“Aku sudah merekam contoh suaraku. Semoga produser itu tertarik,” ujarmu malam itu.
“Suaramu bagus. Semoga rezekimu juga. Kenapa tidak ikut kontes menyanyi saja?” tanyaku.
“Hahaha. Aku sudah pernah, tapi tidak berhasil. Mungkin suaraku tidak cocok dengan selera mereka. Aku yakin suatu hari nanti aku bisa jadi penyanyi terkenal.”
“Aku doakan, Mo.”
Begitulah. Kita saling mendukung satu sama lain. Terus terang, aku tertarik padamu saat itu. Entahlah dengamu. Aku tidak mungkin menanyakannya. Walaupun hidup di zaman serba canggih dan modern, tapi untuk yang satu ini aku tetap bersikap konvensional. Akibatnya, aku selalu bertanya-tanya dalam hati tentang perasaanmu. Aku selalu mengira-ngira apa arti semua perlakuanmu itu. Suka kah? Atau hanya bersikap gentle saja? Seandainya aku pria dan dia perempuannya, maka akan mudah bagi bibirku untuk menanyakan apakah dia suka padaku dan mau menjalin hubungan yang lebih dekat denganku. Itu memang tugas pria kan, untuk menanyakan hal macam itu? Eh, salah ya?
…but lovers always come, and lovers always go
And no one’s really sure who’s letting go today…
“Aku sudah tidak sabar bertemu produser itu, Sin!”
“Waah aku tidak sabar melihatmu di televisi, menjadi selebritis!”
“Hahaha. Selebritis? Perutku mual mendengar itu. Ada-ada saja.”
“Tapi semua itu mungkin kan? Dan tinggal selangkah lagi, Mo. Bersiap sajalah.”
“Hahaha. Apa kalau menjadi selebritis nanti namaku jadi berubah ya?
“Maksudmu?”
“Nama Armo terlihat tidak keren, Sin. Kampung sekali kesannya.”
“Hahahaha. Biar kampung kalau nyanyinya bagus, tetap saja jadi keren.”
“Hahaha. Ada-ada saja. Kamu memang temanku yang terbaik, Sinta.”
***
Oke. Teman. Sebenarnya kata itu cukup menggambarkan perasaanmu padaku bukan? Huh, teman? Tidak rela rasanya aku mendengar kata itu keluar dari mulutmu. Aku ingin lebih! Ah, mulai lagi. Keegoisan seorang Sinta mulai tampak. Dan sifat buruk itu justru muncul pada saat hari-hari terakhir kita bersama, sebelum kamu pergi ke Jakarta dan menemui produser itu. Kemanapun kamu pergi, harus ada aku. Harus. Aku tidak mau membuang kesempatan untuk terus bersama kamu. Aku bertindak seolah-olah tidak ada hari esok. Dan, memang.
Stasiun kereta api, Minggu pagi. Rintik hujan mulai turun. Bulan ini November kedua setelah pertemuan kita pertama kali. Stasiun terlihat ramai entah karena banyaknya orang yang datang ataupun orang-orang yang akan pergi. Beberapa kuli angkut memasang mata kalau-kalau ada yang membutuhkan jasa mereka. Beberapa pedagang asongan masih setia menjaga dagangan mereka. Sementara aku gelisah. Kamu bersikeras tidak mau aku antar. Dan aku bersikeras untuk mengantarmu. Entah kenapa aku merasa sepertinya kamu tidak akan kembali. Lagipula, aku sudah memantapkan hati untuk mengatakan isi hatiku padamu. Melupakan rasa gengsi yang masih bertaut di kepalaku.
“Kenapa, Sin? Hahaha. Sedih ya? Ya ampun Sinta. Bandung-Jakarta itu tidak jauh kan?”