Dan ketika kita harus berbicara tentang kemenangan, tentu saja (tidak menyangkal yang lain) ada tiga figur publik  yang telah kita diskusikan. Ketiganya juga dipilih secara politik oleh partai politik terdaftar dan memegang kedua peran politik tersebut. Struktur partai politik ini berfungsi sebagai kekuatan pendorong pembangunan ekonomi dan kesehatan sumber daya manusia.Â
Secara pribadi mungkin saya belajar banyak  dari figur publik yang ada. Dan saya juga belajar dari betapa pentingnya memiliki komitmen untuk bekerja sama. Namun kemenangan dan persatuan ternyata hanyalah permulaan awal.
Namun kemenangan dan kebersamaan itu, ternyata merupakan sebuah awal embrio kepentingan (interest), sebagai aula unjuk kekuatan, yang pada akhirnya kepentingan itu melumat kekuatan, dan tentu saja kompetisi kepentingan dan kekuatan menelorkan perlawanan.
 Perlawanan adalah sebuah diksi yang tidak harus diterjemahkan, namun penting dimaknai, sebab, fakta kemudian adalah munculnya pemenang. Karena Pemenang tentunya menyisahkan yang kalah, dan yang kalah hanya punya dua pilihan optimistik atau pesimistik, dan itulah ilustrasi yang saya petik dari ketiga tokoh (Public figur) tersebut.Â
Kekalahan beruntun itu, tentu harus kita maknai bahwa, pasti ada kesalahan yang terlakoni atau (kesalahan yang dilakukan) entah disadari atau tidak yang pastinya akan berimbas pada ujud kekalahan.
 Pertanyaan kemudian bahwa, siapa yang harus disalahkan dari sebuah kekalahan. ? Maka, untuk menjawab hal itu, mungkin tidak penting, sebab apapun jawabannya, kondisi dari sebuah ke(kalah)an yang disebabkan oleh ke(salah)an tersebut, tentunya tidak akan bisa membuat kekalahan menjadi kemenangan.
Disaat yang sama, jika kesempatan yang dijadikan sebagai instrumen atau alasan maka, yang terjadi dikemudian hari adalah ambisiusitas untuk memiliki kekuasaan yang dalam peng(operasi)an-nya tentu sangatlah mungkin dialirkan melalui kran (legal formal) untuk menjadikan demokrasi sebagai juba kolektif dalam meng-akomodasikan  kepentingan pribadi tapi mengatas namakan kepentingan rakyat ini yang repot.
Dari hal tersebut diatas, saya meminjam salah satu penutup novel yang kiranya banyak diingat orang dalam kesusastraan Indonesia, saya yakin, berasal dari novel Pramoedya Ananta Toer, yang bertajuk"Bumi Manusia: "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
Kalimat itu diucapkan Nyai Ontosoroh kepada Minke setelah mereka berjuang keras mempertahankan Annelis dari tangan kuasa kolonial Belanda. Dalam perjuangan itu, mereka harus menelan kenyataan pahit, Kalah. Meskipun begitu, Nyai Ontosoroh menghadapinya dengan tegar. Dan, yang terpenting, penuh harga diri. Disaat yang sama, "Gus Dur" pun pernah berpesan,bahwa persaingan itu diperbolehkan guna tercapainya kemajuan, tetapi persaingan harus dilakukan dengan bentuk kesopanan dan saling memberi, serta menerima antar berbagai pihak.Â
Golongan yang menang akan mewakili konteks semua pihak. Bukan sebaliknya, golongan yang menang justru menjadi bumerang, dan penyulut bara api kemarahan yang berakhir pada konflik dan separasi antar pihak. Karenanya hakikat dari kemenangan dan kekalahan tidak hanya berakhir pada konteks Pemilu melulu, namun masih banyak ruang kosong yang mestinya dapat dimanfaatkan oleh masing-masing pihak (yang menang dan kalah) untuk mengeksplorasi (integritas) dirinya pada ruang publik.
Olehnya itu, sebagai penutup dari tulisan ini saya mengutip percikan sejarah. Ketika bom atom meluluhlantakan Hiroshima dan Nagasaki yang tak terhitung berapa jiwa manusia yang hilang melayang pada kejadian tersebut. Disaat itu pula sang kaisar itu datang memantau pada lokasi kejadian. Dari bibir Sang Kaisar itu, kalimat pertama yang terucap adalah; "Masih adakah guru yang masih hidup?'. Kenapa harus guru? Karena guru-lah yang sangat berpeluang untuk membangun peradaban (masa depan) sebuah negara.Â