"Engga! Dia gila Sofia! Ayo pergi sama Paman. Besok kita bawa ayahmu ke rumah sakit jiwa."
Dan menyeret Sofia keluar rumah, membawa gadis itu pergi dengan sebuah mobil. Kini tinggallah Jack sendirian, menatap gambaran yang kini terbelah dua.
"Jiya, biarkan aku pergi bersamamu."
Jack tak masalah bahkan jika semua orang menganggapnya gila, begitu juga adik kandungnya. Sofia seharusnya mendapat hidup yang lebih layak dengan keluarga kecil Dan yang lebih mampu daripada bersama Ayah gila yang selalu memanggil nama Bundanya dalam tidur.
"Sofia juga pergi."
Melangkah keluar, Jack duduk di ambang pintu yang langsung menjorok pada halaman — tanpa teras. Pria itu menatap kelap-kelip bintang di langit malam. Begitu cerah, dan sayangnya Sofia yang amat menyukai beda langit tak ada di sisinya untuk menikmati momen bersama.
"Ini salah Ayah."
Jack menunggu anaknya hingga pagi, tertidur dengan bersandar di ambang pintu, tapi gadis mungilnya tak kunjung pulang. Apa Dan menahannya? Namun itu lebih baik, karna kembali padanya sama saja kembali pada kesulitan.
"Jack, ayo pergi bersama. Biarkan Sofia mendapat hidup yang lebih layak, dan dia akan lebih mandiri."
Mengucek mata tak percaya, tapi Jack dengan jelas bisa melihat istrinya tersenyum di hadapan. Jika ini mimpi … sungguh, ia tak pernah ingin terbangun kembali.
Perlahan ia meraih tangan Jiya, menggenggam erat. Keduanya saling bertatapan, tersenyum. Namun ketika Jack bernajak untuk segera mengambil langkah, kakinya seolah terasa berat, lalu sebuah teriakan terdengar.