(Sebuah Terobosan Baru Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan UUAP)
Pendahuluan
Pembentukan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) adalah dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, dimana badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai Administrasi Pemerintahan dalam undang-undang ini juga diharapkan menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan. Dan juga bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintah, undang-undang ini menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan dibentuknya UUAP sebagaimana tertuang dalam konsideran undang-undang ini.
Di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa:
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 memerlukan berbagai Undang-Undang untuk melaksanakan tugas pemerintahannya sehari-hari. Tugas-tugas pemerintahan tersebut di dalam prakteknya dilaksanakan oleh kekuasaan eksekutif dalam hal ini, Pemerintah dibawah pimpinan Presiden bersama para Administrator Negara yang ada dan bekerja di seluruh wilayah kedaulatan negara Indonesia.
Salah satu dari berbagai Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut adalah Undang-Undang tentang Administrasi Negara. Undang-Undang tersebut dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani masyarakat. Karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam suatu UndangUndang yang khusus diadakan untuk itu. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) saja. Dalam praktiknya di Peradilan Tata Usaha Negara seringkali ditemui hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum materiilnya tidak diatur dalam Undang-undang PTUN, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Selain itu, di dalam naskah akademik, dinyatakan bahwa secara filosofis kebutuhan akan adanya undang-undang yang mengatur tentang administrasi negara merupakan bagian dari sistem yang menempatkan administrasi negara sebagi hak masyarakat sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 The Charter of Fundamental Rights of the Union. Dan hak masyarakat tersebut secara filosofis sekaligus merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, fungsi administrasi pemerintahan tidak lain adalah tugas pemerintah dan negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Tentang apa dan bagaimananya UUAP ini, atau gambaran umum dari UUAP tertuang dalam Penjelasan Umum dari undang-undang ini:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat
dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.
Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang- ndang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang- Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya.
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang ini merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.
AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang ini berpijak pada asasasas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
Dari Penjelasan Umum UUAP dan uraian ulasan dari Naskah Akademik RUU UUAP tergambar bahwa utamanya adalah bahwa UUAP dibentuk untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terkait dengan Administrasi Pemerintahan.
Secara khusus, yaitu tentang hak/kewenangan/kedudukan hukum/legal standing “warga masyarakat” sebagai “penggugat” di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan, maka dalam tulisan ini pembahasan menitikberatkan pada hak menggugat “warga masyarakat” terhadap KTUN di PTUN berdasarkan UUAP dalam payung hukum acara UUPTUN ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Konstruksi Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Berdasarkan UUAP
Pasal 87 UUAP (ketentuan Peralihan) menyatakan bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Ketentuan Pasal 87 UUAP tersebut memberikan konstruksi baru dari KTUN. Konstruksi lama KTUN, Pasal 1 angka 9 UUPTUN adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Secara lebih jelas perbedaan konstruksi KTUN lama (berdasarkan UUPTUN) dan KTUN baru (berdasarkan UUAP) dapat dilihat dalam tabel berikut:
Salah satu implikasi dari adanya konstruksi baru dari KTUN ini, menurut Irvan Mawardi dalam sebuah artikelnya yang dimuat di website PTUN Samarinda yang berjudul Konstruksi Baru Tentang Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dapat Diuji Di PTUN, adalah memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.
Implikasi dari konstruksi baru ini secara lengkap menurut Irvan Mawardi adalah sebagai berikut:
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur Administrasi Pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota masyarakat lainnya dalam satu Administrasi Pemerintahan. Keputusan tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Setiap KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara menggambarkan relasi pemerintah dengan warganya. Sehingga titik singgung antara kepentingan warga dan pemerintah dalam konteks administrasi senantiasa bermuara pada terbit dan berlakunya sebuah KTUN. Sebagai negara hukum, setiap KTUN yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara dapat dipersoalkan atau digugat apabila merugikan kepentingan seseorang atau badan hukum perdata. Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menguji, mengadili dan memutus sengketa tata usaha negara antara pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat.
Sebelum disahkannya UU AP, konsepsi tentang KTUN beserta kriterianya diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No 9 tahun 2004 dan UU No 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun dengan disahkannya UU AP yang mengatur konsepsi KTUN secara detail dan konprehensif, maka ketentuan terdapat konstruksi baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam KTUN yang menjadi obyek gugatan di PTUN. Tulisan ini akan membahas soal implikasi hukum pengaturan KTUN di UU AP dengan proses pengujian sengketa di PTUN.
Review tentang Konsepsi KTUN di UU PTUN
Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU. Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat 10 mengatur bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 tersebut, maka konstruksi Sengketa Administrasi/tata usaha negara setidaknya memiliki 3 elemen:
1. Adanya seseorang/orang atau Badan Hukum Perdata
2. Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah
3. Adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perUU-an
Selanjutnya 3 elemen tersebut akan dibahas sebagai berikut:
Seseorang/orang atau Badan Hukum Perdata . Pengertian seseorang atau badan hukum perdata dalam konteks sengketa administrasi adalah apabila seseorang atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan oleh suatu Keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi (lihat Pasal 53 ayat 1 UU. No. 9 tahun 2004 tentang PTUN). Sehingga legal standing dalam mengajukan gugatan ke PTUN harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, orang atau badan hukum perdata harus memiliki legalitas hukum (Ahli Waris, Akta Notaris dll). Kedua, orang atau badan hukum perdata tersebut harus memiliki hubungan hukum dengan obyek yang digugat. Ketiga, orang atau barang hukum perdata tersebut harus mengalami atau mampu menunjukkan kerugian yang dialami secara nyata akibat terbitnya obyek sengketa yang digugat. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang sifatnya materiil (nyata), bukan immateriil dan yang benar-benar sudah terjadi.
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah . Sedangkan yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (lihat Pasal 1 ayat 8 UU. 51 tahun 2009). Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perUU-an. Menurut UU. No. 51 tahun 2009 Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini.
Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas : Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya, Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu, Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final, Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
KTUN Konkrit yaitu apabila Penetapan tersebut jelas-jelas tertulis, tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Individual yaitu apabila KTUN tersebut menunjuk orang atau badan hukum perdata yang sifatnya individual, bukan umum, Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Final berarti KTUN yang terbit tersebut langsung mengikat karena tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN tersebut.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya;
Konstruksi baru KTUN di UU AP
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU Administrasi Pemerintahan yakni:
1. Pasal 1 ayat 7 yang berbunyi:
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Pasal ini menunjunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN, yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja, yakni berupa ketetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dan ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan. Dibanding definisi KTUN yang diatur dalam UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pada UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 kriteria KTUN lebih sempit, yakni penetapan tertulis itu harus bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana menjelaskan makna ”ketetapan tertulis” sebagaimana dalam pasal 1 ayat 7 Undang-undang Administrasi Pemerintahan? Apakah kriteria konkrit, individual dan final masih relevan digunakan? Selanjutnya bagaimana mendudukkan makna ”menimbulkan akibat hukum” akibat terbitnya sebuah KTUN sebagaimana diatur dalam UU No 5 2009 sementara definisi KTUN bersi UU AP tidak mensyaratkan adanya akibat hukum?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan bunyi pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
2. Pasal 87 yang berbunyi:
”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai: a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”
Penjelasannya pasal 87:
Huruf d Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.
Menurut penulis, bunyi pasal 87 memiliki beberapa pemaknaan:
Pertama, bahwa pasal ini menunjukkan bahwa UU Administrasi Pemerintahan tidak secara tegas menghapus ketentuan KTUN pada pasal 1 ayat 9 Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 , namun menurut Pasal 87 ini, ketentuan KTUN tersebut harus memiliki pemaknaan baru, yakni pemaknaan yang lebih luas berupa a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat
Kedua, Pasal 87 ini menunjukkan bahwa Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan tidak serta menghapus kriteria -kriteria KTUN yang diatur dalam UU No 51 tahun 2009 mengingat kriteria - kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
Ketiga, ada beberapa kriteria KTUN yang diatur dalam UU No 51 tahun 2009 yang mengalami revitalisasi yakni:
1. Penetapan tertulis. Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan, namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam bentuk tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (recht handelingen) dalam bentuknya terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetepan juga dimaknai dalam bentuk dan atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Menurut penulis masuknya Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bgai pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian, bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut ?. dalam pasal 31 disebutkan:
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Dalam kontek pembatalan diskresi inilah kemudian PTUN berwenang untuk mememeriksa, menguji, mengadili dan memutuskan. Namun apabila menggunakan kriteria KTUN versi UU no 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Namun denga ketentuan pasal 87 UU AP di atas maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/OOD (Onrechtmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Kalimat dalam pasal 87 memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN. Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e Undang-Undang PTUN No 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada perkembangannya, tata usaha Tentara Nasional Indonesia saat ini sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Pertanyaannya apakah dengan adanya bunyi pasal 87 di atas menghapus pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf e Undang-Undang no 9 tahun 2004. Menurut penulis karena TNI saat ini murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di PTUN. Hal ini menunjukkan bahwa semangat demokratisasi dana penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, termasuk di kalangan Tentara Nasional Indonesia.
3. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat 2 UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam mengkontruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di PTUN.
Apabila ditelisik lebih jauh, klausul ” berpotensi menimbulkan akibat hukum” yang menjadi kriteria KTUN memiliki relevansi dengan diaturnya Tindakan Faktual dalam hal ini dalam bentuk Diskresi dalam UU AP ini. Sebagai tindakan faktual, diskresi diterbitkan atas dasar adanya kekosongan hukum, atau belum adanya hukum yang mengatur bagi pejabat TUN untuk melakukan tindakan pemerintah. Dengan lahir dari kemungkinan kekosongan hukum, maka lahirnya tindakan faktual berpotensi merugikan pihak-pihak lain yang terkait dengan tindakan pemerintah tersebut.
4. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat. Klausul ini menambah makna baru dari Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Menurut Pasal 1 ayat 15 UU Administrasi Pemerintahan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Secara teks nampak tidak ada perubahan baru antara definisi Warga Masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah ” seseorang atau badan hukum perdata”. Namun hilangnya redaksi ”Individual” baik dalam pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU Administrasi Pemerintahan bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU Administrasi Pemerintahan memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada Individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi Warga Masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas erga omnes yakni sebuah asas yang menegaskan bahwa putusan Peradilan Administrasi bersifat mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah perkara atau KTUN. Salah satu konsekuensi logis dari penerapan asas erga omnes terhadap pemberlakuan putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana disebutkan di atas. Dengan posisi dan makna berpotensi menimbulkan akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Peluang “publik secara luas”, dalam arti warga masyarakan secara umum, yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah sangat selaras dengan tujuan dari dibentukanya UUAP yang tertuang dalam Pasal 3 undang-undang ini, yaitu memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada warga masyarakat, dan juga selaras dengan Penjelasan Umum UUAP yang menyatakan bahwa:
“... Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, ...”
KETERKAITAN WARGA MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUGAT DI PTUN BERDASARKAN UUAP DENGAN KETENTUAN UUPTUN
Pasal 53 ayat (1) UUPTUN, menyatakan:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
Penjelasan pasal ini adalah:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi
Pasal 1 angka 4 yang dimaksud dalam penjelasan tersebut adalah:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan Pasal 53 ayat (2) UUPTUN menyatakan:
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pasal 53 memberikan pengertian:
1. Siapa Penggugat: Penggugat adalah ORANG atau BHP sebagai subjek hukum,
2. Apa yang digugat: yang digugat adalah KTUN,
3. Mengapa menggugat: karena kepentingannya terkena oleh KTUN tersebut, dan
penggugat merasa dirugikan,
4. Apa tuntutan gugatan tersebut: agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau tidak sah,
baik dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi,
5. Kemana mengajukan gugatan: ke PTUN,
6. Apa yang menjadi alasan gugatan: bahwa KTUN yang dirasa merugikan kepentingan
penggugat tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
bertentangan dengan AUPB
7. Angka 1 sd 6 adalah Sengketa TUN.
Keterkaitan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UUPTUN tersebut dengan UUAP adalah Pasal 1 angka 15 UUAP yang menyatakan:
Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan;
dan Pasal 87 yang menyatakan :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat;
sehingga menimbulkan pertanyaan apakah “warga masyarakat” dalam arti harfiah/sesungguhnya/leterlek dapat juga mengajukan gugatan ke PTUN atas KTUN yang dirasa merugikan kepentingan warga masyarakat tersebut, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum UUAP yang menyatakan:
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara
Kata kunci untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah:
“Adanya keterkaitan antara KTUN dengan ORANG atau BHP atau Warga Masyarakat”
dan pemahama terhadap kata “ORANG dan BHP” dan kata “Warga Masyarakat”
Kata “warga masyarakat” dalam UUAP adalah WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI YANG SEBENARNYA atau WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI HARFIAH atau PENGERTIAN WARGA MASYARAKAT SECARA LETERLEK.
Hal ini dapat kita rasakan jika kita membaca kalimat-kalimat dalam UUAP secara utuh. Ini dapat terasa jelas dalam konsidera UUAP:
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau
pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan
mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan
pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
c. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan,
undang undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan
guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. Bahwa....
atau dalam Pasal 2
UUAP dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihk-pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.
Atau dalam Pasal 3
Tujuan UUAP adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
f. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat
atau kata “warga masyarakat” lainnya dalam UU ini, atau secara lebih jelas dapat kita lihat dalam Penjelasan Umum UU ini (sebagaimana telah Penulis tuangkan dalam bagian Pendahuluan di atas).
Oleh karena itu maka sudah sangat jelaslah bahwa kata WARGA MASYARAKAT dalam UU ini adalah WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI YANG SEBENARNYA atau WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI HARFIAH atau PENGERTIAN WARGA MASYARAKAT SECARA LETERLEK.
Mengenai mengapa Pasal 1 angka 15 UUAP menyatakan bahwa:
Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
Pemaksudan ini adalah untuk menentukan SUBJEK HUKUM dari warga masyarakat (dalam arti harfiah) terkait dengan Keputusan dan/atau tindakan (KTUN).
Seseorang atau badan hukum perdata merupakan subjek hukum yang merupakan elemen dari “warga masyarakat” dalam arti harfiah.
Sangat berbeda halnya dengan pemasudan yang diberikan oleh Pasal 1 angka 18:
Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemaksudan ini digunakan dalam rangka efisiensi penggunaan kata, atau dengan kata lain untuk penghematan penggunaan kata demi kepntingan penulisan teks undang.
Hal yang sama juga untuk pasal 1 angka 25, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara disingkat menjadi Menteri (saja). Dan pada pemaksudan-pemaksudan lainnya dalam Pasal 1 adalah merupakan pendefinisian.
Adalah sangat berbeda halnya dengan ORANG dan BHP dalam UUPTUN. UUPTUN telah memberikan sifat individual dari subjek hukum pihak penggugat, yaitu ORANG dan BHP. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 1 angka 10, Pasal 1 angka 12, dan Pasal 53 ayat (1). Dan inilah yang menyebabkan dalam Penjelasan Umum UUAP memuat atau menyatakan bahwa “Warga masyarakat juga dapat mengajukan gugatan ...”, karena UUPTUN telah memberikan sifat individual kepada ORANG dan BHP yang terkait KTUN sebelum dikeluarkannya UUAP
Maka “Warga Masyarakat” sebagai subjek hukum Penggugat dalam UUAP terkait dengan ketentuan UUPTUN dapat dibagi dalam:
1. Warga Masyarakat sebagai PERORANGAN DALAM SEBUAH TERITORI MASYARAKAT: Kategori ORANG dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004;
2. Warga Masyarakat sebagai KELOMPOK ORANG DALAM SEBUAH TERITORI MASYARAKAT YANG TIDAK DALAM WADAH BADAN HUKUM PERDATA: Kategori ORANG dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004;
3. Warga Masyarakat sebagai KELOMPOK ORANG DALAM SEBUAH TERITORI MASYARAKAT DALAM WADAH BADAN HUKUM PERDATA: Kategori BADAN HUKUM PERDATA dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004
Namun hal yang tidak dapat dipisahkan dari subjek hukum warga masyarakat sebagai penggugat tersebut adalah adanya keterkaitan dengan KTUN, kepentingannya terkena oleh sebuah KTUN dan merasa dirugikan oleh KTUN tersebut.
Lantas bagaimanakah bentuk “keterkaitan” oleh sebuah KTUN dan sifat kerugian yang dialami penggugat sebagai akibat dari KTUN tersebut?
Pada saat sebelum keluarnya UUAP gugatan dari warga masyarakat, atau kelompok orang (yang bukan BHP) yang mewakili atau mengatasnamakan masyarakat, atau BHP yang mewakili atau mengatasnamakan warga masyarakat (publik), yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat sebagai Gugatan WM, telah banyak diterima oleh PTUN. Walaupun sebagian besar majelis hakim PTUN yang menerima gugatan memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO), namun ada beberapa majelis hakim yang menerima gugatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan prinsip penegakan hak-hak warga masyarakat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 serta prinsip bahwa penyelanggaraan negara haruslah berpihak kepada warganya telah ada sebelum UUAP ini diundangkan.
Putusan NO terhadap Gugatan WM, pada saat UUAP belum diundangkan, didasarkan pada alasan formal tidak terpenuhinya UNSUR PENGGUGAT, UNSUR KETERKAITAN PENGGUGAT DENGAN KTUN, dan UNSUR MERASA DIRUGIKAN sebagai tafsiran dari Pasal 53 ayat (1) UUAP. [Dan jika sebuah gugatan telah dinyatakan NO maka kemateriilan dari KTUN yang digugat tersebut - bahwa apakah KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, dan/atau bertentangan dengan AUPB atau tidak – tidaklah lagi diperiksa dan diuji oleh PTUN, padahal sejatinya fungsi dari PTUN adalah untuk menguji apakah sebuah KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, dan/atau bertentangan dengan AUPB atau tidak]*)
Walaupun keberadaan PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan Badan atau Pejabat TUN dengan masyarakat, dan juga bahwa keberadaan PTUN adalah untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang TUN, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan huruf d dan huruf b konsideran UUPTUN (UU No. 5 Tahun 1986), namun penafsiran terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang...” dan penjelasan dari pasal ini yang menyatakan “... Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. ...” telah menyebabkan Gugatan WM dinyatakan tidak memenuhi unsur dari pasal ini.
Selain karena apa yang dimaksud dengan KTUN dalam UUPTUN haruslah bersifat individual, sehingga keuniversalan atau keberlakuan sebuah KTUN bagi warga masyarakat secara umum tidaklah terwadahi (lihat uraian konstruksi KTUN Bedasarkan UUAP di atas), juga Pengabaian terhadap penjelasan Pasal 53 ayat (1) UUPTUN yang menyatakan bahwa “maka hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara” dan pemfokusan kepada penjelasan yang menyatakan “hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara”, menjadi penyebab tidak diterimanya Gugatan WM oleh Pengadilan TUN.
KETERKAITAN sebuah KTUN dengan Penggugat WM dalam UUAP telah mengalami pergeseran yang sangat positif. Pergeseran mana telah mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly). Pergeseran tersebut telah memberikan peluang bagi warga maysarakat untuk melakukan gugatan terhadap sebuah KTUN. Namun yang harus menjadi perhatian selanjutnya adalah UNSUR “MERASA DIRUGIKAN”.
Gagalnya pembuktian UNSUR MERASA DIRUGIKAN oleh sebuah KTUN - Penulis merasa lebih pas menggunakan kata UNSUR “MERASA DIRUGIKAN” ketimbang UNSUR “KERUGIAN”. Kata “MERASA DIRUGIKAN” adalah norma dari Pasal 53 ayat (1) UUPTUN, sedangkan kata “KERUGIAN” adalah kata yang digunakan dalam penafsiran terhadap Pasal 53 ayat (1) UUPTUN menurut doktrin – menjadi dasar bagi Pengadilan TUN untuk menjatuhkan putusan NO.
Kata MERASA dalam kalimat “... MERASA kepentingannya DIRUGIKAN oleh suatu KTUN” tertuju pada suatu keadaan psikologis dari subjek hukum terkait KTUN. Keadaan psikologis mana dapat saja muncul karena memang mengalami suatu kerugian secara nyata atau kongkrit atau berbentuk atau dapat dikonversi dalam nilai uang, ataupun kerugian yang bersifat abstrak (tidak kongkrit).
Sebagai contoh:
- Keputusan Pemecatan PNS: Kerugian bersifat kongkret/nyata/dapat dikonversi dengan nilai uang.
- Penerbitan Sertifikat Hak Milik ganda: Kerugian bersifat kongkret/nyata/dapat dikonversi dengan nilai uang.
- Keputusan Pemindahan PNS: Kerugian bersifat abstrak, lebih tertuju pada rasa nyaman dan perasaaan-perasaan lainnya seperti malu, harga diri, dll.
- Keputusan Izin Lingkungan, misal Izin Lingkungan Pembangungan Pabrik Semen di Kendeng (berdampak pada warga masyarakat): Kerugian abstrak
- Keputusan Izin Penetapan Lokasi pembangunan, misal IPL Bandara Temon Kulonprogo Jogjakarta (berdampak pada warga masyarakat): kerugian abstrak
- Izin Lokasi Pembangunan proyek-proyek besar (berdampak pada warga masyarakat): kerugian abstrak
- Pengankatan Pejabat Publik (berdampak pada warga masyarakat): kerugian abstrak
Sehingga dalam menentukan keterpenuhan UNSUR MERASA DIRUGIKAN sangat kasuistis sekali, tidak dapat ditentukan secara general (umum), namun sangat bergatung pada hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara Penggugat dengan KTUN. Dalam kaitannya dengan Gugatan WM maka pembuktian UNSUR MERASA DIRUGIKAN haruslah melihat apakah suatu KTUN berdampak pada warga masyarakat. Dalam kaitan ini jika bentuk kerugian harus bersifat nyata atau kongkrit atau dapat dikonversi dengan nilai uang, maka apa yang menjadi tujuan dari UUAP dan UUPTUN terutama untuk memberikan pelayan dan perlindungan hukum bagi masyarakat akan menjadi sia-sia.
Penutup
Dengan berlakukan UUAP hakim-hakim PTUN sudah dapat menerapkan bahwa adanya kewenangan/hak/legal standing bagi warga masyarakat yang merasa dirugikan atas terbitnya suatu KTUN untuk melakukan gugatan terstulis ke PTUN, termasuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum materiil lainnya dalam UUAP.
Ketentuan-ketentuan yang masih membutuhkan peraturan pelaksananya, berupa Peraturan Pemerintah, tidaklah menghalangi hakim dalam menerapkan UUAP ini. Hal ini dikarenakan ketentuan-ketentuan yang masih membutuhkan peraturan pelaksananya tersebut adalah mengenai hal-hal terkait dengan materi-materi yang masih memerlukan penjelasan tekhnis dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
*) Akan diulas dalam tulisan berikutnya.
Bahan bacaan:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Uandang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
- Irvan Mawardi, 2015; Konstruksi Baru Tentang Keputusan Tata Usaha Negara Yang
Dapat Diuji Di PTUN; Website PTUN Samarinda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H