(Bab 2: Tersesat Makin Jauh)
Link Bab 1 di sini
Dengan kecepatan tinggi, truk tua itu terus memburu. Pengemudinya seolah begitu bernafsu ingin menabrak mobil kami. Aku panik dan menginjak gas dalam-dalam.
Namun, meskipun sudah ngebut, kami masih saja belum bisa menjauh. Truk itu terus menempel.
Sambil terus menjaga kestabilan lari mobil dalam kecepatan tinggi, aku berusaha berpikir cepat, bagaimana caranya supaya bisa terlepas dari teror truk antah berantah itu.
Sekilas aku lihat situasi di kanan dan kiri. Mengira-ngira kemungkinan untuk menepikan mobil secara mendadak supaya tidak ditabrak dari belakang.
Namun, sepertinya mustahil. Meski dalam gelap, aku bisa memastikan bahwa kiri-kanan jalan yang sempit itu ditumbuhi pepohonan yang cukup rapat. Kemungkinan pohon-pohon karet. Jika aku banting setir ke kiri atau ke kanan, tentunya akan menabrak pepohonan itu. Dan pasti akan fatal akibatnya karena mobil sedang melaju dengan kecepatan sangat tinggi.
Keringat dingin menjalari sekujur tubuh karena rasa takut bercampur ngeri. Keselamatan kami di ujung tanduk.
Tenggorokan serasa tersekat membayangkan riwayat kami sekeluarga akan berakhir di sini. Di tengah hutan belantara.
Terbayang keluarga yang menunggu penuh harap di kampung halaman.
Aku juga teringat betapa bahagia dan bersemangatnya kami ketika akan berangkat pagi tadi. Keinginan berkumpul dengan keluarga sudah tak tertahankan. Namun, siapa sangka, saat ini kami di ambang petaka.
"Ya, Tuhan, selamatkanlah kami." Aku bergumam dalam suasana hati yang kalud. Tanpa sadar mata mulai berembun.
Jalanan lurus ini seolah tidak ada akhirnya. Jarak truk dengan kami sekarang hanya satu atau dua meter saja. Sangat dekat. Kami benar-benar akan segera tertabrak.
Di saat situasi sudah sangat genting, sekilas aku melihat kira-kira lima puluh meter di depan, sepertinya ada tanah terbuka yang tidak ditumbuhi pepohonan. Hanya terlihat ada semak belukar, meski aku tak yakin sepenuhnya, karena suasana gelap.
Aku putuskan akan membelokkan mobil secara mendadak ke sana, meski sangat berisiko.
Bisa saja tanah terbuka itu ternyata jurang, dan jika mobil kami berbelok dengan kecepatan tinggi ke sana, maka kami akan terjun ke jurang.
Tapi, memang tak ada upaya lain yang bisa ditempuh. Aku ambil risiko terburuk itu. Toh, jika tertabrak, sama saja akibatnya, kami juga akan celaka.
Aku lirik spion kabin. Tampak truk itu benar-benar sudah sangat dekat. Deru mesinnya meraung-raung memekakkan telinga.
Sepersekian detik sebelum truk itu berhasil menabrak, secara tiba-tiba aku banting setir dengan kuat ke kanan. Mobil berubah arah secara mendadak dan meluncur tak terkendali ke tanah terbuka yang ditumbuhi semak-semak.
Segera aku injak rem dengan kuat namun berangsur-angsur. Injak lalu lepas, injak lagi lalu lepas, secara cepat, supaya mobil tidak terguling.
Mobil berguncang hebat karena keluar dari badan jalan dan akhirnya berhenti di tengah-tengah semak yang tersibak oleh mobil.
"Alhamdulillah, bukan jurang. Kami selamat," gumamku sedikit lega. Setidaknya kami tidak celaka.
Sepersekian detik kemudian, spontan aku menoleh ke belakang.
"Astaga."
Tidak ada apa-apa. Aku jauhkan pandangan sampai ke batas penglihatan di ujung jalan. Juga tidak terlihat apapun.
Tidak terlihat ada cahaya lampu kendaraan. Suasana kembali sepi. Hanya kami sendirian di pinggiran belantara itu. Aku lirik jam di speedo meter mobil, sudah mendekati tengah malam.
'Kemana truk tadi?'
Seharusnya, setelah aku membanting setir tadi, truk itu tentu terus melaju. Atau juga ikut berhenti kalau memang tujuannya mengincar kami. Namun, kenyataannya tidak. Truk itu mendadak hilang.
Seperti kehadirannya tadi yang tiba-tiba saja muncul di belakang kami, sekarang lenyapnya juga tiba-tiba.
Dalam kekalutan dan nafas yang masih memburu karena baru saja nyaris celaka, aku coba menganalisa, apa yang sebenarnya barusan kami alami.
Benarkah tadi itu ada truk yang mau menabrak? Kalau iya, mana truk itu sekarang? Kenapa tiba-tiba hilang? Truk silumankah?
Atau, sebenarnya memang tidak ada apa-apa? Hanya aku saja yang sedang dikuasai halusinasi karena sedang dicekam rasa takut? Jika benar demikian, alangkah ngerinya. Kami satu mobil nyaris celaka hanya karena halusinasiku. Ah, entahlah. Aku benar-benar tidak mampu lagi berfikir waras.
Bersaamaan dengan itu, karena mobil yang bergetar hebat saat keluar dari badan jalan tadi, membuat istri terbangun dari tidurnya.
"Eh, kenapa ini, Yah? Dimana kita sekarang, nih? Loh, kenapa mobil berada di semak-semak begini?"
Istri terlihat kaget dan setengah panik melihat suasana sekitar. Anak-anak kami pun ikut terbangun. Tapi kemudian segera tertidur lagi.
"Ayah ngantuk, ya? Tadi hilang kendali, ya? Duh, Alhamdulillaah, cuma keluar dari badan jalan. Tidak sampai nabrak. Ya sudah, biar aku gantian yang nyetir. Ayah istirahat dulu."
Kami pun berganti posisi. Istri sekarang yang di belakang setir. Dia mundurkan mobil kembali ke badan jalan. Kemudian dia menyetir dengan kecepatan sedang.
Aku masih diam saja. Selain karena masih tercekam oleh kejadian tadi, juga karena tidak ingin menceritakan rangkaian kejadian selama istri tertidur. Aku tidak mau membuatnya jadi gelisah atau malah ketakutan.
"Ini sekarang posisi kita di mana, Yah? Berapa jauh lagi sampai di tujuan?"
"Kalau lihat di google map ini, harusnya sudah tidak jauh, Bun."
Aku berusaha menjawab dengan tenang. Berusaha bersikap seolah semua masih 'on the track'.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H