Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 3.000 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 20-12-2024 dengan 2.392 highlights, 17 headlines, 112.449 poin, 1.133 followers, dan 1.315 following. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Ceroboh dan Si Kutu Buku (Keduanya Dicintai karena Istimewa)

19 Juni 2019   23:08 Diperbarui: 12 Oktober 2021   21:43 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gedubrak...

Buku-buku berjatuhan dari tepian meja. Siapa yang tidak tahu pelakunya. Semua langsung menduga. 

"Hai! Hati-hatilah kau, masa meja sebesar itu tak nampak pula. Masih juga kau tabrak! Dasar Ceroboh!"

Ini yang ke tiga kalinya di senja mendung, Ratri mendapat umpatan Dasar Ceroboh. 

("Astaga, apa yang sedang kupikirkan tadi sampai jalan menubruk meja ruang kerja Ayah. Kini berkas-berkas kerja ayah berserakan. Semoga aku bisa menyusunnya dengan tepat lagi, sebelum ayah datang.") Batin Ratri begejolak.

"Maaf Mas Dodi, kaget ya. Jangan bilang Ayah ya"

Kesal, marah dan ... "kau ini, kapan berubah lebih hati-hati, fokus-fokus"  

Dodi berdiri, meletakan buku yang dibacanya. Lalu membantu adiknya merapikan buku-buku yang berjatuhan dari meja kerja ayah. Juga berkas-berkas dalam map kertas yang juga berserakan.

Sejak kecil, Ratri memang terkenal paling ceroboh di rumah. Meski demikian, Dodi sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. 

Selesai. Tepat saat bunyi sepeda motor Ayah berhenti di halaman samping rumah. 

"Sedang apa kalian di dalam sana, senja ini sangat cerah" suara ayah mengagetkan Ratri dan Dodi yang masih berdiri di depan meja kerja Ayah. 

Dodi langsung menjawab Ayahnya," merapikan meja ayah, tadi baru saja ada gempa lokal" 

"Mas Dodi, kan ga boleh bilang Ayah. Aku kan ga sengaja," isak Ratri yang langsung berlari ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya. 

(Dhuh, nangis lagi. Kenapa sih kok sedikit-dikit nangis. Kapan dewasanya) gerutu Dodi dalam hati.

Ayah masuk, meletakan tasnya di sofa depan. Dodi langsung menyambut ayahnya dengan jabat tangan, cium tangan ayah dan membawa tas kerja ayah masuk ruang kerja ayah. 

Ruang kerja ayah berada di bagian tengah rumah, Dodi suka menghabiskan waktu luangnya di sana. Banyak sekali buku-buku bacaan koleksi ayah dan ibu di sana. 

Ayah suka sekali bacaan biografi, sementara ibu suka karya sastra. Iya tentu saja suka juga bacaan-bacaan lainnya. Tapi kedua tema tadi yang paling sering dibaca.

Ibu keluar dari dapur membawa teh manis hangat untuk ayah dan sepiring singkong rebus. 

"Terimakasih Ibu" ayah segera menyeruput teh manis hangat dan mengambil singkong rebus itu. 

"Dodi, apalagi ulah adikmu hari ini? Kalian bertengkar lagi?"

Ibu tersenyum, "biasa, Dodi membantu membereskan kekacauan yang dibuat adiknya" 

"Oh gempa lokal tadi yang membuat meja Ayah harus dirapikan ya" lanjut Ayah sambil tersenyum lembut. Tidak ada kemarahan ataupun kekesalan. Padahal Ayah baru pulang kerja, dan lelah. 

"Ayah, apakah ada berkas-berkas penting di map kertas paling atas? Tadi sempat berantakan" Dodi bertanya pelan dengan sedikit cemas. Karena dia khawatir itu berkas-berkas pekerjaan Ayah. 

"Itu, kertas-kertas berisi artikel-artikel tulisan Ayah. Tidak apa," kata Ayah dengan suara dikeraskan. Tidak ada nada kesal. Ayah seolah sangat memahami tabiat putri kesayangannya, Ratri.

Pintu kamar terbuka, Ratri mendengar suara Ayah yang dikeraskan bagian tidak apa. "Maaf Ayah, Ratri tidak sengaja"

Ibu membelai rambut Ratri lembut "Apa yang tadi sedang kau pikirkan Nak?" 

Dodi hendak membuka mulut menimpali pertanyaan Ibu. Namun urung niatnya berkata-kata saat melihat gerakan telunjuk Ibu diletakkan di depan mulut Ibu. Tandanya dia tak boleh bicara. 

"Ratri, menghilangkan buku perpustakaan yang Ratri pinjam seminggu lalu, besok batas akhir mengembalikan, kalau tidak, kena denda"

Ayah menatap Ratri, "buku apa? Kapan terakhir kau membacanya?" Masih berlanjut menyeruput teh manis buatan Ibu.

"Judul bukunya: Ketika Bunga Bicara" 

Jawab Ratri singkat. "Bukunya warna kuning putih ada gambar bunga matahari. Ratri baca di ruang kerja ayah semalam, tapi pagi ini Ratri cari seharian, tidak ketemu, karena panik Ratri ga sadar menubruk meja kerja ayah. Ratri cari-cari di rak buku Ayah. Siapa tahu Ratri lupa taruh di situ, tapi tak ada"

Dodi menepuk keningnya, itu kan buku yang dibacanya tadi. Tapi kenapa Ratri tidak bilang kalau cari buku itu ya. 

"Kenapa tidak bilang kalau cari buku itu? Semalam, memang aku ambil dari meja ayah, aku pikir buku baru punya ayah, kan ada label true story"

Ratri menatap tajam kakaknya "ga bilang gimana mas Dodi. Aku udah nanya sampe 3 kali ke mas Dodi, tapi mas Dodi diam aja. Ga jawab, baca terus"

("Benarkah, segitunya kah aku hanyut dalam kisah buku itu, sampai tak dengar suara Ratri, astaga sampai tiga kali") batin Dodi. 

"Maaf, mas Dodi tidak dengar"

Ayah berdiri, menengahi ketika Ratri sudah bersiap-siap memberi cubitan atau tepukan kesal ke kakaknya. Ayah langsung melihat gelagat Ratri. Kebiasaan putrinya kalau kesal, selalu ingin mencubit atau menepuk keras tangan kakaknya. 

"Sudah, Dodi, ambil bukunya, berikan pada Ratri"

Ratri masih berusaha mengarahkan tangannya ke kakaknya yang lewat depannya saat beranjak pergi henadak mengambil buku yang Ratri cari.

Ibu sudah dengan sigap menangkap tangan Ratri dan menggeleng, "Ratri sayang, kau kan tahu masmu, kalau sudah baca, dia lupa kalau tinggal di bumi, sampai harus ada sedikit gempa lokal yang kau buat untuk menyadarkannya"

Kata Ibu dengan nada lembut namun ceria. Ayah tertawa kecil mendengar gurauan Ibu. Gempa kecil selalu jadi istilah yang Dodi berikan akibat ulah ceroboh Ratri. Pernah vas bunga Ibu pecah karena tanpa sengaja disenggol Ratri. 

Saat itu Ratri sedang mengerjakan PR, bukunya tanpa dia sadari terdorong kencang mengenai vas bunga Ibu dan melayang jatuh dari meja. Prang. Ibu tentu sedih, namun saat itu Ibu tidak memarahinya dengan suara keras. Ibu meminta Ratri membereskan pecahan vas bunga. 

Lalu Ibu menasehati Ratri untuk lebih hati-hati. Namun entah mengapa, susah sekali biat Ratri mengubah tabiat buruknya itu, sangat ceroboh sehingga mudah menjatuhkan barang apapun di sekitarnya. 

"Ini, makasih dan sekali lagi maaf ya"

Dodi menyerahkan buku itu pada Ratri. 

"Dimaafkan!" kata Ratri masih dengan nada kesal.

Ayah menyeruput teh hangatnya lagi. "Ayoo Ratri, bagaimana itu sikapnya kalau memberi maaf?"

Teguran lembut ayah menyadarkan Ratri kalau dia sudah menjawab kasar ke mas Dodi padahal tadi mas Dodi juga dengan sigap langsung membantu Ratri membereskan buku-buku yang dia jatuhkan, tak seharusnya dia menyimpan marah. Bagaimanapun, mas Dodi masih perhatian. Memang sih sering kata-katanya bikin kesal, tapi kan yang diucapkannya benar juga. Dia memang ceroboh. "Iya mas Dodi, makasih ya sudah bantuin aku bereskan meja Ayah tadi"

Ayah dan Ibu selalu menyayangi Dodi dan Ratri. Masing-masing anak mempunyai kekurangan. Namun mereka istimewa bagi ayah dan ibu. Ayah dan Ibu memberi contoh bagaimana berkata-kata pada mereka yang dikasihi. 

Ayah Ibu menggunakan kata-kata yang lembut saat menegur. Ayah Ibu selalu bijaksana menghadapi kedua anaknya, si ceroboh dan si kutu buku. Yang satu selalu menjatuhkan sesuatu, yang satu suka lupa sekeliling saat sudah membaca buku. 

Keduanya adalah anak-anak anugerah pemberian Tuhan bagi Ayah dan Ibu. Mereka tetap dicintai denga segala kelemahan yang mereka punyai. 

...

Written by Ari Budiyanti

19 Juni 2019

#cerpenAri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun