Maksud dari kalimat "periksalah dengan teliti" di ayat tersebut adalah kegiatan memeriksa dan meneliti dengan cermat, tidak tergesa-gesa dalam menghukumi perkara dan meremehkan urusan sehingga benar-benar menghasilkan suatu fakta yang valid.
Membangun budaya literasi media memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi budaya membaca masyakarat Indonesia juga masih rendah. Sehingga masyarakat menjadi malas atau mungkin tidak terpikirkan untuk melakukan check and recheckterhadap suatu berita. Padahal sebenarnya mudah saja menyikapi sebuah informasi yang beredar di media.Â
Jika sumber informasi tersebut tidak jelas, tidak terverifikasi, isinya tidak masuk akal dan kurang bermanfaat, maka sebaiknya diacuhkan saja dan tidak perlu disebarkan. Sehingga kita terhindar dari perilaku hoax. Namun, mengingat budaya literasi masyarakat yang masih rendah, maka tidak heran jika seseorang dengan mudahnya percaya terhadap informasi hoax.
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dari gerakan anti hoax ini, seorang pendidik harus bisa merangkul komunitas dan lingkungannya untuk menjadi manusia yang melek media atau cerdas bermedia.Â
Seseorang yang melek media, maka ia mampu memahami dunia media massa sehingga kritis dan selektif dalam menerima informasi dan tidak mudah terpengaruh pesan yang disampaikan baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. Hal ini ditujukan agar para penikmat media menjadi sadar dan melek tentang bagaimana cara media dikontruksi dan diakses.
Selain itu, Sang Pendidik juga diharapkan mampu menggerakkan Pemerintah untuk semakin gencar dalam memberantas perilaku hoax. CNN Indonesia menyebutkan bahwa dalam data yang dipaparkan oleh kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (Pratama, 2006).
Selama tahun 2016, Kemenkominfo telah memblokir sedikitnya 773.000 situs. Tindakan tersebut berdasarkan peraturan, yakni KUHP UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No.40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun pada kenyataannya. dari hukum yang sudah dibuat oleh Pemerintah, setiap hari masih saja kita jumpai berita hoax.Â
Pembuat dan penyebar hoax semakin besar dan tidak berbanding lurus dengan jumlah persidangan di pengadilan. Mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini disebabkan ketidakseriusan Pemerintah dalam memperkarakan kasus ini hingga ke meja hijau. Padahal untuk melawan pelaku hoax tersebut, Pemerintah sudah memiliki payung hukum yang cukup kuat. Namun Pemerintah masih belum mampu menjerat pelakunya, sungguh sangat disayangkan.
Penulis sendiri sering mendapatkan informasi hoax. Entah itu berupa broadcast di aplikasi chatingmaupun artikel atau gambar-gambar yang beredar di sosial media dan internet. Mulai dari info lowongan kerja, berita kematian wakil kepala daerah, fitnah terhadap tokoh dan kelompok tertentu hingga berita kriminal seperti fenomena penculikan anak dan lain-lain.Â
Menyikapi informasi hoax tersebut, Penulis selalu waspada dan melakukan check & recheck untuk memastikan kebenarannya. Jika berupa pesan di whatsapp dan sejenisnya, Penulis akan bertanya kembali dari mana sumbernya? Kemudian menelusuri situs websitenya. Jika berupa informasi kriminal, Penulis akan bertanya kepada pihak terkait misalnya kepada pihak Kepolisian.Â
Begitu seterusnya untuk kasus-kasus hoax yang lain. Dan Penulis selalu berusaha mengendalikan diri untuk tidak menyebarkan informasi, sebelum ada kepastian kebenaran dan juga tingkat kebermanfaatannya bagi masyakarat atau publik.