Saya memulai edukasi pasien dengan menyebutkan nama kondisi yang pasien derita. Agar pasien memiliki pengetahuan lebih lanjut terkait penyakitnya, seperti biasa saya mengambil sticky note yang saya persiapkan sedari rumah lalu menuliskan nama penyakit pasien di kertas tersebut, meminta pasien untuk menyimpannya di dompet mereka dan saya memperbolehkan pasien untuk mencari tahu terkait penyakitnya sebagai contoh melalui internet, namun wajib hukumnya untuk mengkonfirmasi apapun yang mereka baca kepada dokter di pertemuan kontrol selanjutnya.Â
Setelah menjelaskan terkait nama penyakitnya, saya menjelaskan mengapa bisa penyakit tersebut terjadi pada pasien dengan bahasa yang saya upayakan paling sederhana.Â
Kemudian saya menjelaskan untuk mengatasi tersebut ada obat yang bisa diberikan terbatas untuk mengurangi gejala, dan perlu upaya mandiri dari pasien untuk memperbaiki gaya hidupnya.Â
Saya tegaskan bahwa tanpa mengubah pola hidup dan pola makan, pasien hanya akan kenyang dengan terus menerus mengonsumsi obat pada akhirnya.Â
Terakhir, bagian yang menurut saya begitu penting khususnya dalam kasus pasien dengan dispepsia, adalah kerutinan meminum obat untuk memastikan pemberian obat golongan Proton Pump Inhibitor dapat benar mengurangi asam lambungnya dan rutin kontrol pada tanggal yang diminta untuk memastikan evaluasi kondisi penyakit yang berkelanjutan dan dapat dipantau bersama.Â
Namun, bagi saya, dapat memberikan edukasi yang saya sebut edukasi luar biasa untuk diagnosis yang biasa, seperti judul tulisan saya hanyalah sebuah privilese atau keberuntungan sesaat semata untuk saya.Â
Sebagai seorang dokter internship, saya dapat saja beralasan bahwa saya hanya dapat menangani 2-3 pasien dalam 1 jam karena rendahnya jam terbang yang saya punya.Â
Tentu saja setelah saya menyelesaikan program internship ini perasaan ketir sudah menggerayangi saya. Sudah tak ada alasan bagi saya untuk memiliki waktu interaksi tatap muka dengan pasien saya dalam durasinya yang lamanya sama.Â
Sekali lagi penulis menyadari kita tak hidup di sistem kesehatan negara yang ideal. Rasio ideal antara jumlah dokter dengan jumlah penduduk masih belum tercapai sehingga menyeimbangkan kuantitas dan kualitas pelayanan adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh dokter-dokter di Indonesia.Â
Untuk mendengarkan keluh kesah kurang lebih hampir 100 pasien poli umum per harinya di puskesmas adalah hal yang hampir mustahil.Â
Saya yakin seluruh dokter di Indonesia begitu ingin mendengarkan dan memahami penyakit pasiennya secara paripurna dari segala aspek yakni tak hanya aspek medis saja. Tapi apa daya?