Mohon tunggu...
Arif Borneo
Arif Borneo Mohon Tunggu... -

always try to be confident

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pendidik Hebat Tanpa Hoaks

24 November 2017   17:08 Diperbarui: 24 November 2017   17:16 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hoax? Apa perasaan anda ketika membaca informasi hoax? 

Manakah yang lebih baik, menjadi pembuat berita hoax atau menjadi korbannya?

Percaya atau tidak, hampir setiap hari bahkan mungkin dalam rentang hitungan menit, pengguna teknologi komunikasi selalu mengakses informasi. Konsumen dunia maya yang tidak hanya dari kalangan orang tua dan dewasa tetapi juga merambah ke kalangan anak-anak khususnya para pelajar, tampak begitu antusias mengutak-atik alat komunikasi mereka. 

Apalagi didukung oleh berbagai aplikasi sosial media yang semakin variatif, kreatif, atraktif dan agresif dalam mengelola informasi. Aplikasi-aplikasi tersebut kemudian menjadi candu bagi mereka untuk terus intim dengan alat komunikasinya. Terasa gatal jika jari belum meraba layar dan terasa perih jika mata belum melihat dan membaca kata. 

Di manapun, kapanpun dan dalam situasi apapun, selalu ada celah dan kesempatan untuk terus mengakses informasi. Sehingga, fenomena ini menjadi sebuah habit kekinian. Mungkin beberapa dari mereka akan mengatakan, "Bukan kids jaman now namanya kalau masih kudet info-info di sosmed."

Karakter pelajar di era digital, umumnya sangat senang berbagi informasi. Entah didasari oleh kebutuhan atau hanya sekedar demam latah yang memborok. Rasa senang berbagi informasi ini yang kemudian memunculkan rasa puas jika berhasil menjadi orang pertama peng-update informasi. 

Ditambah lagi dengan semakin mudahnya memiliki alat komunikasi dan teknologi digital yang kian mumpuni, sehingga peredaran informasi semakin sulit dibendung. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menyebutkan sedikitnya 170 juta masyarakat Indonesia memiliki satu smartphone. Hal ini menjadi salah satu faktor pelengkap masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas.

Bagi seorang Pendidik, perkembangan teknologi komunikasi merupakan suatu kemajuan yang positif. Sebab, kebutuhan akan informasi terkini yang mampu didapatkan dengan singkat sangatlah diperlukan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna sebagai acuan atau sumber pengembangan komunikasi verbal kepada peserta didik. 

Namun pada kenyataannya arus informasi yang begitu deras berseliweran di dunia maya, seringnya tidak terfiltrasi dengan baik. Jika tidak bijak dalam menyikapinya, maka dikhawatirkan sang pendidik sendiri ikut terjebak dalam arus lingkaran penyebar informasi yang tidak valid. Karena, ketidakbenaran sebuah informasi yang dikontruksi dengan berbagai macam pengembangannya baik yang disengaja maupun tidak disengaja, dapat disimpulkan sebagai informasi hoax atau berita bohong.

Hoax merupakan usaha untuk menipu para penikmat informasi. Padahal sang pembuat informasi tersebut sadar dan tahu bahwa informasi yang ia buat merupakan informasi yang tidak benar. 

Oleh karena itu, seorang Pendidik harus mampu menangkal informasi hoax tersebut dengan cara mengenali ciri-cirinya serta menyikapinya dengan bijak.

Sebenarnya, informasi hoax memiliki ciri khas tersendiri. Pertama, informasi tersebut biasanya diberi judul yang sangat provokatif untuk menggiring para pembaca. Hal itu berlaku baik untuk kabar berita dan artikel online, broadcast melalui aplikasi chating maupun akun-akun sosial media lainnya yang berupa gambar-gambar. 

Dengan judul yang ekstrim dan provokatif tersebut, secara otomatis memunculkan stigma atau mindset negatif dari pembaca. Sehingga kebanyakan penikmat informasi hanya mencukupkan dirinya dengan membaca judul tanpa perlu membaca isi tulisannya.

Kedua, informasi hoax dapat bersumber dari perorangan maupun secara lembaga. Jika ia berupa situs website, maka dapat kita telusuri dari nama situsnya. Begitu pun untuk akun-akun sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line dan Whatsapp. Perlu diwaspadai pula bahwa banyak nama-nama akun atau situs yang sangat bertolak belakang dengan karakter si pembuat informasi, sebagai kamuflase agar para pembaca menerima kebenaran informasi yang dibuat. 

Sebagai contoh, si A tidak suka dengan si B. Maka si A membuat sebuah informasi atau membuat akun dan situs website dengan nama si B. Sehingga para pembaca terdoktrin jika informasi atau akun dan situs tersebut adalah milik si B. Ini merupakan senjata yang sangat ampuh untuk mempengaruhi pembaca dan melumpuhkan pihak tertentu. Apalagi jika si pembuat informasi merupakan sebuah lembaga atau seseorang yang cukup dikenal, berpendidikan dan berpengaruh di masyarakat. Maka akan semakin mudah diterima oleh pembaca.

Namun, ada satu hal lagi yang juga harus diwaspadai, yaitu adanya para pengadu domba yang begitu gencar memproduksi informasi hoax. Dia bukan si A dan juga bukan si B, melainkan si C. Si C sangat pandai mengambil peluang demi kepentingannya sendiri. Si C akan bertindak sebagai pengadu domba kepada kedua belah pihak, agar kisruh menjadi semakin besar.

Ketiga, untuk mengetahui apakah sebuah informasi bernilai hoax atau fakta, maka kita perlu menganalisa dengan seksama isi informasi tersebut. Opini negatif, fitnah, ujaran kebencian dan atau gambar (meme) yang beredar serta menyerang pihak tertentu dengan pilihan diksi yang cukup tajam dan tendensius, biasanya selalu berseberangan dengan fakta yang sebenarnya dari pihak lawan yang dimaksud. 

Oleh karena itu, para Pendidik dituntut untuk semakin memperluas wawasan dan pengetahuannya dalam bidang apapun agar tidak mudah terkecoh oleh pemberitaan yang ternyata hoax semata.

Penting bagi seorang Pendidik untuk menguasai hal tersebut di atas. Sebab, menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang mudah percaya terhadap hoax. 

Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki (Respati, 2017). Secara alami perasaan positif akan muncul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi, sehingga cenderung tidak akan mempedulikan kebenaran informasi yang diterimanya. Hal ini yang mendasari seseorang dengan sangat mudah untuk menyebarkan informasi hoax.

Dewasa ini, informasi hoax sudah sangat mengkhawatirkan. Ia begitu menghantui dan bisa memecah belah masyarakat bahkan berpotensi mengancam keamanan nasional. Sebenarnya sangat disesalkan apabila informasi yang beredar di dunia maya atau media sosial berisi informasi bohong atau hoax. 

Sebab sebuah informasi dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok, yang kemudian informasi itu menggiring pembaca kepada opini yang negatif, fitnah, ujaran kebencian dan ancaman kepada pihak-pihak tertentu yang berujung pada perusakan reputasi dan menimbulkan kerugian materi.

Di kalangan pelajar misalnya, hanya karena sebuah informasi hoax, muncullah permusuhan antar pelajar. Meskipun tawuran antar pelajar bukan sesuatu hal yang baru, namun keberadaan hoax kerap kali menambah jumlah periodik tawuran antar pelajar. 

Mungkin pada awalnya mereka hanya bermaksud iseng atau guyonan belaka, namun buntut dari perilaku tersebut cukup untuk memantik emosi gairah muda para pelajar. Pada akhirnya, dendam kesumat atau musuh bebuyutan ataupun aksi balas dendam menjadi dalil pembenaran bagi mereka untuk bertindak brutal. Miris memang, padahal para pelajar tersebut adalah generasi hebat calon pemimpin bangsa.

Lebih parah lagi jika kita mengamati informasi hoax yang beredar di akun-akun sosial media. Sekali update informasi, bisa mencapai ribuan komentar di kolom komentar. 

Di sana, sesama anak bangsa bebas saling mencaci maki, menghina, mengumpat, intoleran, menuduh dan memvonis serta mengumbar kata permusuhan. Karakter bangsa yang ramah, sopan dan santun sama sekali tidak tampak dan tak bernyawa. Seolah-olah karakter tersebut telah mati dan digantikan oleh karakter yang lebih buruk bahkan kadang tak manusiawi.

Melihat begitu banyaknya dampak negatif dari hoax, maka apa yang harus dilakukan oleh para Pendidik untuk mencegah dan meminimalisir korban dari hoax? Apa kontribusi nyata para Pendidik untuk menyelamatkan generasi bangsa dari perilaku hoax? Satu jawaban yang pasti, yakni para Pendidik harus ikut bertanggungjawab dan siap mengemban tugas untuk mengedukasi para pelajar, keluarga dan komunitas di lingkungannya dalam memerangi hoax.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam memerangi hoax. Di antaranya yang pertama adalah dengan menumbuhkan karakter diri pribadi. Tanamkan dalam diri bahwa perbuatan memproduksi informasi hoax dan atau menyebarkannya merupakan tindakan yang tidak benar bahkan menjurus pada tindakan kriminal. 

Tindakan tersebut tidak sesuai dengan norma, nilai dan budaya bangsa Indonesia. Dalam pandangan agama pun tidak dibenarkan seseorang untuk melakukan perbuatan dusta atau kebohongan.

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah dengan membuat Gerakan Anti Hoax Sang Pendidik. Sebab, berjuang itu tidak bisa sendirian, melainkan harus berjama'ah atau bersama-sama serta bergotong royong. 

Dari gerakan Sang Pendidik ini, diharapkan mampu membawa gelombang perubahan pola pada perilaku seseorang yang gemar memproduksi dan menyebarkan hoax menjadi individu yang kritis dan sensitif terhadap sebuah informasi. Kita mencoba membangun karakter check and recheck pada dirinya.

Aktivitas check and recheckterhadap sebuah informasi di media, biasa kita kenal dengan Budaya Literasi Media. Literasi Media merupakan seperangkat kecakapan yang berguna dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu bisa lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar dan baca.

Budaya literasi telah lebih dahulu diajarkan oleh agama. Sebagai contoh di agama Islam telah termaktub dalam kitabnya Alqur'an Surat Al Hujurat ayat 06, yaitu :"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". 

Maksud dari kalimat "periksalah dengan teliti" di ayat tersebut adalah kegiatan memeriksa dan meneliti dengan cermat, tidak tergesa-gesa dalam menghukumi perkara dan meremehkan urusan sehingga benar-benar menghasilkan suatu fakta yang valid.

Membangun budaya literasi media memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi budaya membaca masyakarat Indonesia juga masih rendah. Sehingga masyarakat menjadi malas atau mungkin tidak terpikirkan untuk melakukan check and recheckterhadap suatu berita. Padahal sebenarnya mudah saja menyikapi sebuah informasi yang beredar di media. 

Jika sumber informasi tersebut tidak jelas, tidak terverifikasi, isinya tidak masuk akal dan kurang bermanfaat, maka sebaiknya diacuhkan saja dan tidak perlu disebarkan. Sehingga kita terhindar dari perilaku hoax. Namun, mengingat budaya literasi masyarakat yang masih rendah, maka tidak heran jika seseorang dengan mudahnya percaya terhadap informasi hoax.

Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dari gerakan anti hoax ini, seorang pendidik harus bisa merangkul komunitas dan lingkungannya untuk menjadi manusia yang melek media atau cerdas bermedia. 

Seseorang yang melek media, maka ia mampu memahami dunia media massa sehingga kritis dan selektif dalam menerima informasi dan tidak mudah terpengaruh pesan yang disampaikan baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. Hal ini ditujukan agar para penikmat media menjadi sadar dan melek tentang bagaimana cara media dikontruksi dan diakses.

Selain itu, Sang Pendidik juga diharapkan mampu menggerakkan Pemerintah untuk semakin gencar dalam memberantas perilaku hoax. CNN Indonesia menyebutkan bahwa dalam data yang dipaparkan oleh kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (Pratama, 2006).

Selama tahun 2016, Kemenkominfo telah memblokir sedikitnya 773.000 situs. Tindakan tersebut berdasarkan peraturan, yakni KUHP UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No.40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun pada kenyataannya. dari hukum yang sudah dibuat oleh Pemerintah, setiap hari masih saja kita jumpai berita hoax. 

Pembuat dan penyebar hoax semakin besar dan tidak berbanding lurus dengan jumlah persidangan di pengadilan. Mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini disebabkan ketidakseriusan Pemerintah dalam memperkarakan kasus ini hingga ke meja hijau. Padahal untuk melawan pelaku hoax tersebut, Pemerintah sudah memiliki payung hukum yang cukup kuat. Namun Pemerintah masih belum mampu menjerat pelakunya, sungguh sangat disayangkan.

Penulis sendiri sering mendapatkan informasi hoax. Entah itu berupa broadcast di aplikasi chatingmaupun artikel atau gambar-gambar yang beredar di sosial media dan internet. Mulai dari info lowongan kerja, berita kematian wakil kepala daerah, fitnah terhadap tokoh dan kelompok tertentu hingga berita kriminal seperti fenomena penculikan anak dan lain-lain. 

Menyikapi informasi hoax tersebut, Penulis selalu waspada dan melakukan check & recheck untuk memastikan kebenarannya. Jika berupa pesan di whatsapp dan sejenisnya, Penulis akan bertanya kembali dari mana sumbernya? Kemudian menelusuri situs websitenya. Jika berupa informasi kriminal, Penulis akan bertanya kepada pihak terkait misalnya kepada pihak Kepolisian. 

Begitu seterusnya untuk kasus-kasus hoax yang lain. Dan Penulis selalu berusaha mengendalikan diri untuk tidak menyebarkan informasi, sebelum ada kepastian kebenaran dan juga tingkat kebermanfaatannya bagi masyakarat atau publik.

Untuk menunjang hal tersebut di atas, Penulis masih terus meningkatkan kapasitas diri dalam menguasai literasi media dan memperluas pengetahuan dengan banyak membaca dan bertanya kepada yang ahli.

Mengakhiri tulisan ini, Penulis mencoba menyimpulkan bahwa kita sebagai individu maupun sebagai seorang Pendidik, sudah seyogyanya untuk bergandengan tangan dalam memerangi fenomena hoax. Sebab, perilaku hoax adalah tindakan keliru dan bukan merupakan karakter bangsa Indonesia. Perilaku hoax juga dapat dikategorikan sebagai penyakit yang harus segera diberantas. Karena hoax memiliki dampak buruk yang sangat berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, seorang Pendidik juga memiliki kewajiban untuk terus mengedukasi masyarakat khususnya pelajar keluarga dan komunitas di lingkungannya, agar mereka cerdas dalam bermedia. Sehingga, mereka memiliki imunitas diri berupa sikap kritis dan selektif terhadap informasi yang mereka terima. Dan pada akhirnya, pertikaian dan permusuhan yang muncul akibat informasi hoax mampu dicegah sedini mungkin.

 Salam sukses untuk para Pendidik yang tidak mengenal lelah dalam mempersiapkan generasi calon pemimpin bangsa.

#antihoax #marimas #pgrijateng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun