) tersebut. 

Kekalahan beruntun itu, tentu harus kita maknai bahwa, pasti ada kesalahan yang terlakoni atau (kesalahan yang dilakukan) entah disadari atau tidak yang pastinya akan berimbas pada ujud kekalahan.

 Pertanyaan kemudian bahwa, siapa yang harus disalahkan dari sebuah kekalahan. ? Maka, untuk menjawab hal itu, mungkin tidak penting, sebab apapun jawabannya, kondisi dari sebuah ke(kalah)an yang disebabkan oleh ke(salah)an tersebut, tentunya tidak akan bisa membuat kekalahan menjadi kemenangan.

Disaat yang sama, jika kesempatan yang dijadikan sebagai instrumen atau alasan maka, yang terjadi dikemudian hari adalah ambisiusitas untuk memiliki kekuasaan yang dalam peng(operasi)an-nya tentu sangatlah mungkin dialirkan melalui kran (legal formal) untuk menjadikan demokrasi sebagai juba kolektif dalam meng-akomodasikan  kepentingan pribadi tapi mengatas namakan kepentingan rakyat ini yang repot.

Dari hal tersebut diatas, saya meminjam salah satu penutup novel yang kiranya banyak diingat orang dalam kesusastraan Indonesia, saya yakin, berasal dari novel Pramoedya Ananta Toer, yang bertajuk"Bumi Manusia: "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Kalimat itu diucapkan Nyai Ontosoroh kepada Minke setelah mereka berjuang keras mempertahankan Annelis dari tangan kuasa kolonial Belanda. Dalam perjuangan itu, mereka harus menelan kenyataan pahit, Kalah. Meskipun begitu, Nyai Ontosoroh menghadapinya dengan tegar. Dan, yang terpenting, penuh harga diri. Disaat yang sama, "Gus Dur" pun pernah berpesan,bahwa persaingan itu diperbolehkan guna tercapainya kemajuan, tetapi persaingan harus dilakukan dengan bentuk kesopanan dan saling memberi, serta menerima antar berbagai pihak. 

Golongan yang menang akan mewakili konteks semua pihak. Bukan sebaliknya, golongan yang menang justru menjadi bumerang, dan penyulut bara api kemarahan yang berakhir pada konflik dan separasi antar pihak. Karenanya hakikat dari kemenangan dan kekalahan tidak hanya berakhir pada konteks Pemilu melulu, namun masih banyak ruang kosong yang mestinya dapat dimanfaatkan oleh masing-masing pihak (yang menang dan kalah) untuk mengeksplorasi (integritas) dirinya pada ruang publik.

Olehnya itu, sebagai penutup dari tulisan ini saya mengutip percikan sejarah. Ketika bom atom meluluhlantakan Hiroshima dan Nagasaki yang tak terhitung berapa jiwa manusia yang hilang melayang pada kejadian tersebut. Disaat itu pula sang kaisar itu datang memantau pada lokasi kejadian. Dari bibir Sang Kaisar itu, kalimat pertama yang terucap adalah; "Masih adakah guru yang masih hidup?'. Kenapa harus guru? Karena guru-lah yang sangat berpeluang untuk membangun peradaban (masa depan) sebuah negara. 

Pada kejadian tersebut diatas jika dikorelasikan dalam konteks dinamika politik di negara ini, ketika semua tokoh politik (publik figur) di negara sampai didaerah ini kehilangan eksistensi dan kipra-nya, maka yang kita pertanyakan adalah, masih adakah rakyat  sipil yang masih hidup...? Kenapa harus rakyat ?  Bukan guru atau tokoh politik ? Karena rakyat adalah  pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini.  Olehnya itu sebagai penutup dari tulisan ini, kiranya yang paling terpenting sekarang adalah bagaimana membangun kesadaran bahwa; politik adalah tatanan sistem, baik yang dibentuk berdasarkan kesepahaman dan kesepakatan (konsensus) bukan kesempatan apalagi paksaan dan juga kekuasaan.  Karena sangat mungkin kesempatan itu menjadi alat justifikasi atas sebuah kondisi dalam sistematika kekuasaan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun