Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Anak Lapor Orangtua", Memahami atau Menghakimi?

27 Januari 2021   17:35 Diperbarui: 28 Januari 2021   08:16 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kali ini ramai sekali anak lapor orangtuanya ke polisi. Yah alasannya beragam. Saya mencoba untuk memahami keputusan sang anak meskipun dicerca banyak orang. 

Kenapa? Mungkin saja itu akumulasi dari pengalaman atau peristiwa yang dialami saat masih kecil hingga dewasa. 

Kita tidak tahu interaksi antara anak dan orangtua di rumah. Konflik yang terjadi, resolusi yang dilakukan, apa saja yang dirasakan ketika ia berada di rumah. 

Kasus pelaporan tersebut hanyalah sebuah produk dari rentetan peristiwa psikologis manusia. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang itu semua. 

Trauma Anak

Pola asuh orang tua dan lingkungan berpengaruh terhadap tumbuh karakternya. Sang anak akan memiliki perkembangan psikologis yang baik ketika mendapatkan pola asuh dan lingkungan yang sehat serta suportif.

Dalam hal ini jika dihadapkan dengan konflik tertentu, anak akan memperhatikan  bagaimana orangtua merespon konflik yang ada.

Orangtua yang mudah marah dan memaki (verbal abuse) serta melakukan kekerasan fisik (physical abuse) saat berhadapan pada situasi yang tidak diharapkan dari anaknya, akan membuat anak berpotensi mengalami trauma. 

Jangan menyepelekan hal ini, perilaku tersebut bisa menjadi cikal-bakal anak mengalami trauma. 

Trauma biasanya terjadi ketika individu mengalami peristiwa atau kejadian (tunggal atau berkelanjutan) yang intensitasnya di luar pengalaman sehari-hari atau dimaknai sebagai hal yang luar biasa.

Tidak hanya menimbulkan rasa cemas, takut dan tidak berdaya, akibat trauma yang dialami pada masa kanak-kanak yang terakumulasi hingga dewasa, perasaan dikhianati dan menyalahkan diri sendiri yang dirasakan akan bercampur dengan kemarahan dan ketidakpercayaan pada orang-orang di sekitar. 

Trauma memang berkaitan dengan hal yang "luar biasa" atau "ekstrem", namun pemahaman " luar biasa" dan "ekstrem" pada orang kebanyakan seringkali sangat berbeda dengan pemaknaan individu yang mengalaminya secara langsung. Dan seringkali subjektif. 

Contoh saja, trauma akibat pembunuhan dibandingkan trauma akibat bentakan dan tekanan secara terus menerus pada anak. 

Masyarakat pada umumnya akan melihat bahwa pembunuhan sebagai sesuatu yang "ekstrem" daripada bentakan. Namun keduanya bisa jadi sumber trauma pada individu. 

Tetapi tidak menutup kemungkinan jika pemahaman atau persepsi trauma yang dialami individu bisa berubah sejalannya waktu, dan itu tergantung pengaruh dari pandangan orang lain serta internalisasi dari individu tersebut. 

Pertanyaannya, bagaimana jika tidak seperti itu realitanya? 

Kenyataannya, masih banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis di dalam hidupnya, tetapi tidak pernah menceritakannya bahkan orang terdekat. Terutama jika itu berkaitan dengan harga diri dan keluarga. 

Yang akhirnya menyebabkan pengalaman traumatis itu ditekan dan membayangi perkembangan psikologisnya hingga dewasa. 

Bisa saja kita berasumsi jika anak yang memutuskan untuk melaporkan orangtuanya tidak serta merta karena sifat tamak dan kurang ajarnya saja. Tapi perlu kita renungkan, apa yang dilalui sang anak dalam hidupnya sampai ia memutuskan untuk bertindak seperti itu?

Jika melihat dari sudut pandang psikoanalisa, pasti trauma masa lalu dan masa kanak-kanak berperan pada karakter pribadinya serta setiap tindakannya. Dan tentunya itu rumit dan kompleks, dan penyebab dari peristiwa pelaporan itu tidak hanya faktor materi dan terlukanya harga diri saja. 

Faktanya, bahwa pelayanan kesehatan jiwa banyak melayani orang yang mengalami pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak. 

Selain itu, sebagai tambahan informasi, beberapa reaksi traumatis bisa saja membuat anak melakukan tindakan yang berisiko tinggi, seperti memberontak, melawan norma, kurang ajar, sangat sensitif, mudah tersinggung dan merasa depresif. 

Namun kenapa dan untuk apa anak melaporkan orangtua ke pihak kepolisian? 

Anak Lapor Orangtua untuk Memberi Efek Jera dan Mendapatkan Keadilan? 

Salah satu kasus yang menjadi perhatian saya adalah anak yang melaporkan ibunya karena membuang baju serta melukainya (dicakar) 

Netizen ramai-ramai mencerca perilaku sang anak. Biadab, tidak punya sopan santun, anak durhaka, kurang ajar, dsb. 

Tetapi jika menilik salah satu faktanya bahwa orangtua dari sang anak bercerai, kita bisa saja toh membuka perspektif lebih luas dan lebih dalam lagi terkait fenomena ini? Bahwa sang anak mungkin saja korban dari perceraian atau masalah dari orangtuanya. 

Kenapa orangtuanya bercerai? Banyak penyebab atau kemungkinan psikologis yang bisa dicari dan kita terka sendiri, tetapi pastinya tidak mungkin sang anak ujug-ujug dengan pikiran "dingin" memutuskan untuk melaporkan ibunya ke polisi. 

Bisa saja ada beban emosi yang tidak bisa dibendung, yang membuat sang anak lelah dengan perilaku ibunya   sehingga ia tidak bisa berpikir secara bijak dan rasional (pasti tidak hanya karena membuang baju dan mencakar, kemungkinan ada peristiwa lain yang menyakitkan, akumulasi pengalaman masa lalu) tentunya itu adalah hal yang sudah memasuki ranah pribadi atau privat. 

Sang anak hanya ingin membuat ibunya jera dan mendapatkan keadilan. Yang bisa saja dilatarbelakangi oleh pemaknaan subjektif dari sang anak terkait pengalaman yang ia lalui saat bersama ibunya. Dan bisa saja itu pengalaman yang tidak mengenakkan. 

Rasa keadilan yang didapatkan mungkin sebagai kompensasi atas peristiwa traumatis yang dialaminya. 

Mungkin orang umum menganggapnya aneh, "masa hanya karena baju dibuang, sampai melaporkan ibu kandungnya" 

Tapi kita tidak bisa melihatnya sepotong-sepotong. Pengalaman traumatis setiap individu berbeda pemicunya. Dan pemaknaan peristiwa yang "mengguncangkan" dan "luar biasa" itu subjektif. 

Dan individu yang dihadapkan oleh stresor (pemicu) utama atau yang hanya bersifat asosiatif yang membuat ia trauma, pasti tidak bisa berpikir jernih, irasonial dalam bersikap, dan emosional. 

Contohnya berkaitan dengan kasus bapak Koswara yang berusia 85 tahun dan dilaporkan ke polisi serta digugat anaknya tiga miliar rupiah. Karena sang bapak ingin menjual lahannya untuk membagi warisan, tetapi sang anak yang melapor memiliki usaha di area lahan tersebut (menyewa ruko milik bapaknya yang berada di lahan yang ingin dijual) dan terjadilah konflik yang berujung pada pelaporan tsb. 

Sangat tidak rasional dan melawan norma umum bukan? Terkesan melawan orangtua kan? Namun jika mengandaikan beberapa kemungkinan, mungkin saja sang anak mengalami gejala trauma dan stres berat yang mendadak, karena akan kehilangan tempat berjualan. Sang anak tidak sanggup menghadapi stresor besar yang mendadak seperti itu, sehingga ia terburu-terburu, terbawa emosi dan tidak bisa mengambil tindakan secara bijak

Pernah mendengar five stages of grief? Mungkin saja sang anak mengalami ketakutan dan kesedihan jika usaha yang dijalani harus pindah, dan lahan tempat ia berjualan harus dijual oleh sang Ayah. Mungkin ia masih berada dalam tahap penyangkalan (denial) dan marah (anger) dan belum bisa jernih dalam berpikir dan bertindak. 

Dan pelaporan tersebut mungkin saja hasil dari emosi sang anak yang belum mereda yang dianggap sebagai jalan untuk membuat sang Bapak jera lalu berpikir dua kali atas keputusannya untuk menjual lahan dan berdiskusi kembali dengan sang anak. Mungkin. 

Perlunya Mediasi dan Peranan Konselor ataupun Psikolog Keluarga

Dalam kasus pelaporan orangtua, Kapolri yang baru, Listyo Sigit menegaskan untuk tidak akan memproses gugatan anak yang melaporkan orangtuanya. Demi hukum yang berkeadilan dan juga humanis. 

Tentu ini langkah yang bagus, namun jika permasalahan anak dan orangtua masih terus saja ada dan masih ada pelaporan ke pihak kepolisan, terutama sebagai contoh, anak melaporkan tindakan orangtua yang melakukan kekerasan verbal ataupun pengasuhan orangtua yang bermasalah (toxic parents), perlu solusi lain daripada tidak melanjutkan pelaporan kasus yang berkaitan dengan masalah anak dan orangtua. 

Mungkin pihak kepolisan bisa bekerja sama dengan KPAI ataupun lembaga terkait untuk melakukan mediasi anak-orangtua dengan menghadirkan psikolog keluarga ataupun konselor. 

Hal ini sebagai salah satu jalan untuk meredakan konflik antara anak-orangtua, untuk memberikan psikoedukasi seperti komunikasi yang sehat, dan menemukan inti masalah serta titik temu dalam menyelesaikan masalah keluarga yang dialami pihak terkait. 

Ya, hanya saran saja. 

*** 

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membela tindakan anak yang melaporkan orangtuanya. Sama sekali tidak. 

Saya hanya menawarkan perspektif lain, sehingga mungkin saja kita sebagai netizen bisa menghindari penilaian yang terlalu menghakimi. 

Karena kita tidak tahu pengalaman hidup sang anak bersama orangtuanya. Mungkin biasa saja, mungkin menyakitkan, bahkan bisa saja memberi pengalaman yang tidak mengenakkan dan berdampak buruk terhadap psikis sang anak. 

Yang kita lihat di berita mungkin hanya sebagian kecil dari hidup sang anak dan orangtua yang kemudian tersorot oleh media. Bukanlah keseluruhannya hidupnya. Itu hanyalah salah satu produk, salah satu episode yang lahir dari pengalaman psikologis hidup sang anak bersama orangtua. 

Daripada menghakimi sang anak yang melaporkan orangtua sebagai individu kurang ajar dan biadab, lebih baik berdoa semoga masalah mereka cepat terselesaikan. 

Toh kita tidak tahu pengalaman hidupnya bersama orangtuanya. Mungkin saja lebih berat daripada yang kita alami kan? 

Contoh, ada anak yang membenci orangtuanya karena mereka sering bertengkar, melampiaskan amarah kepada sang anak, membentak-bentaknya, memaki dan merendahkan dirinya. Dan itu terjadi sejak usia sekolah dasar sampai beranjak dewasa. Sang anak trauma dengan orangtuanya. Ia pun lelah dan coba untuk melaporkan masalah ini ke polisi, untuk mendapatkan rasa keadilan atas rasa sakit hatinya selama ini. 

Lalu ketika melaporkan ia malah dapat nasihat dari orang asing, yang tidak paham sama sekali dengan masalah hidupnya

"Turutilah orangtua mu karena kamu akan mendapatkan surga-Nya kelak, tanpa mereka, kamu tidak akan pernah ada. Cobalah bersyukur, kalau kamu coba melapor begini kamu kurang ajar sama orangtuamu. Hidupmu ke depan bakal gak tentram. Kamu gak punya rasa terimakasih sama orangtua mu?"

Bayangkan saja, padahal setiap harinya sang anak merasakan sakit hati ketika hidup bersama orangtuanya. 

Sebagai seorang anak yang mengalami kekerasan, ia kehilangan perhatian serta kasih sayang dan merasa dikhianati oleh orang-orang yang dipercayanya yakni orangtuanya. Namun lingkungan dan budaya malah menuntutnya untuk tetap setia kepada orangtua yang telah menyakiti dirinya.

Cobalah untuk memahami meski sulit daripada mudah menghakimi. 

Rujukan : 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun