Provinsi Nusa Tenggara Barat, identik dengan Mataram sebagai pusat pemerintahannya, dan Pulau Lombok karena pesona Gn. Rinjani 3.726 m dpl di bagian utaranya, telah menarik perhatian tidak hanya wisatawan domestik, namun geliat mereka dari beberapa negara pun mencolok terlihat mengunjungi objek paling hits tentunya. Tapi ternyata semakin jauh ke timur ada Pulau Sumbawa menawarkan pengalaman menyaksikan sisa Letusan Super Volcano Gn. Tambora 2.851 m dpl (11 April Tahun 1815).
Kegiatan lintas alam sepertinya telah membuat ketertarikan beberapa orang untuk menghabiskan masa liburan dengan berbagai keseruannya, untuk itu maka persiapan pun penting mengingat suasana baru tentu mendatangkan persoalan lainnya, hal ini dimaksudkan agar terhindar dari kejadian tidak terduga.Â
Jadi sebaiknya lakukan daftar pengecekan pada peralatan dasar penjelajahan sebelum berangkat, lalu tentukan akan berapa lama waktu pendakian, memilih jalur masuk menuju kawasan serta rute rambu selama berada di zona pengawasan baik itu Taman Nasional atau Taman Hutan Raya menjadi informasi wajib mendasar mengenai daerah tujuan.
Rencana ini totalnya 3 hari 2 malam ditempuh sekitar 56 km pada dua pintu masuk keluar berbeda. Pos 1 sebagai pertemuan dua rute yakni Oi Bura yang katanya lebih singkat 2 jam saja tanpa perlu berjalan kaki dari basecamp, cukup dengan Rp. 50.000 / orang, maka jasa ojek akan mengantarkan sampai di Kampung Bali sebagai titik terdekat. Sementara untuk rute dari Ds. pancasila (start bascamp berjalan kaki), ini jauh lebih menantang dan panjang, waktu tempuhnya pun bisa selama 6 jam berada di hutan rimbun beserta kejutannya (pacet).
Hari PertamaÂ
Kamis, 26 Desember 2019 memulai langkah dari penginapan (Bang Ipul kami mengenalnya) mengambil jalur setapak kaki lewat Ds. Pancasila yang bersamaan waktu itu ada dua orang laki - laki dari Belanda berangkat lebih dahulu, hanya saja mereka mengambil rute Oi Bora melewati beberapa kampung selama perjalanan serta jalan lebar tapi berlubang licin, imbas aktvitas keluar masuknya kendaaran pengangkut beban berat yakni kayu hasil hutan dari para penebang sekitar zona penyangga Taman Nasional Tambora. Sementara rute pilihan kami tidak menemukan satu kampung pun, hanya pos peristirahatan dengan tanda nama.
Pos Karombo Lako, Pukul 07.28 WITA kami pun sampai tempat pertama rehat sejenak setelah sekitar 20 menit berjalan kaki sesuai kapasitas masing masing, jalannya pun cukup lebar, perkebunan kopi masyarakat terhampar berjajar, dan aktivitas berkebun pagi hari terlihat sebagai mata pencaharian mereka di desa, salah satu yang kami temui saat berpapasan berasal dari keturunan asal muasal orang tua kelahiran tanah sumba sebagai bagian dari adanya program Transmigrasi Zaman Orde Baru. Bahasa Ibu luput sudah lupa, hanya mahir tutur kata Dompu terucap sepenuhnya, sampai beberapa kalimat sederhana kami pelajari juga.
Penamaan sebaran kampung tersebut berasal dari mana kedatangannya sesuai wilayah masing masing di Indonesia, berkumpul dalam kawasan baru membangun kehidupan dengan latar belakang budaya berbeda hingga dikenal seperti Idelologi Bangsa Indonesia yaitu Desa Pancasila, karena saking beragamnya berbagai suku berdampingan melangsungkan kehidupan secara bersama. Yang secara Adminstratif berada di Kec. Pekat Kab. Dompu Prov. Nusa Tenggara Barat.Â
Selepas melepas lelah sesaat kaki terus melangkah semakin masuk ke area hutan, tepat pukul 07.55 WITA setelah sekitar 30 menit sudah kami berjalan hingga tidak terasa mendekat ladang milik masyarakat Bali tengah beraktivitas dan menunjukan kami untuk ambil jalur kiri dari dua persimpangan di Pos Rimba, yang jika salah lurus terus maka arahnya menuju Pura Agung memutar lebih jauh lagi.
Tepat di belakang Pos Rimba terdapat toilet dengan kondisi antara layak atau tidak tergantung penilaian masing masing sepertinya, walau begitu tampak warga masih memanfaatkan keperluan mengambil air untuk di ladang. Sementara itu, rute menuju puncak pun jelas sesuai arah tanda yang ada jadi mudah mengikutinya asal tetap fokus pada setiap langkah karena setelahnya topografi mulai terasa melandai panjang perlahan meninggi pelan walau beberapa pos selanjutnya berdekatan tidak saling berjauhan.
Pos Sumberejo pukul 08.14 WITA menjadi pemberhentian selanjutnya, 20 menit lainya ditempuh lalu mengambil jeda, posisi pos sendiri tepat berada sebelah kiri dari jalur pendakian, dengan kerapatan vegetasi cukup tinggi nampak selama berada di kawasan hutan dataran rendah bagian keistemewaan lainnya. Terbukti sinar matahari pun sulit menembus saking tingginya kompetisi berbagai tumbuhan menegak tumbuh tinggi mendapatkan cahaya agar melangsungkan kelestariannya.
Pos km 19, Pukul 08.35 WITA hanya butuh 20 menit maka sampai lah pada suasana mulai terbuka, tampak kehidupan pun hanya semak perdu kecil menemani serta rekam jejak babi pun sempat kami temukan menandakan kehidupan liar jalur Pancasila masih terjaga atau memang sepi peminat karena rute yang katanya memutar lebih jauh lagi, sehingga Oi Bura lah alasan tepat memangkas waktu singkat sepertinya tentu dengan jasa kang ojek ya. Baiknya walau demikian suara bising kendaraan roda dua, hampir tidak terdengar sepanjang melalui jalur ini.
Pos Pintu Hutan, pukul 09.51 WITA pemberhentian pos bayangan terakhir untuk istirahat setelah menempuh waktu 60 menit lebih atau kurang pada jalan setapak yang dilalui selain bukan hanya licin, juga sangat sempit sekali, ditambah kelembapan tinggi membuat tekanan kekerasan permukaan lapisan tanah mudah tererosi oleh aliran air saat hujan, terbukti singkapan batuan kecil menjadi kesulitan lainnya menyeimbangkan langkah agar tidak tergelincir.Â
Itulah keadaan di bulan Desember 2019 dengan musim kemarau cukup panjang tapi keadaan mendekat akhir tahun mengubah unsur cuaca di atmosfer beberapa wilayah Indonesia mulai masuk awal musim penghujan. Jadi tidaklah heran jika kekhawatiran akan guyuran hujan seperti selalu membayangi, tapi jika itupun terjadi sudah jadi resiko sebagai bagian dari konsekuensinya.Â
Mengantisipasinya pun dengan bergegas berangkat pagi pagi sekali, agar terhindar dari tetesan air langit sebelum mulai siang menjelang membawa udara dingin pun terkumpul naik menjadi proses bagian dari kondensasi lalu tidak lama perbedaan tekanan ketinggian memaksa tingkat kejenuhan tinggi maka terjadilah orografis di ketinggian.
Pos 1 km 7 ketinggian 1.077 m dpl, pukul 10.49 WITA membuahkan hasil perjumpaan dengan pos penantian ini, tidak sia-sia dua kaki yang mulai lelah sangat butuh asupan agar energi tetap terjaga karena 120 menit berlalu melalui rute menanjak hebat telah terhenti sejenak.Â
Empat orang, dua sepeda motor kami temui di sekitar pondokan, ternyata sepasang suami-istri, bersama si pengangkut kayu hutan hasil tebangan di kawasan zona penyangga sepertinya. Â
Mengisi persedian air, berbagi cemilan, memulai pertanyaan, saling mengenali satu sama lain walau singkat, menjadi suasana mendekatkan diri lainnya, tidak lupa beberapa saran melepaskan tiga rekatnya pacet di kaki dengan garam atau tembakau melengkapi hari itu yang sesaat setelahnya hujan pun turun tepat pukul 12.00 WITA.Â
Bersamaan pula kemunculan dua lelaki belanda dari jalur Oi Bura tiba juga akhirnya, namun mereka memilih tetap melanjutkan langkahnya menghiraukan guyuran air membasahi di badan.Â
Jadi rute berbeda dua jalur Pancasila dan Oi Bura bertemu di Pos 1, hanya saja ternyata kami mendahului sampai, kesimpulannya tidak memutar namun jauh lebih singkat memangkas waktu ketimbang Oi Bura dengan jasa ojek atau sampai titik terdekat (Kampung Bali), itupun masih harus berjalan menanjak pada kondisi cerukan jejak gilasan roda dua sepanjang jalan, dan terkadang mengalah saat harus berpapasan arah naik atau turun. Tepat pukul 13.00 WITA hujan mereda sesaat kami putuskan cukup aman melanjutkan perjalanan.
Pos Rau, pukul 13.12 WITA, setelah 12 menit berjalan dengan kondisi gerimis kembali, kami pun mengambil langkah istirahat, rain coat pun seperti wajib harus melindungi badan agar terhindar dari kedinginan sambil mengisi perut yang kelaparan karena cemilan sebelumnya tidak cukup banyak menggantikan terkurasnya kekuatan langkah kaki untuk tetap tegak.Â
Cukup lama isitrahat, munculah para pemuda lokal arah turun menuju pondok, lalu dua sepatah kata terucap seperti mengingatkan agar tetap berhati hati, bukan menakuti namun pendakian hari itu sangat jarang, rute pun tertutup pohon tumbang terbakar musim kemarau panjang, tanda lilitan plastik sebagai penunjuk jalan dan hanya ada dua orang di Pos 3, itulah informasi singkat dari mereka.
Pos 2 km 11 ketinggian 1.366 m dpl, pukul 14.22 WITA, 90 menit kurang waktu berlalu telah sampai pada pemberhentian selanjutnya. Pohon tegak tumbuhan hijau rapat masih mendominasi kawasan ini, kondisi rute masih jelas setapak masih mudah menuntun sambil mata awas terjaga dari ancaman pacet cerdik yang menyerang perlahan pelan dari sepatu naik menuju betis kaki, sampai tidak terasa darah pun terhisap habis membuat ia pun gemuk mendekat akan ajalnya, terinjak.Â
Cepat saja sepertinya untuk dapat tiba, menanjak bukan istilah tepat, hanya cukup landai panjang lalu turun dan naik pada kemiringan kurang lebih 15 %. Persedian air cukup banyak, pertemuan dua bukit ini tepat di tengah terdapat sungai kecil mengalir jernih tidak jauh dari pondokan, cukup ikuti rute pendakian maka derasnya aliran gemercik air akan terdengar menandakan telah dekat.
Pos 3 km 14 ketinggian 1.600 m dpl, pukul 16.58 WITA kami pun akhirnya sampai setelah 120 menit lebih kaki melangkah terlepas sudah dari ancaman pacet selamanya, suasana hutan meranggas hitam, pepohonan tergeletak hangus terbakar, ranting rapuh menjadi ucapan selamat datang membuat hijau mendandak hilang berganti kelabu terang selama perjalanan hingga alat pemantau aktivitas vulkanisme pun ludes terbakar, membuat pecahan komponen tersebar terpisah berserakan.Â
Jalan setapak pun mulai sulit dibedakan jika tidak ada lilitan plastik penujuk jalan maka kemungkinan tersesat bisa jadi memutar waktu lebih lama untuk tiba.Â
Lintasan alami seperti pohon tumbang sempat menghalangi, terkadang kemiringan cukup landai sudah jarang, hanya menanjak selepas pos 2 bekisar 45 % dan sekali lagi itu cukup panjang jadi seolah olah sepertinya tampak lurus biasa tapi kenyataan itu perlahan pasti telah di puncak bukit lalu turun kembali berpindah bukit selanjutnya.
Sebelum sampai di Pos 3 akan menemukan papan nama Memasuki kawasan Taman Nasional Tambora, jadi pos 1 dan 2 sebelumnya masuk pada zona penyangga sementara dua lainnya zona rimba dan zona inti adalah kawasan terbatas pemanfaatannya. Tidak boleh ada aktivitas manusia yang dapat memengaruhi tata kehidupan liar terutama pada zona inti, namun selama kami berjalan di zona rimba hanya ayam liar terbang sekejap menghilang entah ke mana, dan tentu saja suara burung silih bersaut menandakan hari itu semakin sore akan segera tiba.
Mengisi sore itu setelah tenda berdiri dengan hangatnya masakan menjadi persiapan makanan untuk energi, agar saat pukul 00.00 WITA tiba bukan hanya menghadapi gelap akan menemani setelahnya, tapi kekuatan telah kembali bersiap memulai rencana menjejaki puncak Tambora. Namun ternyata malam itu, berkat pembicaraan pada pengalaman dua kawan baru saat mencapai titik tertinggi Pulau Sumbawa, Gn. Tambora 2.851 m dpl.Â
Seperti wasiat mereka berpesan jika jalur cukup terbuka saat siang, namun akan kesulitan jika dini hari tiba, artinya kondisi dampak kebakaran membuat beberapa tanda hilang dengan kondisi halang rintang berupa pepohonan yang tumbang sebagai tantangan lainya. Jadi keputusan terbaik sambil memulihkan stamina, adalah menunda 1 hari perjalanan esoknya, sambil menunggu ada kedatangan pendaki selanjutnya di Pos tiga.
Hari Kedua
Jumat, 27 Desember 2019 menjadi hari kedua lainnya sesuai putusan untuk mengambil jeda istirahat satu hari penuh dengan aktivitas mengamati kehidupan liar terutama hadirnya burung membuat suasan riuh pagi itu di sekitar Pos 3 Taman Nasional Tambora.Â
Memasak pun tidak terlupa sebagai rutinitas menyiapkan makanan mengisi waktu luang yang tidak lama nampak dari kejauhan sepasang dua pendaki lainnya mendekat pondokan dengan rencana tujuan akhir sama yakni Puncak Gn.Â
Tambora 2.851 m dpl. Sempat berkenalan bertatap muka lalu akhirnya menuju sumber air bersama siangnya, sesat itu pun dekat karena keadaan meninggalkan gelar melekat apapun itu kenyatannya, hanya sempat berbahagia berbagi cerita dan pengalaman.Â
Siangnya dua teman pertama, berbaju hijau merah sesuai rencana harus turun cepat agar tidak terjebak gelap, dan menyisakan empat orang saja jadinya sampai malam tiba menunggu melakukan perjalanan panjang.
Hari Ketiga
Sabtu, 28 Desember 2019 pukul 00.00 WITA menjadi waktu bergegas menyiapkan diri, dengan malam sebelumnya beberapa peralatan telah di packing ulang ke dalam tas agar memudahkan memindahkan ke atas pondokan menghindari dari babi liar yang berkeliaran mencari sisa makanan. oleh karena itu menyimpan rapat lalu menggantungkan jauh dari endusannya sepertinya cara sederhana terhindar dari gangguan babi hutan.Â
Hujan pun sempat turun beberapa kali walau tidak deras hanya rintik gerimis saja namun telah mampu membuat outer luar (flysheet) tenda basah, dan bersyukurnya dini hari itu saat memulai langkah kaki berjalan, suasana sangat terang terasa terbukti iringan langit cerah dengan bintang dari kejauhan menemani untuk sampai pada pos selanjutnya.
Melakukan kegiatan lintas alam tentu tidak cukup peralatan lengkap, pengetahuan tentang kemampuan membaca rute diperlukan agar tidak berputar membuang waktu, untuk itulah dengan semakin banyak orang dalam sebuah group maka kewaspadaan menjadis semakin baik agar dapat saling mengingatkan satu sama lain mengingat setiap orang pasti memiliki kapasitas dalam melakukan rencana penjelajahan dalam tingkatan berbeda-beda.Â
Pertama kali dalam suasana baru ini, tentu tindakan apapun itu tidak gegabah dalam memutuskannya, berkat teman jalan yang jauh lebih mendalam akan kawasan TNT, bisa mengantarkan untuk sampai di Pos 4 juga akhirnya dengan kondisi masih sangat gelap.
Pos 4 kawasan khas hutan daratan tinggi dengan beberapa cemara meninggi besar tegak melingkupinya ini, ditempuh sekitar 120 menit dari Pos 3 dan nampak cukup teduh sepertinya saat siang hari, hanya saja sumber air di sini tidak tersedia jadi bukan tempat tepat untuk mendirikan tenda, kecuali jika keadaan sudah sangat terpaksa akibat terjebak malam atau sudah telalu lelah berjalan.Â
Mencapai titik ini menuruni beberapa punggungan bukit lalu mulai naik kembali untuk mencapai puncak bukit lainnya. jadi tanjakan akan sering dilalui dengan kemiringan mencapai sekitar 45 %.Â
Saat musim penghujan akan lain lagi ceritanya, bersyukurnya lagi bahwa akibat kebakaran beberapa tumbuhan jelatang habis terpanggang di rute llintasan alami sebagai halal rintang lainnya yang jika terkena kulit, ya lumayan lah panas nyeri mah sesaat seperti kejutan di dini hari gelap gulita.
Pos 5 awal mula tiba sepertinya tempat baik mendirikan tenda, sumber air pun dekat tersedia, namun kualitasnya jangan coba terlalu kergantungan karena itu hanya berupa tampungan pada cerukan batuan hasil singkapan sungai eposidik saja, itupun melimpah saat hujan mengguyur dahysat.Â
Kawasan ini ciri dari dataran khas sabana di ketinggian, seperti peralihan hutan rimbun mendominasi sebelumnya berganti are luas terbuka berupa perdu kecil serta reremputan pada igir punggungan perbukitan.Â
Waktu tempuhnya pun dari pos 4 sekitar 120 menit. Sesuai arahan kawan kami yang akamsi (anak kampung sini / pemuda bima) ini, bahwa cemoro tunggal lah patokannya sebagai rute naik sampai pada pinggir kaldera tambora. Untuk itu langkah beriringan pun tetap terjaga di subuh yang mulai mendekat, suasana pemukiman dengan kerlap kerlip lampu sinar sebelum tiba di Pos Lima terlewati sudah, maka dari itu sepertinya jadi alasan tepat untuk sejenak berisitirahat menikmati cahaya bintang, sambil berlindung mengamankan diri dari angin lembah membawa suasana dingin mengancam hebat.
Tugu Peringatan, semacam pemberitahuan bahwa di tempat ini  telah menjadi saksi sesorang kembali kepada kuasanya Tuhan Semesta Alam yang menjadi pembelajaran bagi semua orang bahwa setelah selepas berjalan berlalu jauh dari Pos 5 maka langkah kaki ini berarti sudah sangat tidak mungkin membantu kawan lain jika jiwa menjadi ancamannya.Â
Maka kesiapan kesehatan lalu tercukupinya asupan makanan penting mengingat rute memutar dari arah Barat ini ternyata melimpir igir punggungan bukit menuju ke Timur telah menempuh jarak hampir 28 km sepertinya.Â
Matahari sudah terbit perlahan langit biru pun mendesak subuh berganti pagi cerah telah mengiring waktu 120 menit lainnya bergulat antara pijakan keras lembut bercampur pasir halus lalu kerikil batu hitam pun membantu menegakan memantapkan kaki menguatkan langkah agar segera ingin dapat menjawab rasa penasaran tentang pertanyaan seperti apa rupanya kaldera seluas 8 km ini.Â
Memang telihat jelas bahwa perbukitan lah yang mendominasi rute mendekat ke bibir kaldera Tambora ini, pembentukannya pun seperti hasil dari endapan lapisan letusan beberapa abad silam, inilah salah satu ciri dari kegiatan gunungapi bertipe straovolcano (kerucut). Walau terpangkasnya sebagaian badan gunung akibat letusan tahun 1815 dari ketinggian 4.200 m dpl menjadi 2.851 m dpl ini tetap tidak menghilangkan puncak tetingginya.Â
Pukul 05.26 WITA sampai lah di puncak gunungapi Tambora dengan berbagai kekhasannya, walau hanya bebatuan sekali lagi berkuasa, kehidupan kecil tumubuhan pun tetap lestari menampakan dirinya, apalagi kalau bukan Bunga Edelweiss.Â
Dan begitu lah akhirnya menggapai titik tertinggi Pulau Sumbawa Puncak Gn. Tambora 2.851 m dpl telah menjadi pengalaman melihat Indonesia dari ketinggian, bukan hanya keindahan alam serta proses suksesi tentang bagaiamana rumitnya kehidupan berproses kembali setelah letusan super volcano pada skala 7 VEI ini, tapi kesan pembelajaran bentang alam serta pengaruhnya terhadap interaksi masyarakat menjadi unsur sosial-budaya adalah hal lainnya menjadi pengamatan menarik selama penjelajahan menghabiskan waktu 3 hari 2 malam serta 56 km total jarak pendakiannya.
 Hal paling penting lainya tentang gunungapi adalah terciptanya pijakan kehidupan daratan bagi manusia agar dapat melangkahkan kaki kecilnya, tidak heran itulah yang membuat sebagian mendatanginya bukan sekedar ajang pamer sosial media semata, tapi pembelajaran bahwa melihat ciptaan Kuasa Tuhan dalam bentuk rupa kehidupan lainnya yang terus bersiklus tersimpan jauh dalam terdiam tapi sesaat akan mengancam jika tidak peka akan peringatannya yaitu bencana.
semoga bermanfaat, Lestari Bumi ku . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H