Mungkin kritik dan ke(gairah)an mempunyai hukum tarik-menarik, namun kata kritik terkadang paling menyebalkan pula, karena konotasinya selalu buruk, tidak (menenangkan) bahkan membuat sasarannya menjadi orang yang sangat ter(hukum)i. Maka dari itu penulis sedikit mengurai defenisi kritik agar supaya dapat dipahami bahwa, kritik tidak harus ditafsirkan dalam pengertian sejumawa itu. Karena sebagai publik figur, kita harusnya lebih kritis secara (akademis) dan lebih dewasa dalam mendefinisikannya.
Kritik sebagai inisiatif yang lebih baik dengan makna yang tertutup. Yaitu analisis, interpretasi, dan juga evaluasi. Â Hal ini karena "teori kritis" pada dasarnya berarti "teori sosial" yang kritis. Disebut kritis karena berarti merenungkan, memahami dan mempelajari situasi sosial secara mendalam dan jelas. Maka dari itu Kritik tidak sekadar muncul dari diskusi basa-basi diatas meja antara kritikus dan subjeknya, namun hadir sebagai medium pelengkap dan evaluatif untuk reduksi yang efektif.Â
Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika menjadikan satu sama lain (kritikus) sebagai musuh bebuyutan yang tak harus dihindari, lalu memburunya. Namun kalau begitu, kata para psikiater, orang yang tidak mau menerima kritikan (anti kritik) mempunyai kepribadian yang  tertutup dan stagnant maka disini penulis meng(analogi)kan seperti setan yang ketakutan melihat ada kuburan di dalamnya.
Kembali pada teori Kritik disini penulis meminjam terminologi "Habermas" yang dimana  merupakan  generasi  kedua  dari  Teori  Kritis  Mahzab  Frankfurt generasi  pertama  Mahzab  Frakfurt  yang terdiri  dari  lima  orang  pemikir yakni,  Max  Horkheimer,  Theodor Adorno,  Herbert  Mercuse,  Walter  Benjamin,  dan  Erich  Fromm. Â
Teori  Kristis  generasi  pertama ini dilandaskan  pada pemikiran-pemikiran  Karl  Marx.  Marx  muda  memiliki  keprihatinan  terhadap disintegrasi sosial yang dihasilkan oleh Pencerahan. Jadi suatu proyek teori yang memadukan analisis sosiologis dan kritik yakni, filosofi untuk menjelaskan susunan masyarakat kapitalis kontemporer, dan merancang sutau disain teori yang bertujuan mengemansipasikan susunan masyarakat yang dominatif itu.Â
Marx muda yang prihatin dengan keadaan sosial ini merekomendasikan sebuah reformasi untuk penghilangan status hak  milik,  dan  berubah  menjadi kepemilikan  bersama. Untuk itu, Kehidupan kepemilikan bersama yang teratur itu kemudian disebut sebagai paham sosialis. Karena Marx yakin jika status hak  milik  dihilangkan, maka kelas-kelas strata  sosial  dapat juga dihilangkan (Hardiman, 2003).Â
Dari terminologi diatas jika dikonotasikan pada kehidupan sehari-hari, tentang kritik adalah penyakit (Pe-De) dan penyakit tersebut biasanya disebabkan oleh ketidak(mampu)an, namun (kesombongan) lebih sering bermula dari perasaan kuat dan terkendali. Fobia kritis adalah suatu bentuk ketakutan berlebihan atau persepsi ketidak(mampu)-an dan rasa lemah dalam mengejar kendali itu sendiri.
Tafsir Kalah karena Salah.
Kembali ke topik utama tafsir kekalahan (gagal) dan kesalahan, yang dimana kritik pada hakikatnya adalah upaya menganalisis sesuatu untuk mengungkap apa yang ada di dalamnya, baik  positif maupun negatif.
Menurut Psikolog Klinis Dewasa, Yulius Steven, M.Psi., Psikolog, kekalahan adalah hal yang tidak nyaman untuk dirasakan. Namun, dengan pemikiran dewasa dan rasional, negativisme (sifat atau kecenderungan untuk menolak, menentang, atau mengingkari) dapat teredam. Â
Pada saat yang bersamaan, kita dapat mereview kembali (dinamika politik) tahun 2024, dalam konteks Indonesia, yang dimana upaya mereka tentu layak untuk dibicarakan, dan pembahasannya yang telah selesai.Â