“Bukan itu, Mo.”
“Lantas apa? Pagi-pagi begini wajah cantikmu terlihat muram. Tidak benar itu.”
Aku tersenyum. Kamu memang pintar sekali menggodaku.
“Sebenarnya…seperti apa perasaanmu padaku?” tanyaku akhirnya.
…
Suasana hening. Aku menunduk dan tidak berani menatap cowok ini. Seketika aku menyesal telah menanyakan hal tersebut. Jangan-jangan dia mengira aku terlalu agresif telah menanyakannya pertanyaan itu.
“Memang kenapa?” tanyamu akhirnya.
“Aku…kamu pasti tau. Aku menyukaimu,” jawabku pelan.
…
Kembali hening. Tidak ada reaksi apapun dari kamu. Tiba-tiba kereta yang akan membawamu akan segera berangkat. Ah, sialan! Pikirku. Lalu tiba-tiba kamu memegang bahuku.
“Aku harus pergi. Sampai ketemu lagi ya. Nanti aku kabari sesampainya di Jakarta,” ujarmu pelan.
Hah? Itu saja? Lalu bagaimana dengan pertanyaanku?
Kereta api itu akhirnya berlalu dari stasiun. Hujan yang tadinya rintik mulai deras. Tanpa sadar aku menangis. Entah karena malu, sedih, ataupun kecewa. Mengapa dia tidak menjawabnya? Apa susahnya sih? Atau sebenarnya dia hanya menganggapku teman, dan tidak mau menyakitiku sehingga tidak bersedia menjawabnya? Hari itu, aku pulang dengan sejuta tanya.
***
Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.
November datang lagi. Sudah setahun yang lalu sejak kepergianmu mengadu nasib di Jakarta. Sudah setahun lalu sejak pertanyaanku tak pernah terjawab. Sudah setahun lalu sejak kamu berjanji akan mengabariku. Sudah setahun kamu tak pernah mengabariku. Sudah setahun aku mencoba menghubungimu namun selalu gagal. Sudah setahun seolah-olah kita tidak pernah saling kenal.
Sementara hujan mulai deras. Aku memesan kembali segelas cappuccino kepada pramusaji yang sudah tidak asing itu. Dia pasti tahu benar kebiasaanku untuk menikmati cappuccino hangat di sudut ruang ini. Sendiri. Aku memandang sekeliling. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Sama seperti setahun ataupun dua tahun yang lalu. Yang berbeda hanya, tidak ada kamu. Itu saja.
…but if you could heal a broken heart, wouldn’t time be out to charm you…
Di suatu siang. Seminggu yang lalu.
“Berikut adalah new comer di musik Indonesia. Lagu yang berjudul ‘Andai Aku Bisa Mencintaimu’ berhasil duduk sebagai bubbling video minggu ini. Langsung saja saksikan video berikut!” terdengar suara seorang VJ dari televisi rumahku.
Aku sibuk membolak-balik majalah fashion yang baru saja kubeli. Rencananya aku akan meminta temanku yang designer itu untuk membuatkan gaun malam seperti yang dikenakan seorang model dalam majalah itu. Perkawinan sahabat kecilku bulan depan akan menjadi saksi gaun itu pertama kali kupakai. Sayup-sayup aku mendengar suara si penyanyi baru itu. Suara yang tidak asing. Rasa-rasanya aku pernah mendengarnya. Seperti suara….
“Armo!” pekikku tak percaya.
Sosok yang selama ini menghilang dari pandanganku tiba-tiba muncul sebagai seorang selebritis baru. Armo, ternyata kamu berhasil. Tanpa sadar aku tersenyum. Ikut bangga pada keberhasilanmu. Sejenak aku melupakan apa yang pernah terjadi. Melupakan mengapa kamu berlalu begitu saja tanpa kabar apapun. Melupakan sebuah pertanyaan, yang mungkin bodoh, yang aku tanyakan waktu itu. Armo berhasil.
***
Aku meletakkan cangkir yang berisi cappuccino itu di meja. Itu cangkir terakhir untuk hari ini. Hujan mulai reda, lebih baik aku pulang saja. Sementara November Rain mengalun dibelakangku ketika aku meninggalkan café itu. Bukan dari Armo tentu saja. Tapi dari penyanyi café baru yang aku minta untuk menyanyikan lagu itu. Walau nyanyiannya tak sebaik Armo.
…’cause nothing lasts forever, even cold November rain…
***
Armo menginjak pedal rem dalam-dalam. Sore itu hujan cukup deras mengguyur jalanan utama Jakarta. Dia terjebak kemacetan yang biasa terjadi pada saat jam pulang kantor. Di mobil sedan biru itu mengalun November Rain. Lagu yang selalu mengingatkan dia pada Sinta. Dan betapa bersalahnya ia menghilang dari perempuan itu tanpa kabar. Perempuan yang cukup baik yang pernah ia kenal. Armo tak berani membayangkan betapa terlukanya gadis itu bila Armo menjawab pertanyaannya setahun yang lalu. Tidak tega rasanya menyakiti hati gadis yang memepercayainya sepenuh hati.
“Ah. Andai aku bisa mencintaimu, Sinta,” ujar Armo menggumam.