"Kota berikutnya Muara Enim, Yah. Jaraknya lebih kurang 128 kilo," jawab istri setelah mencari tahu jawaban pertanyaanku di handphone.
"Ini masih sore, Ayah juga masih cukup fit, gimana kalau kita lanjut saja sampai Muara Enim? Kita nginap di sana saja. Kira-kira jam 9 atau 10 nanti kita sampai."
Istri setuju. Sebelum lanjut, kami mampir dulu isi bensin, shalat, dan makan malam.
Belum genap pukul tujuh, perjalanan kami lanjutkan. Tak berapa lama setelah kami jalan, hujan turun.
Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, rata-rata 60 - 70 km perjam. Sementara istri memesan kamar hotel di Muara Enim lewat aplikasi perjalanan di handphone-nya. Sedangkan anak-anak kami ketiganya terlelap.
Kira-kira lima belas menit berjalan, kami sampai di sebuah perempatan yang cukup ramai. Dari kejauhan sebelum sampai di perempatan itu, aku sudah melihat plang penunjuk jalan, bahwa menuju Muara Enim lurus, sedangkan ke kanan arah Prabumulih.
Aku sudah akan menuju arah lurus ketika tiba-tiba suara perempuan pembaca narasi google map terdengar jelas berkata,
"Dua ratus meter lagi belok kanan."
"Eh.. gimana nih, Bun? Kok google map nyuruh belok kanan? Padahal pada plang petunjuk jalan jelas, ke Muara Enim itu lurus." Aku jadi ragu dan menepikan mobil.
"Kita ikut google map aja, Yah. Dari tadi kan petunjuknya selalu akurat. Mungkin nanti akan ada jalan alternatif yang lebih dekat menuju Muara Enim." Demikian istri berpendapat.
"Hmm ... ya lah," jawabku bimbang.