Selanjutnya, modul 3.3 ini juga memperkuat kompetensi pedagogi dan profesional penulis. Hal ini terlihat dari perbaikan perencanaan program yang berbasis kebutuhan dan dampak positif pada murid, yang sebelumnya sudah didapatkan pembelajarannya melalui modul 3.3. Praktik coaching yang dilakukan oleh guru dalam menangani permasalahan dan evaluasi program sekolah sebelumnya oleh peserta didik, hal inilah yang akan menjadi refleksi, koreksi dan introspeksi penulis sebagai guru yang membuat program sekolah.
Tidak hanya itu, pembelajaran modul 3.3 ini juga membuat kompetensi sosial penulis menjadi lebih baik. Karena praktik coaching yang dilakukan dalam identifikasi/ evaluasi program sekolah sebelumnya ini membiasakan penulis menjadi pendengar yang baik dan juga peka terhadap lingkungan sosial di sekolah. Artinya, praktik coaching ini membuat penulis menjadi pribadi yang responsif terhadap pendidik lainnya dan juga untuk perbaikan pengelolaan program agar lebih berdampak positif pada murid.
Menurut penulis, keempat kompetensi pendidik ini saling terhubung perbaikannya dalam pembelajaran modul 3.3. Hal ini disebabkan proses coaching dan perencanaan pengelolaan program ini tidak hanya bermanfaat bagi murid (coachee), akan tetapi berdampak positif pula sebagai pembelajaran dan pengalaman bagi diri penulis sebagai coach.
B. Analisis Implementasi dalam Konteks CGP
1. Memunculkan pertanyaan kritis yang berhubungan dengan konsep materi dan menggalinya lebih jauh
Pertanyaan kritis penulis: Apakah boleh penentuan program sekolah tanpa menampung aspirasi suara dan pilihan murid? (Konteksnya di luar pembelajaran berdiferensiasi).
Penulis pikir, sebaiknya tidak semua program yang dikelola oleh guru dan sekolah harus melibatkan suara dan pilihan murid. Apalagi konteks murid sekolah ini merupakan siswa yang kecenderungan pasif atau belum paham program yang tepat dan lebih berdampak pada murid itu sendiri. Penulis berasumsi, praktik coaching atau observasi dari guru bisa dilakukan ketika penetapan konten, proses dan produk pada pembelajaran berdiferensiasi. Namun untuk pembelajaran sosial emosional (PSE) satau program unggulan sekolah, guru atau kepala sekolah berhak menetapkan program tertentu untuk diterapkan di sekolah sebagai hasil analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threat) sebelumnya.
Di sisi lain, penulis berpikir bahwa bisa jadi guru tahu sumber daya yang memiliki kekuatan pada murid di sekolah tsb. Namun sayangnya suara dan pilihan murid tidak ke arah kekuatan yang dimiliki, dikarenakan murid lebih memilih ekspektasi yang sederhana atau yang lainnya. Menurut penulis, alangkah sayangnya jika guru yang sudah memetakan kekuatan ini bisa menjadi prestasi, namun sayangnya murid tidak memiliki pola pikir yang terbuka atau bertumbuh (growth mindset) untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada. Tentunya hal ini bisa menjadi pengecualian untuk penetapan suatu program sekolah, jika tujuannya untuk pengelolaan program yang berdampak positif pada murid. Karena penulis meyakini, guru sebagai orang tua di sekolah tetap akan berbuat yang terbaik dan tidak akan menyakiti masa depan muridnya. Untuk hal ini, sebenarnya guru bisa kembali melakukan praktik coaching kepada murid-muridnya di sekolah, untuk meyakini mereka.
2. Mengolah materi yang dipelajari dengan pemikiran pribadi sehingga tergali wawasan (insight) baru
Bagi penulis, materi pada modul 3.3 ini memiliki esensi yang penting dalam pengelolaan program di sekolah. Karena pengelolaan program ini mengarahkan pada dampak positif dan keterlibatan murid dalam perumusan program di sekolah. Penulis setuju jika memang aspirasi (suara) dan pilihan murid menjadikan program sekolah berbasis kepemilikan bersama. Terutama jika berhubungan dengan pembelajaran berdiferensiasi, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, dan program lainnya yang muaranya adalah optimalisasi SDM murid dan prestasi.
Wawasan baru dengan adanya program yang memperhatikan kepemilikan murid menjadi gagasan segar bagi penulis dalam memprakarsai pengelolaan program sekolah. Tentunya semua ini dilakukan dengan melibatkan modal-modal sekolah yang ada, seperti modal manusia, modal sosial, modal agama dan budaya, modal politik, modal lingkungan/ alam, modal fisik, dan modal finansial.
3. Menganalisis tantangan yang sesuai dengan konteks asal CGP (baik tingkat sekolah maupun daerah)
Dalam menganalisis tantangan sesuai konteks sekolah dan daerah penulis, tantangan dalam pengelolaan program berdampak positif bagi murid yaitu terdapat pada konsistensi pelaksanaan program yang berjalan. Untuk sekolah dan daerah penulis, aspek literasi menjadi sesuatu hal yang direspon positif dan sudah beberapa sekolah memiliki praktik baik tentang ini. Namun para pelaku literasi belum terlalu banyak, sehingga beberapa tokoh literasi yang ada di tingkat sekolah perlu mempertahankan eksistensi dirinya sendiri dan praktik baik yang dilakukannya di sekolah. Hal ini dilakukan agar gema literasi terus ada dan tidak timbul tenggelam apalagi sampai hilang.
4. Memunculkan alternatif solusi terhadap tantangan yang diidentifikasi
Dalam memunculkan alternatif solusi terhadap tantangan yang teridentifikasi di sekolah atau daerah ini, tentunya penulis akan melakukan kolaborasi dan memperbanyak diskusi kepada senior (kepala sekolah, rekan sejawat senior dan pengawas, serta tokoh masyarakat) dalam trik melakukan konsistensi pelaksanaan program di sekolah. Diskusi ini akan mempermudah dan menambah wawasan penulis dalam memperbaiki pengelolaan program, terutama dalam memperhatikan dampak positif kepada murid agar lebih humanis. Penulis juga perlu membuat kompetisi pada bidang program tsb agar semangat berkompetisi ini menjadi tali penyambung agar program ini bisa berlangsung kontinu dari tahun ke tahun.