Mohon tunggu...
Mega Ayu
Mega Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Perfect in Imperfect

"Ah, lagi-lagi dia menghanyutkanku. Membawaku masuk ke sisa jiwanya yang sepi tapi belum mati. Dan di rongga-rongga itu, aku menggigil sedikit. Oh, ini tempatku dulu. Masih terawat walau sedikit lembab"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

DeniAnsen : Awal pertemuan

21 Desember 2021   16:57 Diperbarui: 21 Desember 2021   17:12 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan turun lagi di penghujung Desember ini, rintiknya seolah menjadi gerbang menuju pergantian tahun. Entah sejak kapan aku menikmati pergantian tahun ini seorang diri. Seingatku, sejak bayang gadis itu tiba-tiba memudar dari pandanganku. Ah, siapa sangka gadis sederhana itu mampu menarik perhatianku sejauh ini? Dia tidak cantik, juga tidak mempesona. Hanya saja, sifatnya yang periang dan mandiri tiba-tiba menganggu pandanganku saat itu. Aku tak sengaja mengenalnya di samping pintu gerbang sekolah. Ya, kami satu sekolah tetapi aku baru melihat sosoknya. Maklum, dia tidak menarik jadi tidak pernah menjadi perbincangan di antara siswa lain. 

Saat itu dia sedang memeluk beberapa buku sambil berteduh di bawah warung tenda tepat di samping pintu gerbang sekolah. Bibir tipisnya terlihat komat kamit, entah dia sedang kedinginan atau memang menghafal beberapa bagian dari isi buku yang ia pegang atau justru sedang membaca mantra. Aku tak tahu. Melihat itu, aku tiba-tiba iba. Iba? ah, aku tak tahu apa namanya. 

"Mau teh hangat?" celetukku tiba-tiba yang dibarengi dengan tatapan penuh tanda tanya darinya.  Dia hanya menggeleng sambil mengembangkan senyumnya yang seolah-olah takut menyakiti perasaanku.

"Terima kasih sebelumnya." Balasnya kemudian.

"Anak kelas berapa?"

"Sebelas IPA-2" jawabnya.

"Oh, pantes."

"Kenapa?"

"Kutu buku."

"Demi masa depan yang gemilang." Ucapnya sambil setengah tertawa.

Aku bergeming, lalu mengambil ponsel dari saku celana dan memeriksa aplikasi apapun seolah mengisi kekosongan waktu saat itu. 

"Mau pesan apa, Neng?" tanya Bapak pemilik tenda memecah keheningan.

"Teh manis hangat boleh, Pak." jawabnya. "Dua ya, Pak." lanjutnya lagi.

Aku menoleh ke arahnya, dia hanya cekikian. 

"Buat siapa satu lagi?" tanyaku mengernyitkan dahi.

"Siapa lagi?"

"Hmm.. tadi aku udah nawarin teh juga kan? Tapi kamu nolak. Terus, kenapa saat bapak penjual yang nanya kamu cepet banget pesennya?"

"Karena dia penjualnya, dan aku ngga tahu maksud pertanyaanmu tadi apa."

Baru hendak membuka mulutku, si bapak penjual sudah meletakkan tehnya di atas meja. Lalu dia menarikku untuk duduk di samping meja itu.

"Kenapa kamu nggak nanya aku siapa? Kelas berapa? Tinggal dimana? Atau apa lah yang bisa kamu tanya."

"Memang penting?" Tanyanya yang kemudian terkekeh.

Dia menyeruput teh hangatnya dengan pelan-pelan. Lalu mengambil pisang goreng di wadah yang baru saja diangkat dari penggorengan.

"Perfect," ucapnya sambil menggigit pisang goreng itu setelah meniupnya berulang kali. "Kamu nggak mau? Enak loh! Pisangnya manis."

"Takut batuk."

"Nggak akan batuk kalo kamu makannya dikunyah dulu. Cobain deh!"

"Anak singa juga ngerti!"

Dia senyum-senyum lagi sambil meniup pisang gorengnya. Entah kenapa dia sangat menjengkelkan, tetapi juga tidak terkesan sok kenal sok dekat meski kita baru saja berkenalan. Eh, bukan. Bukan berkenalan tapi hanya berbasa-basi. Ya, karena aku dan dia saling tidak menyebutkan nama, jadi itu bukan kenalan kan?

"Serius kamu nggak penasaran buat nanya-nanya aku siapa?" Tanyaku lagi.

"Buat apa? Kamu Ansen kan? Anak IPS-3."

"Kok tahu?" tanyaku pura-pura penasaran.

"Siapa sih yang nggak tahu kamu?"

Jujur, aku tidak kaget dengan tebakannya saat itu. Darimana dia tahu? Ya, mungkin karena memang beberapa kali namaku disebut pada pengumuman  saat upacara bendera. Biasanya namaku disebut bebarengan dengan beberapa nama-nama lain yang memiliki prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis seperti bidang olahraga. Aku di bidang mana? Tentu bukan dua-duanya! Karena aku selalu masuk nominasi siswa yang sering terlambat dan memiliki tingkat kehadiran sedikit. Kalau sudah begitu, biasanya surat cinta akan dilayangkan untuk orang tua.

"Duluan ya, Sen." ucapnya buru-buru yang kemudian berlari menghampiri angkot di seberang. "Tehnya udah ku bayar ya!" teriaknya lagi.

"Makasih ya!" Teriakku.

"Aduhhh.. mas Ansen." celetuk Pak Yatno pemilik warung tenda. "Baru lagi nih yee."

"Apaan sih, Pak. Kaya nggak tahu saya aja!"

"Oh.. iya sih beda kalo dibanding sama yang mas Ansen ajak kemarin. Tapi sih, neng Denia baik orangnya, ramah."

Oh, Denia namanya. Entah apalagi yang diucapkan pak Yatno saat itu, aku sudah tidak peduli dan tidak mendengarnya. Aku hanya manggut-manggut dan senyum-senyum seolah setuju dengan pendapatnya. Padahal, diam-diam aku sedang mendengarkan detak jantungku sendiri.

***

pic source: pinterest

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun