Aku dilahirkan dari keluarga yang berprofesi sebagai guru, ayahku dan ibuku adalah guru SD, sehingga sejak kecil aku dan adik-adikku sudah terbiasa dengan kehidupan yang bernuansa pendidikan. Jadwal belajar yang ketat, kesempatan bermain juga sedikit karena waktu harus digunakan untuk belajar.
Dunia pendidikan secara tidak langsung sudah kami kenal melalui orang tua kami. Sehingga tidak salah jika sekarang, diantara 4 anak, ada 3 yang meneruskan profesi orang tua kami, yaitu menjadi guru.
Sejak tahun 2006, sejak lulus S1 aku langsung mendapat pekerjaan, yaitu sebagai guru. Mengajar di salah satu SMP swasta di kota Surabaya, jadi bisa dikatakan status saya adalah PNS (Pegawai Negri Swasta).
Senang karena mendapat pekerjaan dan juga sedih karena harus berpisah jauh dari orang tua yang berada di Lampung (Sumatra), di sinilah aku harus memulai langkah awal untuk keluar dari comfort zone.
Pengalaman awal mengajar sungguh sangat menegangkan, karena harus menghadapi siswa dengan beraneka sifat dan karakter.
Tantangan lain adalah karena aku sebagai guru agama, maka selain mengajar, aku juga harus mendidik para siswa, membawa mereka pada kehidupan beragama yang baik dan benar.
Sejak tahun pertama mengajar (2006) – sampai tahun 2013, aku masih tetap mengajar di satu sekolah jenjang SMP. Sebagai guru, aku merasa sangat nyaman bekerja, mengajar dan mendidik para siswa. Aku bisa menerapkan ilmu yang kuperoleh, mengajar dengan kreatif, menjalin keakraban dengan para siswa, baik di dalam maupun di luar kelas.
Menurutku, belajar tidak hanya di dalam kelas, namun bisa dilakukan di luar kelas, dalam situasi yang santai. Harus disadari bahwa tugas dan panggilan sebagai guru harus dilaksanakan dengan sepenuh hati dan penuh kegembiraan. Menjadi guru harus selalu mau untuk belajar dan mengembangkan diri secara terus menerus.
Untuk itulah kuputuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. “Aku ingin kuliah lagi, namun dengan tidak membebani orang tua lagi, aku ingin mandiri”, niatku.
Pada saat aku mengambil keputusan ini, maka kusadari bahwa aku sudah membawa diriku untuk kembali keluar dari comfort zone. Aku harus membagi waktu, merelakan waktu luangku untuk belajar lagi, menempuh pendidikan di S2 di salah satu PTN, prodi Manajemen Pendidikan (M.Pd).
Harus diakui bahwa membagi waktu antara bekerja sambil kuliah tidaklah mudah, 1 hari hanya 24 jam, dan itu harus diatur dan dimanfaatkan dengan baik. Pagi sampai siang bekerja, dan sore sampai malam kuliah.
Wah…sungguh sebuah perjuangan yang cukup melelahkan. Pagi memberi PR dan ulangan, sorenya diberi PR dan ulangan.
Menghadapi tantangan ini, aku belum lulus ujian. Walaupun selalu rajin dan bersemangat dalam kuliah, namun aku terganjal dalam penulisan tesis.
Kuliahku gagal untuk kuselesaikan, karena kurang bisa menerapkan manajemen waktu, dan fokus dalam penulisan tesis. Singkat kata, akhirnya aku men DO kan diri dari kampus. Sayang ya... namun aku tidak menyesal, aku sudah berusaha, namun kurang keras lagi untuk berusaha. Minimal aku sudah bisa belajar dan menimba ilmu.
Sebagai seorang guru, aku adalah pribadi yang sangat senang belajar, mencari tahu tentang hal-hal yang baru (Long live education). Walaupun sudah menjadi guru, kita harus selalu belajar dan belajar lagi, jangan pernah berhenti untuk belajar.
Karena ilmu yang kita peroleh akan sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Kita akan menjadi pribadi yang lebih memiliki wawasan dan pengalaman, khususnya dalam hal manajemen kelas.
"Aku bisa menerapkan ilmu yang kuperoleh, mengajar dengan kreatif, menjalin keakraban dengan para siswa, baik di dalam maupun di luar kelas."
Sebagai seorang guru, aku sangat bersyukur karena aku memiliki pengalaman yang luar biasa dan berharga, ketika menempuh pendidikan S1.
Selain bekal ilmu secara akademik yang diperoleh di bangku kuliah, aku juga memiliki bekal pengalaman di luar ruang kuliah. Pengalaman berharga yang baru kusadari ternyata ada manfaat dan hikmahnya.
Pengalaman yang menjadikanku sebagai seorang guru yang bisa, berani, dan percaya diri untuk tampil dan berdiri di depan kelas. Apalagi aku termasuk guru yang paling muda diantara teman-teman guru yang lain.
Pengalaman tersebut adalah: ketika aku harus hidup mandiri, mencari tambahan untuk biaya kuliah, dan untuk meringankan beban orang tua. Untuk bisa mewujudkan itu, yang aku lakukan adalah: setelah pulang kuliah, bersama beberapa teman aku pergi mengamen.
Mulai sore hingga malam hari, kami berjalan kaki dengan membawa perlengkapan perang: gitar, galon minum kosong. Berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengamen.
Pengalaman tersebut sungguh menggembirakan namun juga menyedihkan. Gembira bisa menghibur orang lain dan sedih jika ditolak. Sebagai pengamen kami harus bisa menyesuaikan lagu lho…, jika ada anak kecil, kami menyanyikan lagu anak-anak, jika ada orang tua, kami nyanyikan lagu campursari Jawa, jika ada yang sedang pacaran, kami nyanyikan lagu cinta.
Namun yang lebih penting adalah, ternyata berdiri dan bernyanyi di depan orang lain yang tidak kita kenal adalah tidak mudah. Selain harus menanggung rasa malu, aku juga harus mampu mendorong diriku untuk percaya diri.
Pengalaman menjadi pengamen sambil kuliah yang kulakukan dulu, yang semula kuanggap remeh, ternyata saat ini sangat berguna. Aku menjadi guru yang berani dan percaya diri untuk berbicara di depan kelas, mampu untuk menyesuaikan diri dalam setiap situasi, dan mampu untuk mengelola kelas, menciptakan suasana belajar yang menarik dan penuh kegembiraan.
Terkadang aku membawa gitar, bernyanyi bersama para siswa sebelum memulai pelajaran, menciptakan situasi yang menyenangkan dan menggembirakan.
Apalagi pelajaranku seringkali di jam terakhir, disaat para siswa sudah mulai bosan dan mengantuk. Belajar, sambil memberikan motivasi kepada siswa bahwa belajar musik itu mudah dan menyenangkan.
Belajar musik tidak harus kursus, kita juga bisa belajar secara autodidak, dan saat ini aku bisa memainkan beberapa alat musik: gitar, angklung, kolintang, harmonica, keyboard.
Sebagai guru, saat ini aku ditugaskan untuk mengajar di SMP yang berbeda, namun masih dalam 1 yayasan. Kembali aku harus mau untuk keluar dari comfort zone, keluar dari zona nyamanku sebagai seorang guru. Mengapa demikian? Jika di tempat mengajarku yang dulu, sebagai seorang guru aku sudah cukup mengenal tipe, karakter siswa, serta lingkungan belajarnya.
Sekarang aku harus menghadapi tipe dan karakter siswa di lingkungan yang berbeda, tantangan baru yang menuntut sikap, penyesuaian diri, kesabaran, ketekunan, kemampuan yang lebih. Jangan takut untuk berkarya di tempat, siswa, dan teman kerja yang baru, justru jika mau dan mampu mengatasinya, kita akan menjadi pribadi yang baru.
Sebagai seorang guru yang suka pada tantangan dan senang dengan ilmu pengetahuan, aku kembali keluar dari comfort zone. Kesempatan yang dulu hilang dan ku sia-siakan saat menempuh studi S2, kini datang lagi.
Bersyukur sekali aku kembali mendapat kesempatan/beasiswa untuk menempuh pendidikan S2 di salah satu PTS, prodi Magister Manajemen (MM). Saat ini aku dan sepuluh teman yang juga berprofesi sebagai guru, sudah menyelesaikan tugas akhir dan berhasil menyelesaikan studi dengan penuh perjuangan.
Sebagai seorang guru, marilah kita mencoba untuk meneladani falsafah Jawa yang cukup mendalam berikut: “Memayu Hayuning Buwono”.
Istilah ini mengarah kepada Etika lingkungan hidup dalam perspektif kebijaksanaan budaya Jawa, dan perbuatan etis Jawa yang memiliki kedalaman makna berkaitan dengan pembelaan/pengabdian demi keselarasan indahnya tata kehidupan. “Memayu Hayuning Buwono”, adalah sumbangan khasanah filosofis yang indah dari dari budaya Jawa.
“Memayu Hayuning Buwono” diartikan: menjaga, mengelola, atau memperindah tata dunia (mempercantik cantiknya dunia). Dalam filsafat Jawa, ungkapan untuk bekerja, mengabdi, berbakti, berkarya dilukiskan dengan terminologi “memayu” (ayu: cantik).
Filsafat Jawa mengatakan: bila kamu bekerja, bekerjalah dengan sebuah tekad yang mengeksplorasi segala kecerdasan dan keindahan sekaligus.
Istilah memayu juga ingin mengatakan “menjaga keselarasan”: keseimbangan, keterjagaan dari segala yang merusak atau mengacaukan, dan mengupayakan keharmonisan. Hayuning Buwono memberi artikulasi pada realitas bahwa dunia itu: ayu, selaras, cantik, indah, dan mempesona.
Sahabatku para guru, sebagai penutup, mari kita renungkan kalimat berikut “Non Scholae Sed Vitae Discimus” (kita belajar bukan demi ilmu pengetahuan, melainkan demi kehidupan).
Semoga kita semua dapat menyadari bahwa dengan mendidik dan mengajar, kita tidak hanya menanamkan kepada para siswa untuk mengejar nilai yang bagus, namun juga perlu untuk belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Sehingga, menjadi bekal bagi mereka hidup di masyarakat, dan menjadikan mereka sebagai pribadi yang utuh dalam hal: SQ, EQ, IQ, PQ.
Marilah sebagai guru, kita meneladani tokoh Semar (tokoh dalam wayang). Semar bukanlah persona (pribadi tertentu), tetapi anima (jiwa, roh, semangat) orang Jawa.
Semar tidak merengkuh kekuasaan karena kesaktiannya, melainkan mengawalnya, mengabdinya dalam kesederhanaan dan ketulusan. Semar adalah “lurah”/pemimpin dan sekaligus juga sebagai “pelayan”.
Mari kita sebagai guru meneladani tokoh Semar, menjadi pribadi yang mau menjadi “pelayan” bagi para siswa, dalam hal yang kecil sekalipun, menjadi anima (jiwa, roh, semangat) bagi siswa, rekan kerja, dan semua orang yang kita jumpai.
"Salam hormat"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H