Pada detik-detik akhir tahun 410 kejayaan Romawi Barat sekarang mengalami nasib tragis. Terjadi kemerosotan kehidupan budaya dan intelektual yang terjadi secara gradual menurunnya disiplin dan moral, melemahnya kebajikan civic, dan ketergantungan yang meningkat pada kerja budak, semuanya ikut melenyapkan kekuatan dan kejayaan Roma. Hanya Gereja dengan organisasi yang semakin tumbuh, administratornya yang terlatih, dan semangatnya yang menyala yang bisa mengisi kekosongan yang disebabkan oleh tumbangnya kekuasaan politik di Barat. Saatnya sekarang telah tiba bagi formulasi yang lebih sistematis mengenai kedudukan Kristen di tengah-tengah masyarakat manusia. Tugas ini diemban oleh salah seorang pemikir Gereja, yaitu Agustinus seorang uskup di Hippo.
Agustinus (333-430) dilahirkan di Tagaste, sebuah kota di Afrika Utara. Pada masa mudanya ia adalah penganut Pagan dan tertarik pada studi filsafat khususnya karya-karya Cicero. Dalam masa-masa pergumulannya mencari 'kebenaran' dia berulangkali berpindah dari satu agama ke agama yang lain, mulai dari Manikeanisme, Neo-Platonisme, hingga akhirnya ke agama Kristen. Ketika Roma jatuh ketangan bangsa Goth, beberapa orang Pagan menuduh agama Kristen bertanggungjawab atas bencana tersebut. Agustinus melakukan apologetika [pembelaan] dalam karyanya The City of God [De Civitate Dei]. Pledoi yang disusun dalam bukunya mulai ditulius pada tahun 413 dan terbit secara bersambung selama 13 tahun. Karyanya memberikan argumen bahwa orang-orang Pagan salah menilai bahwa agama Kristen adalah penyebab keruntuhan kekaisaran Romawi, karena menurutnya Cicero telah mengungkapkan bahwa Republik sudah korup dan lemah sebelum kekristenan tiba. Agustinus terkenal dengan memberikan konsep metafor dan mendasar bahwa menurutnya ada dua model pemerintahan, yang satu berasal dari Tuhan, dan satu lagi bersumber pada manusia. Argumen teologi dalam bukunya memperlihatkan bahwa kejatuhan imperium Romawi juga menunjukkan keberdosaan manusia yang tidak mampu mengelola tanggung jawab, hanya dengan kasih Tuhan maka pemerintahan ideal akan terwujud. Hubungan antara kedua kota ini tidak bisa disatukan karena dalam gereja dan negara ada pertentangan antara kebaikan melawan kejahatan.[13] Secara teori memang masih banyak aspek mengenai konsep hubungan kekuasaan politik antara gereja dan negara pada jaman Agustinus yang masih bisa diperdebatkan, seperti yang ditulis almarhum R.A Markus, profesor emiritus Universitas Nottingham. Bagi Markus, Agustinus secara fundamental memberikan gambaran baru yang sama sekali berbeda mengenai konsep umum pemerintahan yang dikenal semenjak jaman Romawi kuno yaitu republik dengan membuat kata baru untuk menunjukkan sesuatu yang ideal, yaitu: civitas. Civitas dibagi menjadi dua bagian, yaitu: [1] Civitas Dei; [2] Civitas Terena. Civitas Dei adalah kota Tuhan yang sama sekali berbeda dengan keadaan duniawi, mengenai keadilan sejati yang bersifat supra, keadaan pemerintahan yang baik, di gereja dan masyarakat, sedangkan Civitas Terena kebalikannya.[14] Menurut Schmandt, pemikiran ini memang tidak memperlihatkan pemikiran baru tentang negara, Agustinus hanya mengedepankan masalah dua loyalitas dan perlunya membuat garis batas dari dua wilayah, antara duniawi dan spiritual.[15]
Pasca Agustinus, ide pemisahan ini diperkuat oleh Paus Leo I (440-461) dimana dia membuat formula untuk memperlihatkan otoritas kepausan secara spiritual, bahwa paus adalah pemegang kekuasaan Gereja pasca Rasul Petrus [indignus haeres beati Petri]. Leo membangun kepausan berdasarkan ide kekuasaan monarki, dimana dia berpendapat "mereka berada di tempat Petrus" [vice Petri fungimur]. Pemerintahan kepausan di pimpin oleh seorang Paus [primatus] sekaligus pemimpin kepala [principatus] dari Gereja. Gereja berdasarkan pandangan Paulus adalah Tubuh Kristus [Corpus Christi].[16] Sampai posisi ini, Gereja masih sibuk membangun otoritas kekuasaannya.
Pada tahun 494 ide Agustinus ini masih dipertahankan dalam upaya formal merumuskan hubungan gereja dan negara. Paus Gelasius adalah orang yang memperkenalkan konsep awal doktrin dua pedang yang terambil dari Lukas 22:38. Ia berargumen bahwa semenjak mula ada dua kekuasaan yang sangat berbeda bahwa ada raja dan sah seperti Melkisedek, namun Kristus mengetahui kelemahan sifat manusia dan sangat peduli dengan nasib domba-dombanya, memisahkan dua kekuasaan ini, menyerahkan fungsi dan tugasnya kepada masing-masing. Jadi, seorang pemimpin Kristen membutuhkan pendeta untuk mencapai kehidupan abadi, dan demikian juga para pendeta tergantung pada pemerintah dan raja dalam masalah dunia.[17] Sampai pada titik ini kekristenan berkembang tanpa adanya konflik, terbukti ketika Raja Clovis dari Franka pada tahun 496 dengan sukarela menerima agama Kristen. Negara dan Gereja pada saat itu justru saling berkembang bersama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Menariknya pada periode ini mulai dikenal ideologi pemerintahan Raja Kristen di Barat (Christian Kingship). Di masa lalu para raja pada periode Helenisme dianggap sebagai suatu sistem dimana ada seorang pemimpin tunggal yang berhak memerintah dengan dibantu para bawahannya, dan ide itu hanya ditambah oleh masyarakat barbar bahwa yang berhak memerintah adalah orang yang populis, dicintai oleh masyarakat sukunya. Sedangkan teologi pada jaman ini memberikan paham yang menggambarkan bahwa Kristus adalah pemerintah para raja-raja. Pertanyaan mendasarnya adalah [1] Bagaimana "Kristus" mengatur masyarakat barbar? [2] Bagaimana peran raja dibawah "Kristus" yang tidak kelihatan tersebut? Maklum saja pemimpin atas masyarakat 'barbar' yang baru saja melakukan konvesi ke agama Kristen menerima sebuah ide pemerintahan raja yang membingungkan dari para pendeta yang baru saja memproselitkan mereka. Namun permasalahan model kekuasaan ini tidak berlangsung lama karena para teolog pada masa tersebut dapat merumuskan formula untuk menyelesaikan masalah-masalah legalitas kekuasaan teologi-politis tersebut. Formula tersebut adalah Rex Dei Gratia. Para pemimpin tersebut menjadi "Raja oleh karena Kasih Karunia Tuhan."[18]
Gregorius I (540-604) menjadi Paus ditahun 590, ketika memerintah ia masih menghargai ide pemisahan tersebut walaupun kadangkala Gregorius masih harus campur tangan karena kelemahan administratif dan kesibukan pertikaian antar para pemimpin sekuler di Italia serta Eropa Barat. Pada masa itu mulai bermunculan kerajaan-kerajaan yang menganut agama Kristen. Sebuah pemerintahan para raja-raja mulai menancapkan kakinya ke daerah-daerah Eropa Barat. Kerajaan Roma takluk dibawah Theoderic Agung yang meraih tahta kekaisaran Roma dengan gelar kaisar Anastasius di tahun 497. Hampir seluruh suku-suku di wilayah Eropa Barat (German, Spanyol, Perancis) perlahan-lahan masuk agama Kristen Katholik. Pekerjaan rumah Gereja ini tetap dilanjutkan hingga jaman Gregorius Agung. Gregorius menyadari bahwa masyarakat nomaden yang gemar berperang ini mulai mengenal peradaban walaupun mungkin belum 'genap'. Melihat kondisi seperti ini, dalam penyusunan teologi ia agak berbeda dengan Agustinus. Menghadapi kondisi sosial-politik yang mulai tertata ia mulai berpaling dari ajaran-ajaran Agustinus yang hanya mengandalkan kasih karunia semata. Menurut Gregorius keselamatan kekal dihasilkan oleh kerjasama dari rahmat Tuhan dengan amal, jasa, dan penitensia manusia.[19] Dia juga mempertegas kedudukan Gereja sebagai pemberi keselamatan dengan mencetuskan ajaran mengenai api penyucian. Impikasi dalam bidang kekuasaan terlihat jelas bahwa Gregorius juga mulai melakukan reformasi kekuasaan Gereja yang mulai bertumbuh dan berakar kembali di Eropa Barat, dan Italia. Konsep kekuasaan model Gregorius memperlihatkan kuasa Gereja atas kehidupan dan pasca kehidupan manusia, sedangkan disisi lain Gereja juga dapat melakukan campur tangan jika terjadi penyelewengan kekuasaan berdasarkan nilai-nilai teologis di dunia sekuler walaupun dalam batas tertentu. Berkhoff dan Enklaar berpendapat dalam masa ini Gereja dibawah kepemimpinan Gregorius menjadi pemimpin, pengatur masyarakat, guru, dan pelatih.[20]
Ketika Gereja sibuk menata administrasinya dan sekaligus menata masyarakat barbar tersebut, perlahan-lahan kekuatan baru lahir dari Timur. Kekuatan tersebut adalah Islam. Sebuah agama yang dibangun oleh Muhammad, seorang Arab. Kekuatan Islam pasca kematiannya semakin menguat, menyebar, dan menimbulkan pengaruh sehingga perlahan-lahan Gereja di Timur dan kerajaan Byzantum goyang. Di Timur Tengah-Asia Kecil mulai bermunculan kerajaan-kerajaan baru berasaskan Islam, seperti kerajaan Ottoman, Mamluk, dstnya. Pasukan-pasukan ini juga mulai melancarkan ekspansi ke Eropa Barat. Raja Frank, yaitu Karel Martel berhasil menyelamatkan Eropa Barat di tahun 732 dengan mengalahkan pasukan Islam di Poitiers, Perancis. Pippin III alias Pepin Pendek anak dari Karel Martel juga menjadi pelindung Gereja ketika Paus Zacharias meminta pertolongannya untuk mengalahkan Longobardia (Lombards). Pada titik ini Gereja menjadi tidak berdaya, sehingga corak yang mula-mula seimbang menjadi Negara-Gereja, dimana Gereja menjadi tidak berdaya dalam hal kekuasaan dan membutuhkan bantuan para pemimpin sekuler.
Masa transisi antara 750-1050 merupakan saat-saat ketegangan dimana pertikaian antara pemimpin Gereja dan Sekuler mulai memuncak. Charlemagne atau yang lebih sering dikenal sebagai Karel Agung (742-814) mulai melebarkan sayapnya setelah mulai memerintah Frank pada tahun 768, dia menaklukan hampir seluruh Eropa Barat. Perdebatan teologis kemudian berlangsung, pada posisi mana Karel harus ditempatkan? Apakah dia dianggap sebagai utusan Tuhan [vicarius Dei] atau sekaligus pendeta dan raja [rex et sacerdos]?[21] Hal ini juga mengganggu bagi Paus Leo III, ketergantungan Gereja terhadap para pemimpin sekuler semakin bertambah. Leo III berbeda pandangannya dengan Paus sebelumnya Adrianus. Dia mulai memikirkan untuk membuat keseimbangan dimana kekuasaan Gereja dan Negara mencapai titik sehat kembali. Momentum ini didapat Paus Leo III ketika melihat Karel Agung mendukung otoritas Gereja dengan melegitimasi kekuasaan Gereja atas para pemimpin sekuler. Sebagai balasannya maka Karel Agung menerima penobatan pada tanggal 25 Desember 800 masehi menjadi kaisar [Imperator Romanorum] atas seluruh wilayah Franka dan pelindung Roma dari Paus Leo III. Dengan keputusan teologis-politis ini berarti Karel mencatatkan dirinya dalam sejarah Eropa Barat bahwa dia berhasil menstabilkan kekuasaan kerajaaannya setelah Romawi Barat hancur. Sedangkan implikasinya bagi Gereja adalah Gereja tetap mendapatkan posisi tinggi sebagai tempat spiritual. Pada masa ini antara kekuasaan Gereja dan Negara dapat kembali bekerjasama serta berkolaborasi secara sehat. Di tahun 829, hasil rapat Konsuli Gereja di Perancis mengembangkan pemahaman ecclesia [persekutuan] menjadi konsultasi bersama antara Gereja dengan raja berdasarkan interpretasi terhadap traktat Gelasius, yaitu: De institutione Regia.[22]
Namun kejayaan kuasa dan keseimbangan ini tidak berlangsung lama, Karel yang wafat meninggalkan konflik diantara garis keturunannya. Keputusan perjanjian Verdun di tahun 843, Franka terbelah menjadi tiga bagian, yaitu: Franka Tengah, Barat, dan Timur. Franka Barat dipimpin oleh Charles Bald (840-877); Franka Timur dipimpin Louis dari Jerman; sedangkan Franka Tengah menjadi milik Kaisar Lothar (855).[23] Setelah Lothar meninggal ditahun 855, seharusnya tahta diserahkan kepada Louis II, namun Louis II yang masih belia dipermainkan oleh Charles Bald dan Louis dari Jerman sehingga Franka Tengah kehilangan wilayahnya, celakanya eks-wilayah Franka Tengah semisal di Italia Utara dibiarkan terlantar oleh dua Raja tersebut. Pada posisi ini Gereja tidak ikut campur dalam pertikaian antar garis keturunan keluarga Karel Agung, Gereja beserta jajarannya hanya memberikan pendapat namun tidak ikut campur dalam konflik kekuasaan tersebut. Kekuasaan Gereja begitu lemah dan tidak terkoordinasi pada tahun 900, menurut Berkhof dan Enklaar, kaum bangsawan di Perancis merebut kuasa dalam Gereja dan merampas rumah-rumah biara, dan di Jerman para hertog-hertog [pangeran suku-suku asli pribumi] melemahkan kuasa raja dan Kaisar sehingga berdampak pada Gereja, sedangkan jabatan Paus di Roma jatuh ke dalam tangan orang-orang bangsawan.[24] Kekuasaan Gereja kembali pada posisi terendahnya pada periode ini sehingga kembali berada dalam perlindungan Negara. Pada periode ini (900-999) tercatat ada 27 Paus yang dinaikkan dan diturunkan secara semena-mena oleh para bangsawan di Italia.
Setelah Otto I (936-973) memerintah di tahun 962 mulai membereskan kekacauan di Franka Timur, dia membereskan para hertog-hertog sehingga mulai membereskan kekacauan. Dia juga mulai melebarkan pengaruhnya ke Gereja sehingga keadaan di Italia mulai agak terkendali. Atas jasanya ini, Gereja melalui Paus Yohanes XII memberikan gelar kepadanya menjadi Kaisar atas seluruh wilayah Jerman sampai ke Italia Tengah, yang nantinya akan menjadi cikal bakal Kerajaan Roma Suci. Tradisi ini diteruskan hingga jaman Paus Yohanes XIX (1024-1033), dan pemberian gelar ini dikembangkan, dipakai, dan dimanfaatkan sebagai legitimasi kekuasaan bagi raja-raja Eropa lainnya.[25] Fase konflik ini sementara dapat diakhiri dengan melakukan hubungan yang harmonis antara sacerdotium dan regnum. Penobatan Raja oleh Paus menjadi alternatif menghindari konflik kekuasaan.[26] Disisi lain dalam periode ini, jabatan tinggi agama dan dunia seringkali dirangkap oleh satu orang (selain Paus dan Raja). Mulai tumbuhnya sistem Feodal banyak pejabat Gereja menjadi tuan-tuan tanah, dan konsekuensinya menjadi bawahan raja. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa para pendeta juga merupakan administrator yang mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang terbaik pada jaman ini. Implikasinya pejabat Gereja mulai dari yang tinggi -uskup dan kepala biara pria- tidak hanya menjadi kepala wilayah tetapi juga menjadi bagian integral dari struktur dan sistem pemerintahan sekuler yang sedang berkembang. Bisa dipahami jika dibawah kondisi semacam ini, raja menuntut peran dalam pemilihan dan penunjukan uskup. Secara teoritis, pejabat-pejabat ini dipilih oleh kepala biara pria dan orang-orang yang ditetapkan oleh hukum Gereja; pada kenyataannya, sejak abad keenam, hak penguasa sekuler lebih dominan untuk menyetujui dan melegitimasi para pejabat Gerejawi.[27] Inilah yang akhirnya memancing keprihatinan tokoh-tokoh yang ingin menegakkan kekuasaan Gereja pada periode selanjutnya.
[C] Periode 1000-1250
Pada saat ini juga mulai timbul sebuah kesadaran baru, bahwa kekuasaan Gereja tidak akan terjadi tanpa koordinasi dan pembaharuan. Biara Cluny di Burgondia melakukan ide reformasi besar-besaran. Pembaharuannya menuntut: [1] Biara-biara harus dipimpin langsung oleh Paus; [2] Raja dan Bangsawan tidak boleh mencampuri pimpinan dan urusan-urusan Biara; [3] Kaum rahib harus taat kepada disiplin yang keras dan wajib hidup lebih saleh.[28] Mereka militan dalam melawan Simoni dan juga menegakkan aturan untuk tidak menikah kembali. Tokoh yang akan meneruskan perjuangan biara Cluny adalah Hildebrand yang akhirnya bergelar Paus Gregorius VII. Sejak abad keenam