Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Kekuasaan Gereja: Konteks Gereja Barat

19 Juli 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 2182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permasalahan kekuasaan antara Gereja dan Negara sementara dapat selesai, namun pertikaian belum berakhir. Fredrich I Barbarossa tetap saja melawan perintah-perintah otoritas Roma. Walaupun dalam beberapa hal ia berkompromi dengan Paus Alexander III yang berkuasa pada tahun 1177-1181. Pasca kematian Paus Alexander III, kekuasaannya semakin bertambah dengan perkawinan politiknya berakibat pada pengaruh kekuasaannya yang menyebar sampai Kerajaan Naples, Italia Selatan. Dibawah kepemimpinan anaknya Henry VI (1190-1197), tradisi kejayaan kekuasaannya diteruskan. Namun seperti biasa, konflik antar garis keturunan kembali terjadi setelah kematian Henry VI. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paus Innocentius III (1198-1216) untuk mengkonsolidasikan kekuatan Gereja.

Paus Innocentus III berpendapat: "Paus kurang besar dari Allah, tetapi lebih besar dari manusia, [...] Ia bukan Wali Petrus saja, tetapi Wali kristus sendiri."[34] Implikasinya dalam kekuasaan, ia ingin menegakkan kembali jabatan dan otoritas kepausan atas seluruh raja-raja Eropa. Keuntungan-keuntungan lainnya pada masa Innocentus III, ia bertindak sebagai pengampu dan wali Kaisar baru, Fredrich II, anak Henry VI yang masih muda. Kuasa Innocentus begitu ditakuti dan kekuasaannya tidak seperti Paus sebelumnya yang hanya bisa mengeluarkan himbauan semata. Ia memiliki seluruh kekuasaan atas Italia hingga Jerman. Otoritasnya juga dapat membuat para raja mengikuti aturan-aturan Gereja dan cara pandang teologis Gereja, sebagai contoh: [1] Raja Perancis dipaksa menerima kembali istrinya; [2] Raja Inggris yang tidak menerima Uskup Besar Canterbury dipecat dan dikutuki, sampai akhirnya dibuang dan dipaksa mengakui otoritas Gerejawi; [3] Segala sekte beserta ajaran yang selama ini menyimpang dari garis ajaran mainstream dibinasakan, setelah selama ini hanya bisa didiamkan. Dibawah kekuasaannya, Konsili di Latheran diadakan dan menghasilkan dampak bagi pemulihan kemuliaan Paus dan kuasa Gereja. Tercatat ada 2000 hadirin yang terdiri atas raja-raja Kristen, 71 Patriakh dan Uskup Besar, 412 Uskup, lebih dari 800 abt, dan tentu saja minus Gereja Timur.[35]

Ia tetap melanjutkan kebijakan pasca Gregorius Agung yang menolak pandangan Agustinus bahwa semua hanya karena kasih karunia. Gereja disini dituntut terlibat aktif dalam urusan kekuasaan duniawi, Paus Innocentus III bahkan ditetapkan memiliki kuasa untuk melakukan ekskomunikasi dan interdik, yaitu dalam satu daerah seluruh penduduk dilarang menerima sakramen.[36] Pada masa Innocentus III ini juga dia memberikan peluang kepada Fransiskus dari Assisi untuk mendirikan Ordo yang terkenal, yaitu: Ordo Fratrum Minorum, yang disahkan pada tahun 1210 dan juga Ordo Dominican, yang didirikan oleh Dominicus, seorang Spanyol pada tahun 1216, ordo ini dikemudian hari dipakai sebagai alat kekuasaan Gereja sebagai inkuisisi.[37]

Situasi ini mulai berubah ketika pewaris tahta yang sah, yaitu Fredrich II telah dewasa dan siap memerintah pada tahun 1215. Fredrich II memang mulai banyak membangkang atas otoritas kepausan Roma, dan begitu mengganggu kekuasaan Gereja. Pasca kematiannya di tahun 1250, Italia Selatan dan Sisilia diberikan oleh Paus Urbanus IV kepada Kerajaan Perancis untuk mengimbangi pengaruh Jerman atas otoritas Gereja, khususnya di wilayah Italia. Kebijakan Paus Urbanus IV yang cenderung meminta bantuan ke koneksi Perancis untuk melawan pengaruh Jerman sangat wajar karena diduga dia juga memiliki darah Perancis. Inilah cikal bakal alasan mendasar mengapa Perancis begitu berakar kuat dalam sejarah Italia yang di kemudian hari akhirnya menimbulkan pertikaian antara Gereja dengan 'Koneksi Perancis'.

Pada periode ini lahir juga beberapa pemikir-pemikir ulung Gereja yang mendapatkan pendidikan di biara Ordo Dominican misalnya Thomas Aquinas (1225), yang berasal dari Italia. Pemikirannya pada saat ini belum begitu terpakai secara praktis sampai jaman kontra reformasi dimulai; pemikiran utamanya adalah kesesuaian hukum manusia dengan hukum alam dan hukum Tuhan bisa menjadi ancangan yang lebih baik bagi negara untuk melakukan institusionalisasi pemerintahan yang terbatas, melalui cara konstitusi yang tertulis dan judicial review.[38]

[D] Periode 1250-1450

Seperti yang kita bahas kebijakan pro-Perancis model Paus Urbanus IV yang bertahta di Italia membuat pengaruh Kerajaan Perancis bercokol di Italia Selatan. Mula-mula kebijakan ini ditetapkan untuk menjaga Gereja dari pengaruh kuasa raja-raja dan Kaisar Jerman namun pada pemerintahan Paus Boniface VII (1294 -1303) justru kebijakan ini berbalik memakan kekuasaan Gereja.

Paus Boniface VII berkonflik dengan Raja Philip IV dari Perancis menyangkut dua pokok permasalahan. Keprihatinannya yang pertama adalah menyangkut masalah pajak yang dikenakan kepada kaum klerus di Perancis. Tindakan yang diambil oleh Philip IV berlawanan dengan keputusan Konsili Latheran. Di pihak Philip IV, dia beranggapan membutuhkan pajak dari seluruh rakyatnya tanpa terkecuali kaum klerus, sebagai bagian dari suatu bangsa semua harus ikut andil karena perang melawan Edward I dari Inggris sangat menguras biaya perang. Sebenarnya, konflik ini tidak akan terjadi jika Boniface dan Philip IV menemui titik kompromi, Boniface memutuskan untuk menolak keputusan Philip IV terlepas dari kondisi semacam apa yang membuat dia harus mengeluarkan keputusan semacam itu. April 1926, Boniface mengeluarkan bulla Clericis laicos yang menentang seluruh raja yang menarik pajak dari kaum klerus. Keputusan ini dijawab Philip IV dengan mengembargo institusi kepausan secara ekonomi. Institusi kepausan sangat kelabakan dengan kebijakan tersebut, dan akhirnya mengalah dengan mengeluarkan bulla Etsi de Statu, pada bulan Juli 1297. Isi dari bulla tersebut adalah mengijinkan raja untuk menarik pajak kepada kaum klerus jika negara dalam keadaan darurat tanpa harus melalui ijin institusi kepausan.[39]

Paus Boniface VII adalah betul-betul seorang yang tidak mengerti politik kekuasaan. Setelah dia dipermalukan untuk mencabut bullanya dan menjilat ucapannya oleh Philip IV. Kali ini ia membuka konfrontasi baru dengan Philip IV dengan mengeluarkan bulla Unam sanctam, yang mempertanyakan relasi mutlak antara kekuasaan sementara duniawi dengan kekuasaan spiritual yang abadi.[40] Doktrin dua pedang yang dikeluarkannya pada tahun 1302 berbeda cara pikir dengan Paus Gelasius di masa lalu. Paus Gelasius menginterpretasikan Lukas 22:38, dengan pandangan moderat bahwa solusi terhadap masalah hubungan Gereja dengan Negara bisa ditemukan dalam koordinasi yang harmonis dari dua kekuasaan tanpa subordinasi institusional yang satu pada yang lain; Sedangkan bagi Paus Boniface VII solusi kekuasaan antara Gereja dengan Negara, jawabannya terletak pada organisasi institusional yang berasal dari otoritas tunggal.[41] Tentu saja bagi Boniface VII yang berhak mendapatkan hal tersebut adalah institusi kepausan.

Philip IV betul-betul murka karena dia tahu bulla tersebut secara khusus ditunjukkan kepada dirinya. Ketika dia mendengar isu bahwa Boniface VII juga sedang mengeluarkan kutuk baginya, Philip IV memutuskan menyerang dan menangkap Boniface VII, walaupun akhirnya dilepas kembali akhirnya tidak selang beberapa lama kemudian Boniface VII wafat. Komentar Bekhof dan Enklaar terhadap paus yang satu ini sungguh menarik untuk disimak, bahwa: "Kejadian itu merupakan suatu pukulan besar bagi Paus yang memang terlalu melebih-lebihkan kekuasaannya."[42] Pada saat inilah, Perancis mulai memainkan peranannya dalam institusi kepausan.

Peranan Perancis begitu terlihat ketika pada tahun 1309 istana kepausan dipindah ke Avignon, Perancis. Lebih jauh lagi, Philip IV juga melebarkan kekuasaannya di lembaga kepausan ketika ia memilih Uskup Besar Bordeaux sebagai Paus Clement V. Bahkan pada tahun 1312, boneka Philip IV yaitu Paus Clement V dipaksa untuk membubarkan Ordo Templar yang terdiri atas kolaborasi klerus-klerus dengan tuan-tuan tanah yang kaya di Perancis. Selama 70 tahun Paus yang semuanya berasal dari Perancis berada dalam kendali Raja Perancis. Pada tahap ini sisi etis moralitas dikesampingkan. Moralitas para klerus mencapai titik terendah dengan kehausannya akan uang semakin berlebih dan menyengsarakan rakyat. Pada titik inilah penyair Dante (1256-1321) di kota Florence memberikan sindiran dengan karyanya Komedi Ilahi [Divina Comedia]. Dante mengkritik para pejabat gerejawi yang bertindak keduniawian. Kedudukan paus dilukiskannya sebagai perempuan sundal dalam kitab Wahyu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun