Mohon tunggu...
Arie Riandry Ardiansyah
Arie Riandry Ardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Agama Agama

Suka menulis macem-macem

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi Laki-laki malang dan Puisi Lainnya

21 Januari 2025   12:07 Diperbarui: 21 Januari 2025   12:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Laki-laki kesepian (Sumber oleh : MataKepri.com)

Laki-Laki Malang

Di ujung jalan yang tak pernah menuntun pulang,

ada seorang laki-laki duduk di atas bayangannya sendiri.

Ia menggambar senja dengan jari-jari retak,

menganyam harapan yang tercerai dalam embun.

Sepiring nasi dingin, ia tatap seperti cermin.

Di dalamnya, ia temukan mata anak-anak kecil

yang tak lagi tahu rasa kenyang,

dan suara istrinya yang hilang di antara gemuruh mesin pabrik.

"Jangan menangis," katanya pada udara,

namun pipinya basah, seperti hujan yang lupa jalan ke tanah.

Laki-laki itu,

menyulut rokok dengan doa,

menghembuskannya ke langit

seolah asap bisa jadi utusan

untuk Tuhan yang jarang turun ke sini.

Di tangannya, ada luka kecil,

di dalamnya, ada negeri besar

yang ia pikul seperti batu di pundaknya.

Di malam yang gelap,

ia kembali berjalan ke arah lampu-lampu redup,

mencari tempat untuk membaringkan rindu,

sebab rumah bukan lagi rumah

dan hidup adalah jalan panjang menuju entah.

(Karawang, 2022)

Payung Air Mata

Di sudut pasar yang mulai basah,

ada payung tua berdiri tanpa tuan.

Warnanya pudar, seperti kisah yang tak lagi diingat,

tapi ia tetap membentang,

melindungi genangan yang menjelma kaca.

Seorang ibu melintas, memeluk kantung plastik,

isi perutnya hari ini.

Tangannya gemetar, bukan karena dingin,

tapi karena rindu

pada pelukan anak yang tak lagi pulang.

Payung itu memayungi,

bukan hanya hujan,

tapi juga isak yang jatuh tanpa suara.

Tangis anak kecil yang kehilangan sandal,

ratap lelaki tua pada kios yang hangus terbakar malam lalu.

"Payung ini terlalu setia," bisik hujan,

"ia menyimpan air mata

yang tak sempat jatuh ke tanah."

Di bawah payung itu,

aku berdiri,

menadah rinai yang tetap lolos,

merasakan bagaimana luka manusia

selalu mencari tempat bernaung,

meski ia tahu,

air mata tak pernah benar-benar kering.

(Bandung, 2024)

Melihat dengan Mata Buta

Di trotoar retak oleh waktu,

seorang pria berdiri.

Tangannya menggenggam tongkat kayu,

matanya tak lagi mengenal warna dunia.

Namun ia melihat,

lebih tajam dari cahaya yang mengiris pagi.

Ia tahu jalan-jalan ini penuh janji yang tertunda,

gedung-gedung yang menutup langit

dan suara-suara yang hanya berpura-pura peduli.

Di hadapannya,

keramaian adalah lukisan abu-abu,

orang-orang berlalu seperti angin

yang tak ingin dikenang.

"Yang buta bukan aku," katanya perlahan,

"tapi mereka yang tak melihat luka

di tanah ini."

Ia melangkah,

sambil mendengar cerita hujan

yang jatuh di atas payung plastik,

menyentuh bumi tanpa pernah diterima.

Dalam gelap, ia melihat lebih banyak:

wajah-wajah yang sembunyi di balik bayangan,

senyum yang berduri,

dan hati yang tak lagi punya pintu.

Langit mengerutkan keningnya,

seakan malu pada pria itu.

Karena di dunia ini,

hanya mereka yang kehilangan mata

yang benar-benar bisa melihat.

(Bandung, 2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun