Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Kekuasaan Gereja: Konteks Gereja Barat

19 Juli 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 2182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Henry III menyetujui reformasi dari dalam Gereja sehingga akhirnya dia membereskan kebingungan Gereja dengan memecat ketiga orang yang menduduki jabatan Paus secara bersamaan dan menetapkan Paus Leo IX (1049-1054) dengan kekuasaan tunggal -tentu saja dalam batasan tertentu-. Pada masa ini golongan yang melawan Simoni semakin menguat misalnya: Peter Damian dan Humbert yang menjadi Kardinal di tahun 1950. Peter Damian mengeluarkan buku Liber gratissimus (1052) dan Humbert dengan Libri tres adversus simoniacos (1058).[29] Henry III memang sanggup mengatasi kekacauan Gereja namun kekhawatiran Gereja akan kembalinya kaum awam yang mencampuri urusan Gerejawi membuat mereka harus cepat berkonsolidasi, khususnya momentum ini di dapat karena kematian Henry III, yang digantikan oleh anaknya Henry IV yang kala itu masih berusia enam tahun.

Kekhawatiran jika Negara masih intervensi dengan melakukan campur tangan pada pemilihan Paus, membuat jajaran Gereja berbenah diri terus menerus setelah kematian Paus Leo IX dengan reformasinya yang berhasil membentuk Majelis Para Kardinal. Penggantinya, Paus Nicholas II (1059-1061) dengan dibantu Hildebrand menetapkan aturan baru pemilihan Paus dengan hak suara yang hanya dimiliki oleh para Kardinal, cara ini dikemudian hari kita kenal dengan konklaf. Paus Alexander II (1061-1073) kemudian juga meneruskan reformasi kekuasaan ini ke tingkat kardinal dan uskup, bahwa Gerejalah yang berhak menentukan jabatan Gerejawi bukan orang awam.[30] Sudah bukan rahasia lagi, arsitek kekuasaan dari Gereja pada saat itu adalah Hildebrand, sebagai pembantu dari kelima Paus sebelumnya. Dialah dalang dari penguatan kekuasaan Gerejawi melawan penguasa awam.

Hildebrand adalah seorang pembaharu yang didukung oleh para pejabat Gerejawi. Hildebrand akhirnya menerima jabatan dan kekuasaan sebagai seorang Paus di tahun 1509 dengan gelar Gregorius VII, tindakannya sangat radikal dengan mengambil hak sebagai seorang Paus tanpa melalui prosedur yang 'resmi' yaitu meminta pertimbangan Henry IV, sebagai Kaisar yang sah pada saat itu. Pandangannya menentang arus kekuasaan yang berlaku. Dia bersikap tegas dengan memegang ketiga prinsip ini: [1] Paus sekali-kali tidak bergantung pada penguasa dunia; [2] Pauslah satu-satunya kepala Gereja, dan semua klerus harus mentaatinya; [3] Segala kuasa duniawi pun hanya dapat dikaruniakan oleh Paus saja.[31]

Tindakan Gregorius yang menentang Henry IV memancing konflik kekuasaan baru antara Gereja dan Negara. Peristiwa ini akan dikenal sebagai Via Canossa. Gregorius mulai memancing amarah Henry IV dengan melarang ikut campurnya para penguasa sekuler dalam sidang sinode di tahun 1075. Pelarangan ini berarti pelecehan terhadap kekuasaan Henry IV sebagai Kaisar. Henry IV mengkonsolidasi uskup-uskup di Jerman untuk memecat Gregorius VII. Bukannya berhasil memecat Gregorius VII, yang berlaku malah sebaliknya. Gregorius VII dengan dibantu raja-raja Jerman justru berhasil memecat Henry IV sebagai Kaisar Roma Suci. Namun Henry IV adalah Kaisar yang cerdik, pada tahun 1077 dia merendahkan diri dihadapan Paus Gregorius VII di Canossa, Italia Utara. Gregorius VII akhirnya memberikan pengampunan serta pemulihan kekuasaan Henry IV di Jerman. Tapi pertarungan kekuasaan baru saja dimulai. Henry IV teramat dendam dengan Gregorius VII dan setelah otoritasnya sebagai Kaisar pulih, dia memutuskan menyerang Roma, dan menggulingkan Gregorius VII serta mengangkat Guibert sebagai Paus tandingan, dengan gelar Clement III. Gregorius VII sendiri kemudian diasingkan di Salermo, dan tidak berapa lama kemudian dia meninggal (1085). Peristiwa ini berdampak pada kekuasaan Gereja untuk selang yang cukup lama melawan kekuasaan Henry IV. Akhirnya ada dua kubu, kubu yang pertama adalah Gereja dengan Pausnya; kubu kedua adalah Negara dengan Paus tandingannya. Jaman ini juga dikenal sebagai Jaman Paus Tandingan Jilid Pertama.

Pada jaman ini, Gereja memiliki dua kubu berbeda dengan 11 Paus yang silih berganti memimpin dan berkuasa. Corak kekuasaan yang terjadi lebih mementingkan pertarungan faksional ketimbang kepentingan kekuasaan yang bercorak Gerejawi. Melihat kondisi semacam ini, pertemuan pada titik ini menjadi buntu. Kedua kubu tidak lelah untuk berhenti bertarung dan berpegang teguh antara keyakinan teologis dan kepentingan kekuasaan semata. Keyakinan hitam melawan putih membuat mereka seolah-olah seperti bermain catur. Pertandingan ini menghasilkan kerugian-kerugian diantara kedua belah pihak.

Jaman Paus Tandingan Jilid Pertama*[32]

Paus Yang Sah

Masa Jabatan

Paus Tandingan

Masa Jabatan

Gregorius VII

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun