Laki-Laki Malang
Di ujung jalan yang tak pernah menuntun pulang,
ada seorang laki-laki duduk di atas bayangannya sendiri.
Ia menggambar senja dengan jari-jari retak,
menganyam harapan yang tercerai dalam embun.
Sepiring nasi dingin, ia tatap seperti cermin.
Di dalamnya, ia temukan mata anak-anak kecil
yang tak lagi tahu rasa kenyang,
dan suara istrinya yang hilang di antara gemuruh mesin pabrik.
"Jangan menangis," katanya pada udara,
namun pipinya basah, seperti hujan yang lupa jalan ke tanah.
Laki-laki itu,
menyulut rokok dengan doa,
menghembuskannya ke langit
seolah asap bisa jadi utusan
untuk Tuhan yang jarang turun ke sini.
Di tangannya, ada luka kecil,
di dalamnya, ada negeri besar
yang ia pikul seperti batu di pundaknya.
Di malam yang gelap,
ia kembali berjalan ke arah lampu-lampu redup,
mencari tempat untuk membaringkan rindu,
sebab rumah bukan lagi rumah
dan hidup adalah jalan panjang menuju entah.
(Karawang, 2022)
Payung Air Mata
Di sudut pasar yang mulai basah,
ada payung tua berdiri tanpa tuan.
Warnanya pudar, seperti kisah yang tak lagi diingat,
tapi ia tetap membentang,
melindungi genangan yang menjelma kaca.
Seorang ibu melintas, memeluk kantung plastik,
isi perutnya hari ini.
Tangannya gemetar, bukan karena dingin,
tapi karena rindu
pada pelukan anak yang tak lagi pulang.
Payung itu memayungi,
bukan hanya hujan,
tapi juga isak yang jatuh tanpa suara.
Tangis anak kecil yang kehilangan sandal,
ratap lelaki tua pada kios yang hangus terbakar malam lalu.
"Payung ini terlalu setia," bisik hujan,
"ia menyimpan air mata
yang tak sempat jatuh ke tanah."
Di bawah payung itu,
aku berdiri,
menadah rinai yang tetap lolos,
merasakan bagaimana luka manusia
selalu mencari tempat bernaung,
meski ia tahu,
air mata tak pernah benar-benar kering.
(Bandung, 2024)
Melihat dengan Mata Buta
Di trotoar retak oleh waktu,
seorang pria berdiri.
Tangannya menggenggam tongkat kayu,
matanya tak lagi mengenal warna dunia.
Namun ia melihat,
lebih tajam dari cahaya yang mengiris pagi.
Ia tahu jalan-jalan ini penuh janji yang tertunda,
gedung-gedung yang menutup langit
dan suara-suara yang hanya berpura-pura peduli.
Di hadapannya,
keramaian adalah lukisan abu-abu,
orang-orang berlalu seperti angin
yang tak ingin dikenang.
"Yang buta bukan aku," katanya perlahan,
"tapi mereka yang tak melihat luka
di tanah ini."
Ia melangkah,
sambil mendengar cerita hujan
yang jatuh di atas payung plastik,
menyentuh bumi tanpa pernah diterima.
Dalam gelap, ia melihat lebih banyak:
wajah-wajah yang sembunyi di balik bayangan,
senyum yang berduri,
dan hati yang tak lagi punya pintu.
Langit mengerutkan keningnya,
seakan malu pada pria itu.
Karena di dunia ini,
hanya mereka yang kehilangan mata
yang benar-benar bisa melihat.
(Bandung, 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI