Goresan Tinta Merah
Tirai kamar bergerak kesana-kemari tak beraturan, menari-nari pada permukaan wajah Geoval. Ia membuka matanya sedikit, mendengakkan kepalanya kearah jendela yang lupa ia tutup. Posisi badannya ia ubah seketika dengan berat hati, meraba-raba tirai yang mengganggu ketenangannya saat tertidur. Matanya, menangkap siluet tubuh seseorang wanita yang sedang duduk di kursi goyang sambal menyisir rambutnya sendiri dengan jemarinya perlahan.
Brak!
Geoval kehabisan napas, menutup tirai beserta jendelanya rapat-rapat. Ia segera berlari menuju sudut kamarnya, membuka laci meja dan berusaha meraih benda yang ada di dalamnya. Kakinya melemas, tangannya bergetar, dan keringat dingin mulai berlomba-lomba menyusuri dahi lelaki berusia 29 tahun itu.
"Nak, Lanjutkan tidurmu dan pesan ibu." Suara orang yang ia cintai terdengar, dengan nada lemah lembut dari balik pintu diiringi ketukan.
Geoval terlelap.
"Nak, bangun. Lanjutkan pesan ibu." Geoval membuka matanya dengan kasar, keringat mulai bercucuran lagi dari dahinya. Jam tua itu menunjukan sudah pukul 6.15 pagi.
Pagi ini, ia membelah jalanan kota dengan mobil berwarna hitam pekat yang ia bawa kemanapun ia pergi. Ia memacu mobilnya itu dengan kecepatan yang tidak rendah, hendak menuju tempat balas dendam. Ia menepi di jalanan yang sepi, kanan dan kiri dihiasi pepohonan yang lebat dan menjulang tinggi. Geoval masuk kedalam salah salu lorong yang merupakan apitan dari dua buah bangunan tua yang tak berpenghuni.
"Mari saya antar." Setelah mendengar kalimat tersebut, Geoval menganggukan kepalanya dan mengikuti Langkah kaki seseorang yang sudah menunggunya entah sejak kapan.
Langkah kakinya bermuara pada sebidang tanah yang diatasnya terdapat bangunan sederhana, Nampak rapuh dan berantakan. Geoval melepaskan alas kakinya, dan mulai memasuki bangunan tersebut dengan hati yang khawatir namun raut wajahnya sudah mati seperti tidak lagi terdapat saraf-saraf yang bisa membuatnya berekspresi. Geoval mengepalkan kuat tangannya, menampakan bekas tancapan kuku pada telapak tangannya sendiri. Ia menatap nanar seseorang di depannya sedangkan yang di tatap hanya menunduk ketakutan tanpa berkata apapun.
"Siapa?" Tanya Geoval mencondongkan ke depan posisi duduknya sembari berkali-kali melirikkan matanya pada benda di atas meja.
"Saya tidak begitu kenal, tuan. Tapi hari itu, saya melihat dia tersenyum culas tepat 20 tahun lalu." Orang di hadapan Geoval menjelaskan dengan singkat sambil menatap Geoval dengan keberanian yang tersisa dari dalam dirinya.
"Paling lambat 4 hari, paham?" Geoval memberi tanda lingkaran merah pada objek yang tergeletak di meja dengan pena nya, entah pena dari mana.
Geoval melangkah pergi dari ruang tamu yang bernuansa gelap tersebut, melangkahkan kakinya Kembali pada jalan yang sebelumnya ia lewati. Ia memasukan kedua tangan nya pada saku celananya, menatap kearah depan dengan tatapan seperti biasa, kosong. Di persimpangan lorong, ia melihat seorang ibu yang sedang berbincang dengan anak laki-lakinya. Anak laki-laki tersebut terlihat beberapa kali menghentak-hentakan kakinya ke bumi, seperti sedang menuntut sesuatu.
"Sialan." Ucap Geoval sedikit berlari Ketika sang ibu dari anak laki-laki itu menolehkan kepalanya dan tidak sengaja mereka bertatap mata.
Geoval Kembali memasuki mobilnya dengan sedikit terengah, menyenderkan punggungnya pada kursi mobil dan lagi-lagi mencari benda yang selalu ia bawa kemana-mana. Tangannya bergetar hebat saat kembali ia mengingat apa yang barusan ia lihat, sosok sama seperti yang ia lihat malam tadi. Ada rasa luka, rindu, dan kebencian dalam dirinya. Geoval menghantamkan kepalanya berkali-kali pada kemudi mobil setelah menenggak setengah air dari dalam botol. Ia terus mengucapkan umpatan dan sumpah serapah.
Pandangannya menggelap, ia kembali terlelap.
Ruang kerja pribadi, remang lampu, dan hampir tengah malam. Geoval memposisikan kursinya menghadap pada jendela besar yang menawarkan indah gemerlap metropolitan. Sesekali ia memijat pelipisnya yang tidak terasa pusing, ia membalikkan posisi duduknya 180 derat menghadap meja. Matanya mengarah pada figura kecil yang ada di sudut meja, terdapat foto keluarga kecil di dalamnya. Anak laki-laki berusia Sembilan tahun dengan ibu dan bapaknya yang berdiri penuh suka cita di depan gerbang kebun Binatang.
Geoval ingin menangis, air matanya jatuh ke hatinya dan masuk kedalam rongga hitam balas dendam. Lampu ruang kerjanya sengaja ia matikan dan hanya menyisakan Cahaya yang datang dari jendela besar di ruangannya. Ia membuka laci mejanya, menampakkan foto yang ia lihat tadi siang, masih dengan goresan pena merah disekeliling wajah salah satu orang di dalam foto tersebut.
"4 hari? Terlalu lama." Batin Geoval sembari menggoreskan kukunya pada salah satu leher seseorang di dalam foto tersebut.
Geoval menaruh foto tersebut buru-buru ke dalam laci mejanya Ketika ia mendengar bel pintu kerjanya berbunyi, lantas ia segera melihat dari CCTV yang terpasang di depan ruangannya. Terlihat sosok Wanita cantik, terpaut usia lima tahun lebihh muda darinya membuka pintu ruangannya dan berjalan mendekati meja pribadinya. Perempuan yang berawakan tinggi semampai menggunakan dress seatas lutut dan sepatu hak berwarna merah dengan kondisi rambut yang sudah terlihat tidak begitu rapih lagi.
"Pak, ini berkasnya. Bisa bapak cek lagi" Ucap Wanita dihadapannya sembari menaruh setumpuk berkas-berkas penting diatas meja dan memposisikan badannya untuk duduk di kursi yang tersedia
Geoval menunjuk salah dinding yang berada di sebelah kanan, dalam kondisi remang, Hanna menyipitkan matanya untuk melihat arah yang ditunjuk oleh atasannya tersebut.
"Lampunya." Geoval bersuara saat Hanna tidak bereaksi apapun
"Oh, baik Pak." Hanna segera berjalan kearah yang ditunjuk oleh Geoval, menekan saklar lampu.
Ruangan kembali terang, tidak seperti kondisi awal saat Hanna masuk ke dalam ruangan tersebut. Hanna bersumpah, bulu halus di tengkuknya berdiri saat melihat kondisi ruangan Geoval yang gelap tanpa penerangan apapun, bukan karena apa-apa, bukankah Hanna hanya Wanita biasa? Ia juga takut pada sosok-sosok makhluk tak kasat mata.
 "Pak, Kapan saya boleh pulang? Semua berkas sudah saya selesaikan." Ucap Hanna yang sedari tadi sibuk mengamati Geoval yang sedak membolak-balik berkas yang beberapa saat lalu tergeletak di meja.
"Setelah ini." Hanya dua kata yang keluar dari dalam mulut Geoval, ia masih sibuk dengan aktifitasnya.
"Sayang, ke apart ku ya habis ini. Tidur di tempatku aja" Hanna kembali berucap, namun kali ini nada bicaranya sudah berubah 360 derajat disbanding beberapa saat lalu.
Geoval mengarahkan pandangannya kepada Hanna secara tiba-tiba, sesaat kemudian Geoval hanya mengangguk.
Sepasang kekasih itu berjalan kearah parkiran mobil, menyusuri setiap Lorong Perusahaan yang meremang karena sudah lewat Tengah malam. Hanna merangkul tangan kekar milik Geoval dan terus menenangkan hati nya karena ia tak pernah menyukai kegelapan. Geoval terus melangkahkan kakinya dengan mantap tanpa rasa ragu sedikitpun. Sesampainya di Lobby Perusahaan, Geoval menghentikan langkahnya. Wanita yang sama kala malam itu datang kembali, Wanita itu sedang duduk dengan nyaman di salah satu sofa yang tersedia di sisi kanan Lobby tersebut. Wanita dengan paras yang ayu namun terlihat bibirnya yang membiru sedang menatap Geoval sedari tadi.
"Bawa dia, Nak" Telinga Geoval dipenuhi suara denging hebat, disela-sela denging tersebut terselip kalimat yang sangat jelas.
"Bawa dia pada pangkuan ibunya dan lanjutkan pesan ibu." Imbuh lagi sosok yang Geoval lihat, sosok itu tidak membuka mulutnya sedikitpun namun Geoval dapat mendengar suaranya dengan sangat jelas
"Geo, ayo jalan. Kenapa berhenti?" Ucap Hanna membuyarkan lamunan Geoval. Geoval menolehkan kepalanya kepada sang kekasih, menampakkan senyuman yang dipaksa hangat dan mengusak perlahan surai Hanna.
Sepasang kekasih itu sudah berada di dalam mobil yang sama, Hanna menguap beberapa kali sedari tadi dan sudah menyandarkan punggungnya pada kursi mobil sang kekasihnya. Ia mengamati jalan sekitar, Nampak sepi namun gemerlap Cahaya masih senantiasa beradu siapa yang paling terang dan menarik. Inilah metropolitan, begitu pikir Hanna. Sesaat kemudian, ia menolehkan kepalanya kepada Geoval yang masih fokus menyetir mobilnya. Lelaki itu tidak pernah merubah ekspresi wajahnya, masih sama seperti 2 tahun lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Hanna tersenyum di sela-sela lamunannya, merasa bangga kepada Geoval atas semua perjalanan hidup yang telah Geoval jalani selama ini.
Rasa kantuk semakin menguasai diri Hanna, ia mengusap pelan lengan kekar Geoval dan terus menatap Geoval dengan tatapan tertulus yang ia punya.
"Geo, nanti kalo udah sampe bangunin aku ya" Ucap Hanna sambil menguap disela-sela kalimatnya.
Geoval hanya menganggukan kepalanya.
Hanna mulai terlelap dibangku penumpang dengan wajah yang sudah terlalu letih karena seharian harus mengurus berkas-berkas yang diperintahkan oleh atasannya sekaligus oleh pasangannya tersebut. Geoval menolehkan kepalanya kepada sang wanita, memastikan Hanna sudah tertidur dengan lelap. Tangan kekarnya mulai ia masukan kedalam saku celana miliknya, merogoh saku celana untuk mencari benda pipih dan segera mengeluarkan nya dari saku celana. Ia mengetik 8 huruf pada aplikasi chatting dan segera mengirimnya pada seseorang yang sudah siap diseberang jalan sana.
Geoval menghentikan mobilnya pada tepi jalan, jalan yang sepi dan minim pencahayaan. Jalanan ini masih sejalur dengan arah menuju apartemen Hanna, namun saat persimpangan, Geoval malah mengarahkan setirnya ke kiri.
Geoval turun dari mobilnya, dan membuka pintu mobil bagian kiri menampakkan Hanna yang masih tertidur pulas. Orang yang berada diseberang jalan segera menuju mobil Geoval, bersalaman dengan Geoval dan akhirnya melaksanakan tugasnya dengan mantap tanpa keraguan sedikitpun. Geoval hanya duduk dibangku yang tersedia dipinggir trotoar, menumpukan kakinya pada kaki yang lain sembari terus mengeluarkan asap dari mulutnya. Ia menikmati pertunjukan yang ada di depannya. apa yang dilakukan orang suruhannya tersebut, orang yang pagi tadi ia temui di bangunan yang sudah tak lagi kokoh.
"Pergi sekarang, bersihkan diri mu dan tutup mulut." Ucap Geoval sembari memberikan amplop cokelat besar dan tebal kepada seseorang dihadapannya.
Orang tersebut menerima amplop cokelat besar yang diberikan Geoval dengan tangan berlumuran darah dan segera pergi dari hadapan Geoval. Geoval segera masuk kedalam mobilnya. Menatap Hanna yang masih memejamkan mata dan tersenyum.
Setelah pemakaman dilaksanakan pagi hari tadi, Geoval langsung menuju rumahnya. Menuju kamarnya dan menyenderkan punggungnya pada sofa Panjang yang ada dikamarnya tersebut. Geoval menarik figura kecil yang ada didepannya, menampakkan sosok dirinya dan ibunya di dalam figura tersebut. ia menangis haru karena sudah berhasil membuat ibunya bahagia hari ini. Setelah penantian Panjang akhirnya ibunya mendapat keadilan yang seadil-adilnya.
"Istirahatlah dengan tenang bu, pesanmu sudah ku jalankan dengan baik." Ucap Geoval menahan sesak yang teramat di dadanya.
Niken, ibu Geoval hadir ditepat disamping ia duduk. Geoval menenggak air mineral dan menggelontorkan obat ditenggorokannya sebelum ia mendaratkan kepalanya dalam pangkuan ibunya. Ia pandangi wajah ibunya, wajah yang sama seperti 20 tahun lalu. Wajah yang selalu ia rindukan setiap malam, wajah yang selalu ia ingat dan membuatnya kuat. Mata Geoval memberat, bayangan gundukan tanah bertaburan bunga mulai berada di kepalanya. Nama Hanna yang bersebelahan dengan Ayahnya dan Perempuan penggoda itu sudah bersandingan dengan rapi di tempat yang seharusnya.Â
-( Selesai )-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H