Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.
***
“Ada yang mau request lagu?” tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
Sendirian, aku mencoba untuk mengusir penat setelah seharian bekerja. Temanku memberi tahu bahwa ada café yang menyajikan cappuccino ter-enak yang pernah dia rasakan. Tergoda, dan akupun mampir. Sendiri. Aku baru sadar bahwa ada live music disini karena pertanyaan si penyanyi kafe itu. Request lagu? Aku tertawa dalam hati. Sombong benar pemuda ini. Apa dia bisa menyanyikan semua jenis lagu? Kalau begitu, aku mau request.
“November Rain! Bisa?” aku berseru dari sudut ruangan itu.
“Oh. Emm. Yaah. Bisa, Mbak” jawabmu waktu itu.
When I look into your eyes, I can see a love restrained
But darling when I hold you, don’t you know I feel the same…
November Rain mengalun dari bibir itu beserta petikan gitar yang menambah indah suasana. Boleh juga, pikirku. Aku melirik, di luar hujan masih rintik-rintik. Dan suaramu membuatku enggan untuk beranjak. Aku kembali melayangkan pandangan padamu. Pria yang cukup tampan. Ditambah suara yang bagus untuk bernyanyi. Pastilah banyak perempuan yang bermain mata denganmu. Tiba-tiba imajinasiku bergerak liar membayangkan sesuatu. Aku dan kamu di suatu tempat, bercumbu. Ahhh! Pikiran wanita lajang yang berumur seperempat abad. Aku tertawa sendiri. Tapi, kamu memang tampan.
“Ada yang mau request lagi?” tanyamu lagi.
Aku tidak menyadari bahwa lagu permintaanku sudah selesai dinyanyikan. Berikutnya lagu lain kembali mengalun dari bibirmu. Rasanya semakin malas aku beranjak dari sini. Menikmati cappuccino sembari mendengarkan alunan indah darimu, cukuplah untuk mengusir penatku. Tidak terasa malam semakin pekat. Aku memutuskan untuk pulang saja.
“Terima kasih, Mbak. Datang lagi ya,” ujar pramusaji yang membukakan pintu untukku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Datang lagi? Mungkin saja. Tapi kalau ada pemuda itu, pastilah aku akan sudi mampir kembali. Haha. Aku pun melirik kearah pemuda itu sebelum keluar. Dan pada saat yang bersamaan si tampan membalas tatapan ku sambil melambaikan tangan. Sial!! Aku jadi deg-degan.
‘Cause nothing last forever, and we both know hearts can change
And it’s hard to hold a candle, in the cold November rain…
Walau sudah bukan November, tapi aku selalu memintamu untuk menyanyikan November Rain. Pertemuan demi pertemuan di café itu membuat kita semakin akrab. Bahkan tak jarang kita menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat lain. Sekedar karaoke bersama,ataupun bercerita tentang hidup masing-masing.
“Aku sudah merekam contoh suaraku. Semoga produser itu tertarik,” ujarmu malam itu.
“Suaramu bagus. Semoga rezekimu juga. Kenapa tidak ikut kontes menyanyi saja?” tanyaku.
“Hahaha. Aku sudah pernah, tapi tidak berhasil. Mungkin suaraku tidak cocok dengan selera mereka. Aku yakin suatu hari nanti aku bisa jadi penyanyi terkenal.”
“Aku doakan, Mo.”
Begitulah. Kita saling mendukung satu sama lain. Terus terang, aku tertarik padamu saat itu. Entahlah dengamu. Aku tidak mungkin menanyakannya. Walaupun hidup di zaman serba canggih dan modern, tapi untuk yang satu ini aku tetap bersikap konvensional. Akibatnya, aku selalu bertanya-tanya dalam hati tentang perasaanmu. Aku selalu mengira-ngira apa arti semua perlakuanmu itu. Suka kah? Atau hanya bersikap gentle saja? Seandainya aku pria dan dia perempuannya, maka akan mudah bagi bibirku untuk menanyakan apakah dia suka padaku dan mau menjalin hubungan yang lebih dekat denganku. Itu memang tugas pria kan, untuk menanyakan hal macam itu? Eh, salah ya?
…but lovers always come, and lovers always go
And no one’s really sure who’s letting go today…
“Aku sudah tidak sabar bertemu produser itu, Sin!”
“Waah aku tidak sabar melihatmu di televisi, menjadi selebritis!”
“Hahaha. Selebritis? Perutku mual mendengar itu. Ada-ada saja.”
“Tapi semua itu mungkin kan? Dan tinggal selangkah lagi, Mo. Bersiap sajalah.”
“Hahaha. Apa kalau menjadi selebritis nanti namaku jadi berubah ya?
“Maksudmu?”
“Nama Armo terlihat tidak keren, Sin. Kampung sekali kesannya.”
“Hahahaha. Biar kampung kalau nyanyinya bagus, tetap saja jadi keren.”
“Hahaha. Ada-ada saja. Kamu memang temanku yang terbaik, Sinta.”
***
Oke. Teman. Sebenarnya kata itu cukup menggambarkan perasaanmu padaku bukan? Huh, teman? Tidak rela rasanya aku mendengar kata itu keluar dari mulutmu. Aku ingin lebih! Ah, mulai lagi. Keegoisan seorang Sinta mulai tampak. Dan sifat buruk itu justru muncul pada saat hari-hari terakhir kita bersama, sebelum kamu pergi ke Jakarta dan menemui produser itu. Kemanapun kamu pergi, harus ada aku. Harus. Aku tidak mau membuang kesempatan untuk terus bersama kamu. Aku bertindak seolah-olah tidak ada hari esok. Dan, memang.
Stasiun kereta api, Minggu pagi. Rintik hujan mulai turun. Bulan ini November kedua setelah pertemuan kita pertama kali. Stasiun terlihat ramai entah karena banyaknya orang yang datang ataupun orang-orang yang akan pergi. Beberapa kuli angkut memasang mata kalau-kalau ada yang membutuhkan jasa mereka. Beberapa pedagang asongan masih setia menjaga dagangan mereka. Sementara aku gelisah. Kamu bersikeras tidak mau aku antar. Dan aku bersikeras untuk mengantarmu. Entah kenapa aku merasa sepertinya kamu tidak akan kembali. Lagipula, aku sudah memantapkan hati untuk mengatakan isi hatiku padamu. Melupakan rasa gengsi yang masih bertaut di kepalaku.
“Kenapa, Sin? Hahaha. Sedih ya? Ya ampun Sinta. Bandung-Jakarta itu tidak jauh kan?”
“Bukan itu, Mo.”
“Lantas apa? Pagi-pagi begini wajah cantikmu terlihat muram. Tidak benar itu.”
Aku tersenyum. Kamu memang pintar sekali menggodaku.
“Sebenarnya…seperti apa perasaanmu padaku?” tanyaku akhirnya.
…
Suasana hening. Aku menunduk dan tidak berani menatap cowok ini. Seketika aku menyesal telah menanyakan hal tersebut. Jangan-jangan dia mengira aku terlalu agresif telah menanyakannya pertanyaan itu.
“Memang kenapa?” tanyamu akhirnya.
“Aku…kamu pasti tau. Aku menyukaimu,” jawabku pelan.
…
Kembali hening. Tidak ada reaksi apapun dari kamu. Tiba-tiba kereta yang akan membawamu akan segera berangkat. Ah, sialan! Pikirku. Lalu tiba-tiba kamu memegang bahuku.
“Aku harus pergi. Sampai ketemu lagi ya. Nanti aku kabari sesampainya di Jakarta,” ujarmu pelan.
Hah? Itu saja? Lalu bagaimana dengan pertanyaanku?
Kereta api itu akhirnya berlalu dari stasiun. Hujan yang tadinya rintik mulai deras. Tanpa sadar aku menangis. Entah karena malu, sedih, ataupun kecewa. Mengapa dia tidak menjawabnya? Apa susahnya sih? Atau sebenarnya dia hanya menganggapku teman, dan tidak mau menyakitiku sehingga tidak bersedia menjawabnya? Hari itu, aku pulang dengan sejuta tanya.
***
Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.
November datang lagi. Sudah setahun yang lalu sejak kepergianmu mengadu nasib di Jakarta. Sudah setahun lalu sejak pertanyaanku tak pernah terjawab. Sudah setahun lalu sejak kamu berjanji akan mengabariku. Sudah setahun kamu tak pernah mengabariku. Sudah setahun aku mencoba menghubungimu namun selalu gagal. Sudah setahun seolah-olah kita tidak pernah saling kenal.
Sementara hujan mulai deras. Aku memesan kembali segelas cappuccino kepada pramusaji yang sudah tidak asing itu. Dia pasti tahu benar kebiasaanku untuk menikmati cappuccino hangat di sudut ruang ini. Sendiri. Aku memandang sekeliling. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Sama seperti setahun ataupun dua tahun yang lalu. Yang berbeda hanya, tidak ada kamu. Itu saja.
…but if you could heal a broken heart, wouldn’t time be out to charm you…
Di suatu siang. Seminggu yang lalu.
“Berikut adalah new comer di musik Indonesia. Lagu yang berjudul ‘Andai Aku Bisa Mencintaimu’ berhasil duduk sebagai bubbling video minggu ini. Langsung saja saksikan video berikut!” terdengar suara seorang VJ dari televisi rumahku.
Aku sibuk membolak-balik majalah fashion yang baru saja kubeli. Rencananya aku akan meminta temanku yang designer itu untuk membuatkan gaun malam seperti yang dikenakan seorang model dalam majalah itu. Perkawinan sahabat kecilku bulan depan akan menjadi saksi gaun itu pertama kali kupakai. Sayup-sayup aku mendengar suara si penyanyi baru itu. Suara yang tidak asing. Rasa-rasanya aku pernah mendengarnya. Seperti suara….
“Armo!” pekikku tak percaya.
Sosok yang selama ini menghilang dari pandanganku tiba-tiba muncul sebagai seorang selebritis baru. Armo, ternyata kamu berhasil. Tanpa sadar aku tersenyum. Ikut bangga pada keberhasilanmu. Sejenak aku melupakan apa yang pernah terjadi. Melupakan mengapa kamu berlalu begitu saja tanpa kabar apapun. Melupakan sebuah pertanyaan, yang mungkin bodoh, yang aku tanyakan waktu itu. Armo berhasil.
***
Aku meletakkan cangkir yang berisi cappuccino itu di meja. Itu cangkir terakhir untuk hari ini. Hujan mulai reda, lebih baik aku pulang saja. Sementara November Rain mengalun dibelakangku ketika aku meninggalkan café itu. Bukan dari Armo tentu saja. Tapi dari penyanyi café baru yang aku minta untuk menyanyikan lagu itu. Walau nyanyiannya tak sebaik Armo.
…’cause nothing lasts forever, even cold November rain…
***
Armo menginjak pedal rem dalam-dalam. Sore itu hujan cukup deras mengguyur jalanan utama Jakarta. Dia terjebak kemacetan yang biasa terjadi pada saat jam pulang kantor. Di mobil sedan biru itu mengalun November Rain. Lagu yang selalu mengingatkan dia pada Sinta. Dan betapa bersalahnya ia menghilang dari perempuan itu tanpa kabar. Perempuan yang cukup baik yang pernah ia kenal. Armo tak berani membayangkan betapa terlukanya gadis itu bila Armo menjawab pertanyaannya setahun yang lalu. Tidak tega rasanya menyakiti hati gadis yang memepercayainya sepenuh hati.
“Ah. Andai aku bisa mencintaimu, Sinta,” ujar Armo menggumam.
Digenggamnya tangan seseorang disamping joknya dengan erat. Seseorang yang selama ini dicintainya dengan sepenuh hati. Seseorang yang selama ini ia sembunyikan. Seseorang yang juga mencintainya dengan teramat sangat.
“Sudahlah, Mo. Suatu hari nanti kamu harus berterus terang pada Sinta,” ujar orang itu.
“Yah. Suatu hari nanti,” ujar Armo.
“Aku mencintaimu. Kamu tahu itu.”
“Aku juga begitu, Firman,” balas Armo.
Pria itu kemudian semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Armo.
Sore itu hujan deras di Jakarta. Suatu hari nanti, Sinta akan tahu keadaan Armo yang sebenarnya. Semoga dia tidak kecewa.
…everybody needs somebody, you’re not the only one…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H