Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oliena I:

30 April 2024   21:18 Diperbarui: 23 Mei 2024   21:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Artlan Magazine.

"Tulisan ini di tulis atas dasar inspirasi penulis terhadap perempuan asal timur Indonesia yang hidup  sebatang kara di negeri orang"

Perempuan terlihat cantik manakala ketika ia sedang menjahit lukanya sendiri".

Perempuan yang sibuk merajut asa, hingga tak ada seorangpun yang bisa mengusik kebahagiaannya.

Perempuan-perempuan itu memang luar biasa. Mereka tak memiliki batas apapun dalam menyayangi. Mereka bisa saja mengobati luka di jemarimu. Meski jari dari kedua tangannya sendiripun terluka. 

Selepas ketika aku sedang menulis jurnal tepat pukul 02.23.WIB sembari membaca-bacanya jurnal yang baru saja ku tulis. Setelah itu, datanglah sosok perempuan paru baya, indah nama sapannya.

Karena memang, dia pun sudah terbiasa datang ke kontrakan kami, makan, masak, bercerita,dengan anak-anak dalam kontrakan bahkan menginap karena kecapean dari pekerjaan yang ketika berpapasan dengan jam kuliahnya.

Buru-buru ku bergegas keluar dari kamarku dengan maksud menghampirinya, namun ia yang lebih dulu menghampiri dan menyapaku. 

Dengan senang hati, ia menanyakan, Abang baru bangun ? .

Aku: Bukan baru bangun Ade, tapi belum tidur karena  lagi mengerjakan jurnal.

 

Lalu ia pun membalas dengan senyum dari bibirnya: Sambungnya, oh yah bang ada mie Cotto sama kopi sachet ini, Beta buat yah bang? 

Saya pun mengiyakan..i-iya kalo indah iklas..hehe..

Dengan penuh rasa iba, ia pun bergegas kedapur dan menyalakan kompor gas lalu memasak mie sembari membuatkan secangkir kopi yang ia bawakan dari tempatnya dimana ia bekerja.

Berselang beberapa menit kemudian, kopi dan mie instan pun kini ia hidangkan di hadapanku. Tanpa basa-basi ia pun mempersilahkan untuk aku memakannya.

Setelah selesai makan  kemudian, aku pun tidak lagi melanjutkan rutinitas menulis jurnalku, karena waktu telah menunjukan pukul 03.00.WIB. Dan tak  tega untuk membiarkan dia sendiri di ruang tamu.

Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menemaninya ngobrol di ruang tamu. 

Disaat duduk berdua sembari membakar sebatang rokok yg berserakah bersama buku-buku atas lantai itu,  mulailah kami melakukan obrolan tentang pengalaman, tentang pekerjaan, tentang kuliah. Karena memang ia juga pernah menjadi mahasiswa sebelum kuliah dikota Yogyakarta kampus yg sama-sama kami tempuh saat ini.

 Dan saya pun sempat mencurahkan obrolan (pengalaman pahit) semasa Waktu kuliah sebelum-sebelumnya. 

Namun disaat yang sama, dari berbagai obrolan aku sedikit terfokuskan soal pekerjaan dan masa lalu ketika  dikampung halaman.

Dari hal yang ku curahkan itu ternyata dari raut wajahnya semacam ada sedikit terpaut kesedihan yang ia sembunyikan. 

Dari obrolan itu saya pun mulai berkesimpulan bahwa, ternyata ada orang  yang tampaknya lebih terbebani dibandingkan diriku. Yaitu seorang perempuan yg berada di hadapanku ini "ujar dalam hatiku". 

Lalu aku pun sengaja membelokan obrolan itu, dan menanyakan yg lain.

Saya: Oh yah indah, sudah berapa lama di Yogyakarta ? 

Dia: Sudah hampir 4 Tahun lebih bang. ujarnya .

Belum pernah pulang kampung halaman ?" tanyaku lagi.

Dia : pun menundukkan kepala, sembari tersenyum ramah seperti tidak ada beban moral yang di emban-nya.

Dan dia mulai bercerita tentang pertanyaan nakalku itu bahwa, sejak dari bangku sekolahnya ia terinspirasi dari kerja keras seperti ayahnya, dan belajar sabar seperti ibunya.  

Setelah ayahnya meninggal ia memulai bergerilyah, seorang diri. Ketika ia pergi meninggalkan rumah dan kampung halamannya, tanpa sedikit pun ia memberitahu keberadaannya dan dimana ia bekerja termasuk ibunya. 

Untuk melangsungkan hidupnya secara mandiri, ia pun bekerja tanpa pamrih. Siang malam, di rumah makan, terminal dan lain sebagainya yang hanya seorang diri tanpa bantuan teman kerabat. 

Selepas dari sepulangnya diluar dari jamnya bekerja, ia melanjutkan aktivitas  membaca dan menulis yang menjadi rutinitas kesehariannya selama itu. 

Dunia kampus yang perna ia gelutinya pun ia telah tinggalkan, karena berbagai faktor masalah, dan pada akhirnya kampus mengeluarkannya secara paksa.

Setelah keluarnya ia dari kampus tersebut. Ia memilih melanjutkan gerilya ke berbagai pelosok desa dan kota-kota lainnya.

Berselang beberapa bulan kemudian terdengarlah kabar, bahwa, ibunya meninggal. Dan akhirnya ia pun memilih pulang untuk melihat wajah ibunya yang terakhir kalinya. 

Sesampai ia dikampung halamannya. Ia pun sempatkan waktunya untuk berziarah ke makam ibunya dan juga ayahnya. 

kini ia hanyalah sebatang kara, sebab ia sudah tak punya siapa-siapa lagi di kampungnya.

Dan pada akhirnya ia pun memutuskan untuk meninggalkan lagi kampung halaman-nya untuk yang kesekian kalinya itu.

Bergerilya ke berbagai pedesaan, pulau,  dan kota-kota besar lainnya, seperti Jawa, termasuk Kota Yogyakarta saat ini.

Setelah meninggalkan kampung halamannya di tahun 2015 silam itu. kini semua nomor kontak keluarga, bahkan  media sosialnya pun ia putuskan dan memilih  untuk tak lagi memberitahukan keberadaannya, apalagi menanyakan kabar  keluarga di kampung halamannya hingga saat ini.

Tidak hanya itu, bahkan setingkat kos-kosannya yang berada di Yogyakarta yang ia tempati pun tak ada satupun di antara semua orang  yang tahu hingga saat ini.

 Karena memang prinsipnya ia dari dulu suka memendamnya sendiri, dan pandai menyembunyikan kesemuanya, termasuk menyembunyikan kesedihan dan menjahit  lukanya-nya sendiri.

Ketika dia memberikan website-nya yg walaupun hanya nama Semarang yg selalu ia sematkan..Namun bagiku itu cukup untuk menjajaki tulisan-tulisan dan puisinya. 

Dan dia mengatakan; Bang kalo "bang mau baca tulisan dan puisi-puisiku", bang buka aja blog, websiteku "Olien Ibrahim" ujarnya.

Pada akhirnya aku pun menulis nama blog dan websitenya, dan memulai menjelajahinya.  Memang, aku menemukan nama blog dan websitenya, lalu membaca-bacanya.

Dalam websitenya, ia menulis bahwa, ia ingin menjadi perempuan pemberani dan  berdamai dengan kesendirian.

Sebab, dari sejak dibangku sekolah hingga kedua orang tuanya meninggal, ia telah terbiasa bekerja mandiri, menanggung beban hidup seorang diri. Menyusuri seluk beluk desa dan kota Ambon, bahkan pulau Jawa, hingga Jogjakarta saat ini.

Setelah membaca beberapa paragraf tulisannya, aku pun memberikan sedikit pemantik lewat tulisannya itu, agar ia terus bersemangat dalam berkarya dengan cara menulis dan sebagainya.

Disaat yang sama, selain jadi penulis ternyata ia juga pernah bergelut jadi pers pada beberapa media online lokal ternama dikota Ambon Maluku. Atas pengalamannya di dunia pers itulah yang membuat ia semakin lihai dalam menjajakinya.

 Ia menyematkan karya-karyanya artikelnya di berbagai website/YouTube dan  lainnya.

Ia memang penulis/ penyair hebat. Dan tulisan-tulisannya yang ia sematkan pun terlalu indah dan begitu menggelegak  ketika untuk dibaca. Sebab, kalimat yang ditulisnya-selain dalam merajut asanya, kalimat yang di tulisnya-pun secara jujur atas rasa bersalah pada luka masa lalu-nya. ***

-Yogyakarta, 30 April 2024-

Arifin Biramasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun