(Gara-Gara Aplikasi Penunjuk Jalan)
Lebaran lalu adalah kali pertama aku sekeluarga mudik lewat jalan darat menggunakan mobil pribadi. Kami sekeluarga merasa antusias, meski perjalanan Bogor - Padang yang akan kami tempuh nantinya sangat jauh, lebih 1.500 kilo meter.
Demi lancarnya perjalanan, beberapa hari sebelum bulan Ramadhan, mobil kami sudah kupersiapkan. Servis lengkap, pasang aki baru, dan ganti sekaligus empat ban.
Tak lupa, aku dan istri membekali diri dengan membaca-baca reviu tentang pengalaman perjalanan lintas Sumatera yang banyak ditulis netizen di internet. Kami juga download berbagai peta rute perjalanan.
Karena baru pertama kali, kami berencana akan melakukan perjalanan santai saja. Tidak buru-buru. Menikmati tahap demi tahap perjalanan. Melihat-lihat tiap kota yang disinggahi. Kami juga berniat hanya akan melakukan perjalanan siang hari saja. Kalaupun sampai malam, maksimal hingga jam delapan atau sembilan saja.
Kami memutuskan akan menempuh jalur lintas tengah Sumatera dengan membagi perjalanan menjadi empat etape. Etape pertama, perjalanan singkat saja, dari Bogor menuju Merak Cilegon dan menginap satu malam di sekitaran pelabuhan Merak.
Etape kedua mulai dari penyeberangan Merak - Bakauheni sampai kota Batu Raja di Provinsi Sumatera Selatan, kemudian juga menginap satu malam di sana.
Etape ketiga, Batu Raja sampai kota Muaro Bungo di Provinsi Jambi dan kembali menginap satu malam.
Etape terakhir, dari Muaro Bungo menuju Padang. Diperkirakan kami akan tiba di rumah orang tuaku menjelang tengah hari.
Demikian rencana yang kami susun.
Lima hari sebelum lebaran, selepas Magrib, kami berangkat dari rumah. Bogor - Merak kami tempuh selama tiga setengah jam dengan kondisi lalu lintas tol sepanjang perjalanan relatif lancar. Sampai di Merak, kami menginap di sebuah hotel tak jauh dari pelabuhan.
Keesokan harinya, selesai Sholat Subuh, perjalanan kami lanjutkan. Sekitar pukul enam pagi kami sudah antri di terminal 5 pelabuhan Merak menunggu giliran naik kapal feri untuk menyeberang ke Bakauheni, Provinsi Lampung. Setelah antri dua jam lebih, kami akhirnya naik kapal.
Pelayaran berjalan lancar. Sekitar pukul 10.30, kapal bersandar di dermaga pelabuhan Bakauheni.
Antrian ke luar dari lambung kapal ternyata lumayan cepat. Selang sepuluh menit, kami sudah berada di daratan Sumatera. Siap memacu mobil menyusuri jalan panjang lintas Sumatera.
Beberapa ratus meter setelah keluar area pelabuhan Bakauheni, langsung terlihat plang petunjuk jalan yang sangat mencolok. Pada plang itu tertera petunjuk arah. Lurus, menuju lintas timur, belok kiri menuju lintas tengah via jalan tol. Hmm, ini rupanya jalan tol lintas Sumatera yang beberapa waktu lalu diresmikan presiden.
Sesuai rencana semula, kami segera berbelok ke kiri dan masuk jalan tol. Tol sepanjang 140 kilometer tanpa ada satupun belokan maupun tanjakan itu kami lalui dengan lancar. Mobil bahkan sempat kugeber 140 km/jam. Tol berakhir di Terbanggi Besar.
Perjalanan selanjutnya melalui jalan negara dengan tingkat kesulitan yang bervariasi. Tidak saja karena kondisi fisik jalan, tapi juga karena padatnya lalu lintas oleh berbagai jenis kendaraan dengan segala macam karakter berkendara pengemudinya. Dan, yang paling menyulitkan adalah ketika bertemu dengan konvoi truk yang berjalan pelan karena sarat muatan. Kadang, empat sampai enam truk jalan beriringan pelan dengan jarak yang rapat. Sulit untuk disalip. Butuh kesabaran maksimal untuk bisa melewati iring-iringan seperti itu.
Wilayah-wilayah di Provinsi Lampung satu persatu kami lewati. Sejak keluar tol, kemudian melewati Kota Bumi dan kota-kota selanjutnya, sampai ke Kabupaten Waykanan di Lampung bagian utara yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, perjalanan relatif lancar tanpa ada kendala apapun selain masalah iring-iringan truk tadi. Mobil kami pun sejauh ini terasa prima dikendarai.
Menjelang Magrib, kami sudah dekat dengan Baturaja, kota tujuan akhir etape kedua kami.
Karena masih sore dan merasa masih cukup fit untuk lanjut nyetir, aku berpikir untuk lanjut saja, setidaknya sampai kota terdekat berikutnya.
"Bun, coba lihat peta, setelah Baturaja ini, kota berikutnya apa? Berapa kilo jaraknya dari sini?" tanyaku pada istri yang selama perjalanan memang menjadi navigator.
Meskipun tiap persimpangan selalu ada petunjuk arah, istri juga selalu mengaktifkan aplikasi google map di handphone-nya. Beberapa kali kami mengikuti saran petunjuk jalan dari google map, dan memang akurat. Aplikasi itu selalu menunjukkan jalan yang relatif lebih dekat dan tidak macet.
"Kota berikutnya Muara Enim, Yah. Jaraknya lebih kurang 128 kilo," jawab istri setelah mencari tahu jawaban pertanyaanku di handphone.
"Ini masih sore, Ayah juga masih cukup fit, gimana kalau kita lanjut saja sampai Muara Enim? Kita nginap di sana saja. Kira-kira jam 9 atau 10 nanti kita sampai."
Istri setuju. Sebelum lanjut, kami mampir dulu isi bensin, shalat, dan makan malam.
Belum genap pukul tujuh, perjalanan kami lanjutkan. Tak berapa lama setelah kami jalan, hujan turun.
Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, rata-rata 60 - 70 km perjam. Sementara istri memesan kamar hotel di Muara Enim lewat aplikasi perjalanan di handphone-nya. Sedangkan anak-anak kami ketiganya terlelap.
Kira-kira lima belas menit berjalan, kami sampai di sebuah perempatan yang cukup ramai. Dari kejauhan sebelum sampai di perempatan itu, aku sudah melihat plang penunjuk jalan, bahwa menuju Muara Enim lurus, sedangkan ke kanan arah Prabumulih.
Aku sudah akan menuju arah lurus ketika tiba-tiba suara perempuan pembaca narasi google map terdengar jelas berkata,
"Dua ratus meter lagi belok kanan."
"Eh.. gimana nih, Bun? Kok google map nyuruh belok kanan? Padahal pada plang petunjuk jalan jelas, ke Muara Enim itu lurus." Aku jadi ragu dan menepikan mobil.
"Kita ikut google map aja, Yah. Dari tadi kan petunjuknya selalu akurat. Mungkin nanti akan ada jalan alternatif yang lebih dekat menuju Muara Enim." Demikian istri berpendapat.
"Hmm ... ya lah," jawabku bimbang.
Tidak seperti petunjuk-petunjuk google map sebelumnya yang kuikuti dengan yakin, kali ini serasa ada yang mengganjal di hatiku. Entah kenapa.
Aku belokkan mobil ke kanan. Kami telusuri terus jalan sesuai petunjuk google map itu.
Awalnya jalanan ramai, tapi makin lama makin sepi. Makin jarang berpapasan dengan kendaraan lain. Bahkan dengan sepeda motor sekalipun.
Selang dua puluh menit sejak kami belok kanan tadi, kembali terdengar suara perempuan narator google map berkata,
"Dua ratus meter lagi belok kiri."
Sampai di persimpangan yang dimaksud google map, aku kembali menepikan mobil dan tertegun. Terlihat jalanan yang disarankan itu lebih kecil dan gelap. Namun, tidak ada pilihan. Sudah terlanjur mengikuti petunjuk google map, ya ikuti saja terus. Cuma itu yang terfikir olehku. Sebab, kalau tidak mau mengikuti dan balik lagi ke arah semula, sudah terlalu jauh. Sudah sekitar dua puluh lima kilo meter.
Dengan hati yang semakin bimbang, aku belok kiri dan terus mengemudi dalam kecepatan sedang. Aku menoleh ke kiri, rupanya istri sudah tertidur dengan handphone masih tergeletak di pangkuannya. Aku lihat ke belakang, anak-anak juga masih pada tertidur semua.
Di luar, gerimis masih terus turun. Wiper kuhidupkan dengan setelan jeda. Aku coba mempelajari suasana kiri kanan jalan. Tak terlalu jelas terlihat. Tapi sepertinya hutan karet. Semakin jauh berjalan, suasana semakin terasa mencekam. Sudah tidak satupun terlihat rumah-rumah penduduk.
Dan, aku baru tersadar, bahwa sejak belok kiri tadi, belum sekalipun kami berpapasan dengan kendaraan lain. Berulang-ulang kuintip ke spion kabin, juga tidak pernah terlihat sama sekali ada pendar cahaya pertanda ada kendaraan lain di belakang kami. Artinya, dari tadi memang hanya kami sendiri yang melewati jalan ini. Aku mulai bergidik.
Sudah tiga puluh menit sejak belok kiri tadi, kondisi masih sama, semua gelap gulita kecuali jalanan yang tersorot cahaya lampu mobil kami.
Jalanan mulai menanjak dan menurun. Kiri kanan yang tadinya kebun, sekarang sebelah kiri perbukitan sedangkan sebelah kanan sepertinya jurang. Masih belum satupun ada kendaraan yang berpapasan dengan kami. Di belakang juga sama, masih saja tidak ada kendaraan lain yang terlihat menyusul kami. Aku lirik jam di speedo meter, pukul 20.45.
Dalam kesendirian karena istri dan anak-anak tertidur, Â kucoba untuk tetap tenang. Aku turunkan sedikit kaca jendela. Kesiur angin dingin langsung terasa menyelusup ke kabin mobil. Aku kembali merinding dan cepat-cepat menutup rapat jendela.
Setelah melewati sebuah tikungan yang agak tajam, samar-samar aku melihat dua titik cahaya redup di kejauhan.
"Nah.. itu ada mobil di depan," gumamku sedikit lega.
Segera saja gas kuinjak lebih dalam. Aku bermaksud mengejar mobil itu. Jika sudah berdekatan aku akan ikuti saja mobil itu dari belakang. Biar menjadi teman seperjalanan. Ngeri rasanya jalan di tempat sepi begini malam-malam tanpa pernah melihat rumah penduduk dan tidak berpapasan dengan kendaraan lain sama sekali. Bagaimana kalau ada bajing loncat? Bagaimana kalau mobil tiba-tiba pecah ban atau mogok? Macam-macam kekhawatiranku saat itu. Tiba-tiba aku sangat menyesal, kenapa tadi tidak langsung menginap saja di Baturaja, sesuai rencana semula.
Akhirnya kami berhasil menyusul mobil itu. Rupanya sebuah truk tua. Kelihatannya tidak ada muatan dalam baknya. Aku ikuti terus dalam jarak sekitar empat atau lima meter.
Aku agak heran, kenapa truk ini berjalan pelan sekali? Padahal biasanya, jika tidak ada muatan, pengemudi truk akan sangat ngebut mengendarai truknya.
Tapi, sudahlah, aku tak peduli. Yang penting sekarang kami tidak sendiri lagi. Sudah ada teman seiring.
Sudah sekitar lima belas menit lamanya aku terus menempel truk tua itu, ketika aku dikagetkan oleh suara google map di handphone istri yang masih tertidur.
"Dua ratus meter lagi belok kanan."
Aneh, suara perempuan narator itu tiba-tiba terdengar berat dan menyeramkan di telinga. Bulu kudukku merinding.
Limapuluh meter menjelang belok kanan, jarak mobil kami dengan truk tua agak kurenggangkan menjadi sekitar 15 meter. Ketika truk itu telah berbelok ke kanan otomatis hilang dari pandanganku. Selang tiga detik kemudian, kami juga belok kanan.
Astaga! Aku kaget bukan kepalang. Setelah belokan, aku tidak melihat apa-apa lagi. Mana truk tua tadi? Padahal jarak kami tak lebih tiga detik. Kalaupun truk itu ngebut setelah berbelok, harusnya masih terlihat. Aku tarik tuas lampu jauh, terlihat jalanan lurus sampai ke batas pandangan. Tapi tidak terlihat truk itu.
Kiri kanan jalan keadaannya masih sama, perbukitan dan jurang.
'Apa truk tadi jatuh ke jurang? Atau ... jangan-jangan itu truk ... ah, aku tak berani meneruskan pikiran yang terakhir itu.
Kali ini aku benar-benar didera rasa takut. Aku geber mobil sekencang-kencangnya. Aku ingin segera bertemu dengan permukiman penduduk desa, posko mudik, atau pos polisi, atau apapun lah.
Aku lirik speedo meter, kecepatan mobil sembilan puluh kilo meter per jam. Sangat kencang untuk ukuran di jalanan sempit dan tidak mulus begitu. Tapi aku nekat karena ingin segera menemukan peradaban.
Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara klakson yang sangat keras, dan tiba-tiba pula sorot lampu menyala. Sebuah truk tua tiba-tiba telah memepet kami dan terus-terusan mengelakson seperti tidak sabar ingin mendahului.
"Gila! Truk apa ini?!
-bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H