Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Diagnosis Biasa dengan Edukasi yang Luar Biasa

15 Juli 2022   16:10 Diperbarui: 15 Juli 2022   22:29 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasien sembuh dari Covid-19 (SHUTTERSTOCK/wavebreakmedia) 

"Dok, apakah dokter memiliki tempat praktik mandiri selain bekerja di Puskesmas ini?" Tanya pasien setelah saya menutup edukasi dan menyerahkan resep obat kepada pasien dengan menanyakan apakah ada yang ingin si pasien tambahkan atau tanyakan.

"Saya dokter internship bu di sini. Internship itu semacam dokter yang baru saja lulus dari kuliah kedokteran dan lalu ditempatkan di Puskesmas dan Rumah Sakit di seluruh Indonesia di bawah pendampingan dokter senior untuk memahirkan praktik di lapangan, bu. Saya belum diperbolehkan untuk bekerja di praktik mandiri sebelum menyelesaikan program internship selama satu tahun ini." 

Pasien nampak mengangguk mengisyaratkan paham bahwa saya adalah seorang dokter fresh graduate alias dokter junior yang belum memiliki kewenangan untuk memiliki ijin praktik di tempat lain selain tempat yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan untuk program internship ini. 

"Wah, saya pikir ada tempat praktik mandirinya dok. Kalau begitu, apakah dokter ada nomor WhatsApp dok jika sewaktu-waktu saya ingin bercerita terkait keluhan saya? Saya senang sekali dokter adalah dokter yang mau mendengarkan keluhan saya."

"Oh boleh bu, namun mungkin konsultasi via WhatsApp nanti sifatnya akan membantu ibu saja ya untuk proses pengambilan keputusan untuk membawa ibu atau semisal keluarga ibu ke puskesmas dan gambaran apakah penyakit tersebut memiliki kemungkinan untuk dirujuk. Yang jelas, nanti saya pasti akan tetap mengarahkan ibu untuk pergi ke Puskesmas jika ada keluhan, agar tak ada pemeriksaan yang terlewatkan."

"Siap dokter tidak apa-apa." Kemudian saya memberikan nomor whatsapp saya kepada pasien. 

Pasien ini merupakan pasien kedua di minggu ini yang menanyakan apakah saya memiliki tempat praktik mandiri. 

Potongan percakapan di atas pada akhir interaksi saya di dalam ruang poli umum puskesmas bersama seorang ibu berusia tiga puluh delapan tahun yang mengeluhkan nyeri dan sensasi panas pada bagian ulu hatinya.

Saya pun di hari itu memberikan sebuah pencerahan penting yang akan saya ingat seumur hidup saya sebagai perpanjangan tangan Allah YME untuk memberikan kesembuhan kepada mereka yang membutuhkan. 

Saat itu saya mendiagnosis keluhan pasien sebagai dispepsia. Saya tuliskan demikian karena ini keluhan yang baru saja muncul seminggu yang lalu dan tak pernah ada riwayat seperti ini sebelumnya. 

Saya memastikan bahwa tak ada tanda-tanda bahaya seperti salah satunya yakni nyeri saat menelan ataupun tanda-tanda perdarahan saluran cerna sehingga belum ada indikasi untuk dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder. 

Pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati, sensasi panas pada dada, dan rasa mual setiap selesai makan. Masih belum diketahui apakah itu merupakan dispepsia fungsional yang artinya tak ada kelainan organik pada saluran cerna atau dispepsia organik yang artinya terdapat kelainan organik pada saluran cerna. 

Untuk memastikan apakah ada kelainan organik atau tidak kita akan memerlukan "teropong" yang berguna untuk meningkatkan jangkauan pandangan kita hingga ke dalam saluran cerna yang disebut dengan prosedur endoskopi. 

Namun tentu saja tidak langsung pada seluruh pasien dilakukan prosedur yang invasif ini mengingat kita harus memberikan obat golongan Proton Pump Inhibitor (obat yang berfungsi menghambat pompa yang menghasilkan asam lambung) terlebih dahulu sambil memantau paling tidak dua minggu ke depan apakah terdapat respon terhadap terapi atau tidak. 

Jika iya maka terapi akan saya lanjutkan. Diperlukan evaluasi berkelanjutan dengan pasien dispepsia untuk mencapai kesuksesan terapi sehingga memotivasi pasien untuk dapat mengubah gaya hidup dan pola serta jenis makanan lalu rutin dalam meminum obat adalah suatu kewajiban.

Diagnosis saya di atas memang sangat sederhana. Sebuah diagnosis klinis berdasar sekumpulan gejala yang dirasakan pasien. Pemeriksaannya 'hanya' lewat mendengarkan keluhan pasien, memastikan tak ada tanda bahaya, dan melakukan pemeriksaan fisik pada perutnya. 

Namun saya ingat betul pesan dosen-dosen saya di Universitas Gadjah Mada untuk dapat menganamnesis pasien secara terarah sejak seorang dokter melontarkan pertanyaan pertama. 

Dengan begitu seorang dokter akan percaya diri dengan diagnosis yang dimilikinya dan sekalipun tak ada alat ataupun bahan untuk melakukan pemeriksaan penunjang di sekitarnya. Dengan kepercayaan diri tersebut, dokter dapat memberikan edukasi yang optimal kepada pasiennya. 

Edukasi tersebut tentu diperoleh dari menggali faktor risiko yang ada pada pasien. Perlahan-lahan saya tanyakan satu per satu hal-hal yang mungkin menimbulkan kondisi tersebut pada pasien. 

Pasien mengakui ia makan pada jam tak beraturan dan hanya makan saat ia benar-benar dalam keadaan yang sangat lapar karena ia sibuk bekerja. 

Pasien pun senang meminum kopi untuk membantunya tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang diminta atasan di perusahaan ia bekerja.

Saya memulai edukasi pasien dengan menyebutkan nama kondisi yang pasien derita. Agar pasien memiliki pengetahuan lebih lanjut terkait penyakitnya, seperti biasa saya mengambil sticky note yang saya persiapkan sedari rumah lalu menuliskan nama penyakit pasien di kertas tersebut, meminta pasien untuk menyimpannya di dompet mereka dan saya memperbolehkan pasien untuk mencari tahu terkait penyakitnya sebagai contoh melalui internet, namun wajib hukumnya untuk mengkonfirmasi apapun yang mereka baca kepada dokter di pertemuan kontrol selanjutnya. 

Setelah menjelaskan terkait nama penyakitnya, saya menjelaskan mengapa bisa penyakit tersebut terjadi pada pasien dengan bahasa yang saya upayakan paling sederhana. 

Kemudian saya menjelaskan untuk mengatasi tersebut ada obat yang bisa diberikan terbatas untuk mengurangi gejala, dan perlu upaya mandiri dari pasien untuk memperbaiki gaya hidupnya. 

Saya tegaskan bahwa tanpa mengubah pola hidup dan pola makan, pasien hanya akan kenyang dengan terus menerus mengonsumsi obat pada akhirnya. 

Terakhir, bagian yang menurut saya begitu penting khususnya dalam kasus pasien dengan dispepsia, adalah kerutinan meminum obat untuk memastikan pemberian obat golongan Proton Pump Inhibitor dapat benar mengurangi asam lambungnya dan rutin kontrol pada tanggal yang diminta untuk memastikan evaluasi kondisi penyakit yang berkelanjutan dan dapat dipantau bersama. 

Namun, bagi saya, dapat memberikan edukasi yang saya sebut edukasi luar biasa untuk diagnosis yang biasa, seperti judul tulisan saya hanyalah sebuah privilese atau keberuntungan sesaat semata untuk saya. 

Sebagai seorang dokter internship, saya dapat saja beralasan bahwa saya hanya dapat menangani 2-3 pasien dalam 1 jam karena rendahnya jam terbang yang saya punya. 

Tentu saja setelah saya menyelesaikan program internship ini perasaan ketir sudah menggerayangi saya. Sudah tak ada alasan bagi saya untuk memiliki waktu interaksi tatap muka dengan pasien saya dalam durasinya yang lamanya sama. 

Sekali lagi penulis menyadari kita tak hidup di sistem kesehatan negara yang ideal. Rasio ideal antara jumlah dokter dengan jumlah penduduk masih belum tercapai sehingga menyeimbangkan kuantitas dan kualitas pelayanan adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh dokter-dokter di Indonesia. 

Untuk mendengarkan keluh kesah kurang lebih hampir 100 pasien poli umum per harinya di puskesmas adalah hal yang hampir mustahil. 

Saya yakin seluruh dokter di Indonesia begitu ingin mendengarkan dan memahami penyakit pasiennya secara paripurna dari segala aspek yakni tak hanya aspek medis saja. Tapi apa daya?

Memang harus disadari bahwa benar adanya jika saat pasien datang ke dokter ada hal yang begitu ia cari lebih dari sekedar obat yang seorang dokter resepkan. Karena bisa saja pasien membeli sendiri obat di apotik dan bertanya kepada apoteker apa obat untuk ulu hatinya yang sakit sehingga tidak perlu dokter untuk meresepkannya. 

Edukasi terkait apa saja faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakitnya, bagaimana pencegahannya, dan hubungan batin antara dokter pasien yang dijalin melalui komunikasi interpersonal efektif yang merupakan nilai plus saat seorang pasien memeriksakan kondisinya kepada seorang dokter. 

Seperti kata dosen saya saat blok mengenai sistem kesehatan di bangku S1 Kedokteran, beliau berkata banyak pasien ternyata tidak datang untuk berobat, namun beberapa hanya ingin didengarkan dan beberapa ingin mengetahui alasan di balik penyakitnya. 

Saya menyadari bahwa saya sebagai seorang dokter junior memiliki pengalaman dalam mendiagnosis alias menentukan penyakit hingga memberikan terapi yang masih begitu dangkal. 

Saya percaya bahwa seorang dokter bertumbuh dengan pengalaman klinis yang kian bertambah semakin harinya. 

Tak lupa seorang dokter harus terus belajar memperbaharui ilmunya untuk menyesuaikan apa yang sehari-hari ia saksikan pada pasien dengan teori pada buku maupun jurnal kedokteran. 

Oleh karena itu, sekali lagi melalui tulisan ini penulis hanya ingin menyampaikan bahwa penulis hanya kebetulan memiliki keberuntungan sesaat sebagai seorang dokter internship untuk dapat melaksanakan praktik pelayanan dokter-pasien yang ideal, seideal teori-teori pada buku mutu pelayanan kesehatan. 

Pemerintah harus menyadari bahwa tugas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan tak dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan sendiri. 

Peran pemerintah untuk menciptakan sistem kesehatan yang optimal dengan salah satunya memastikan rasio dokter dan penduduk di suatu wilayah tercapai dan akhirnya mampu menyeimbangkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan pada sistem kesehatan nasional kita. 

Terakhir, saya ingin mengingatkan saya sendiri dan rekan sejawat dokter sekalian untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan dengan memberikan edukasi yang luar biasa semaksimal yang kita bisa sekalipun di tengah sistem yang tak ideal, demi masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun