Ratri menatap tajam kakaknya "ga bilang gimana mas Dodi. Aku udah nanya sampe 3 kali ke mas Dodi, tapi mas Dodi diam aja. Ga jawab, baca terus"
("Benarkah, segitunya kah aku hanyut dalam kisah buku itu, sampai tak dengar suara Ratri, astaga sampai tiga kali") batin Dodi.Â
"Maaf, mas Dodi tidak dengar"
Ayah berdiri, menengahi ketika Ratri sudah bersiap-siap memberi cubitan atau tepukan kesal ke kakaknya. Ayah langsung melihat gelagat Ratri. Kebiasaan putrinya kalau kesal, selalu ingin mencubit atau menepuk keras tangan kakaknya.Â
"Sudah, Dodi, ambil bukunya, berikan pada Ratri"
Ratri masih berusaha mengarahkan tangannya ke kakaknya yang lewat depannya saat beranjak pergi henadak mengambil buku yang Ratri cari.
Ibu sudah dengan sigap menangkap tangan Ratri dan menggeleng, "Ratri sayang, kau kan tahu masmu, kalau sudah baca, dia lupa kalau tinggal di bumi, sampai harus ada sedikit gempa lokal yang kau buat untuk menyadarkannya"
Kata Ibu dengan nada lembut namun ceria. Ayah tertawa kecil mendengar gurauan Ibu. Gempa kecil selalu jadi istilah yang Dodi berikan akibat ulah ceroboh Ratri. Pernah vas bunga Ibu pecah karena tanpa sengaja disenggol Ratri.Â
Saat itu Ratri sedang mengerjakan PR, bukunya tanpa dia sadari terdorong kencang mengenai vas bunga Ibu dan melayang jatuh dari meja. Prang. Ibu tentu sedih, namun saat itu Ibu tidak memarahinya dengan suara keras. Ibu meminta Ratri membereskan pecahan vas bunga.Â
Lalu Ibu menasehati Ratri untuk lebih hati-hati. Namun entah mengapa, susah sekali biat Ratri mengubah tabiat buruknya itu, sangat ceroboh sehingga mudah menjatuhkan barang apapun di sekitarnya.Â
"Ini, makasih dan sekali lagi maaf ya"