Sebenarnya, informasi hoax memiliki ciri khas tersendiri. Pertama, informasi tersebut biasanya diberi judul yang sangat provokatif untuk menggiring para pembaca. Hal itu berlaku baik untuk kabar berita dan artikel online, broadcast melalui aplikasi chating maupun akun-akun sosial media lainnya yang berupa gambar-gambar.Â
Dengan judul yang ekstrim dan provokatif tersebut, secara otomatis memunculkan stigma atau mindset negatif dari pembaca. Sehingga kebanyakan penikmat informasi hanya mencukupkan dirinya dengan membaca judul tanpa perlu membaca isi tulisannya.
Kedua, informasi hoax dapat bersumber dari perorangan maupun secara lembaga. Jika ia berupa situs website, maka dapat kita telusuri dari nama situsnya. Begitu pun untuk akun-akun sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line dan Whatsapp. Perlu diwaspadai pula bahwa banyak nama-nama akun atau situs yang sangat bertolak belakang dengan karakter si pembuat informasi, sebagai kamuflase agar para pembaca menerima kebenaran informasi yang dibuat.Â
Sebagai contoh, si A tidak suka dengan si B. Maka si A membuat sebuah informasi atau membuat akun dan situs website dengan nama si B. Sehingga para pembaca terdoktrin jika informasi atau akun dan situs tersebut adalah milik si B. Ini merupakan senjata yang sangat ampuh untuk mempengaruhi pembaca dan melumpuhkan pihak tertentu. Apalagi jika si pembuat informasi merupakan sebuah lembaga atau seseorang yang cukup dikenal, berpendidikan dan berpengaruh di masyarakat. Maka akan semakin mudah diterima oleh pembaca.
Namun, ada satu hal lagi yang juga harus diwaspadai, yaitu adanya para pengadu domba yang begitu gencar memproduksi informasi hoax. Dia bukan si A dan juga bukan si B, melainkan si C. Si C sangat pandai mengambil peluang demi kepentingannya sendiri. Si C akan bertindak sebagai pengadu domba kepada kedua belah pihak, agar kisruh menjadi semakin besar.
Ketiga, untuk mengetahui apakah sebuah informasi bernilai hoax atau fakta, maka kita perlu menganalisa dengan seksama isi informasi tersebut. Opini negatif, fitnah, ujaran kebencian dan atau gambar (meme) yang beredar serta menyerang pihak tertentu dengan pilihan diksi yang cukup tajam dan tendensius, biasanya selalu berseberangan dengan fakta yang sebenarnya dari pihak lawan yang dimaksud.Â
Oleh karena itu, para Pendidik dituntut untuk semakin memperluas wawasan dan pengetahuannya dalam bidang apapun agar tidak mudah terkecoh oleh pemberitaan yang ternyata hoax semata.
Penting bagi seorang Pendidik untuk menguasai hal tersebut di atas. Sebab, menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang mudah percaya terhadap hoax.Â
Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki (Respati, 2017). Secara alami perasaan positif akan muncul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi, sehingga cenderung tidak akan mempedulikan kebenaran informasi yang diterimanya. Hal ini yang mendasari seseorang dengan sangat mudah untuk menyebarkan informasi hoax.
Dewasa ini, informasi hoax sudah sangat mengkhawatirkan. Ia begitu menghantui dan bisa memecah belah masyarakat bahkan berpotensi mengancam keamanan nasional. Sebenarnya sangat disesalkan apabila informasi yang beredar di dunia maya atau media sosial berisi informasi bohong atau hoax.Â
Sebab sebuah informasi dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok, yang kemudian informasi itu menggiring pembaca kepada opini yang negatif, fitnah, ujaran kebencian dan ancaman kepada pihak-pihak tertentu yang berujung pada perusakan reputasi dan menimbulkan kerugian materi.