Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengomentari Fisik Tak Selalu Berarti "Body Shaming"

6 Maret 2020   12:28 Diperbarui: 7 Maret 2020   22:44 3122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Freepik

Terlepas dari Tara Basro terkait postingan Instagramnya yang mengkampanyekan self love dan menerima diri sendiri. Saya merasa sejak dari dulu permasalahan terkait body shaming ini agak membingungkan.

Kenapa? Karena isu ini sebenarnya yang di-highlight adalah pelaku yang "mungkin" saja hanya basa-basi ataupun mengatakan sebuah fakta (asumsi saja) terhadap bentuk fisik atau tubuh si korban. Dan lagi-lagi dalam sebuah kasus, pelaku selalu terlihat blak-blakan, tidak menjaga perasaan orang lain dan lain sebagainya.

Padahal bisa saja, mereka (si pelaku) memiliki cara interaksi yang berbeda dan tidak memiliki niat untuk menyudutkan ataupun menyakiti hati si korban. Boleh saja kan, saya mempunyai pendapat berbeda terkait isu body shaming ini. Berikut saya ingin coba menjelaskan mengapa saya memiliki pendapat yang berbeda.

Semua Perilaku Agresi Berawal dari Niat
Ketika perilaku body shaming kita masukkan dalam kategori perundungan (bullying) ataupun dalam kategori agresi verbal, maka kita juga harus mempertimbangkan latar belakang dari tindakan tersebut.

Apa saja yang membuat seseorang melakukan hal tersebut dan apa tujuannya. Apakah dia memang bertujuan untuk menyakiti Si Subjek? Atau memang itu sudah menjadi kebiasaan dia berinteraksi sehari-hari dalam bersosialisasi.

Elizabeth Dorrance Hall, menulis artikel tentang "Communicative Aggresion". Di situ ia menjelaskan bahwa individu yang mempunyai jenis perilaku agresi ini mempunyai niatan dan tujuan untuk menyakiti citra diri dari orang lain.

Apalagi para psikolog sosial mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku yang dilandaskan oleh niatan untuk menyakiti orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku agresi itu akan sangat tergantung dari persepsi serta tujuan dan niat dari seorang individu.

Artinya mungkin saja perilaku body shaming itu memang harus mengandung unsur niat dari individu tersebut untuk menyakiti.

Selain itu permasalahan body shaming yang berkaitan dengan interaksi ini mungkin memang masuk pada ranah psiko-sosial dan budaya. Komunikasi dan interaksi masyarakat sehari-hari sebagian orang di Indonesia yang terbiasa menggunakan hal terdekat di sekitar sebagai bahan bercandaan, itu terlihat sudah wajar dan seringkali terjadi lho di lingkungan kita.

Apalagi jika melihat acara komedi, sering sekali mereka memakai guyonan fisik kan? Dan ironinya kita tertawa terbahak-bahak menontonnya. Lalu orang-orang yang menggunakan bentuk fisik orang sebagai bahan candaan lingkungan kita, bisa saja mereka hanya spontan dan itu menjadi kebiasaan dalam cara berinteraksi mereka. Meski saya pun tahu, itu belum sepenuhnya baik.

Body Shaming Terjadi Salah Satunya karena Korban Jenuh dan Sakit Hati
Orang tampan dan cantik, tubuh tinggi dan menarik yang sering ditampilkan melalui media, ternyata memberikan dampak negatif. Salah satunya masyarakat akhirnya mempunyai "standar" body image yang sumbernya berasal dari persona media. "Standar" tersebut malah mereka gunakan sebagai bahan body shaming di sosial media secara tidak sadar.

Mungkin pada awalnya korban tidak menggubris komentar-komentar seperti ini. Tapi ketika hal ini terus menerus terjadi. Maka korban akan merasa jenuh dan sakit hati. Korban akan memiliki pandangan yang buruk terhadap bentuk tubuhnya, percaya diri mereka akan menurun dan yang lebih parah adalah mempunyai pemikiran untuk bunuh diri.

Contohnya pada tahun 2019 ada sebuah survei di Inggris yang menjelaskan, satu dari delapan orang dewasa mengalami stress berat dan mereka mempunyai pikiran untuk melakukan bunuh diri karena mulai memandang buruk body image mereka. Sebelumnya pada tahun 2014, penyanyi pop USA Kesha melakukan percobaan bunuh diri dan hampir meninggal, karena sang produser memanggil dia "fat refrigrator". Berbahaya bukan?

Padahal menurut saya "standar" dari cantik, tampan atau penampilan menarik adalah hal yang subjektif. Tetapi hal ini malah dijadikan bahan untuk melakukan body shaming. Memang jika dilihat bahwa beberapa orang Indonesia menganggap hal tersebut mungkin hanya basa-basi dan sebuah candaan. Lalu bagaimana jika korban belum mempunyai pemaknaan dan penerimaan yang baik tentang citra tubuhnya?

Ketika Body Shaming Bisa Saja Hanya Sebuah "Pemaknaan"

A: Halo bro, lama gak ketemu, eh kamu kok Gendutan sih?

Aku: Iya emang lagi gemuk bro gimana lagi.

B: Enggak kok kamu gak gemuk (kata Si B kepadaku)

B: (Bisik-bisik ke A) Gimana sih kamu lagi body shaming in dia lho. Gak sopan

Padahal sebenarnya saya santai saja-saja dengan ungkapan "gemuk" dan "kurus". Lha wong badan saya emang begini. Kurus ya gapapa, gemuk ya gapapa.

Gara-gara isu body shaming ini saya teringat dengan ucapan salah satu dosen psikologi saya. Bahwa dalam psikologi pemaknaan terkait suatu pengalaman adalah hal yang terus menarik untuk digali, karena pemaknaan setiap individu ataupun kelompok terhadap suatu permasalahan itu beda-beda. Ada yang memaknai negatif, ada yang biasa saja dan ada yang positif.

Misal pengalaman pertama kali ketika dalam kerumunan atau keramaian di konser. Mungkin jika ekstrovert mereka akan memaknainya dengan enjoy dan bahagia, kalau introvert mungkin akan berusaha sesegera mungkin keluar dari kerumunan itu dan mencari tempat sepi, karena ia merasa pusing dan gerah.

Sama seperti ketika bentuk fisik kita dikomentari oleh orang-orang. Kalau dibilang gemuk terus merasa sebel dan marah-marah. Berarti ia memaknai kata "gemuk" tersebut kepadanya sebagai hal yang negatif. Tapi kalau dibilang gemuk terus santai aja, ia menanggapinya biasa. Kalau dibilang gemuk terus malah enak diajak guyon seperti "Emang badan gue kayak bus, kenapa lo!" sambil ngakak. Berarti ia memaknai kata "gemuk" sebagai hal yang bisa dibuat bercandaan.

Tapi gak semua orang kan kayak gitu, saya paham sekali kok. Menurutku daripada kamu berharap sama orang lain untuk menjaga perkataannya agar perasaanmu nyaman. Kamu yang lebih baik menjaga perasaanmu dan jangan berekspetasi dengan perkataan orang lain.

Karena sulit lho mengontrol orang berbicara dan berkomentar agar sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Orang itu punya pikiran yang berbeda, lingkungan yang berbeda, pengetahuan yang berbeda dan pengalaman yang berbeda. Lebih enak yang jaga perasaan itu kamu sendiri, dan jangan jadikan perasaanmu itu tanggung jawab banyak orang. Susah juga kalau gitu sis bro!

Jaga Tubuh dan Kesehatanmu, Jangan Hanya Asal Menerima Diri Sendiri

"Ayo olahraga di car free day Bang, mumpung besok kuliah free."

"Enggak, aku udah menerima diriku yang gemuk ini kok."

"Ya gak gitu juga bambang!"

Menerima diri sendiri dengan tubuhmu yang "menurutmu" sudah aman dari ancaman penyakit, gak bisa jadi alasan buat kamu hanya rebahan di kamar dan main game online. Kesehatanmu itu yang di jaga. Ya, saya tahu sih itu tubuhmu sendiri. orang-orang gak boleh komentar, nanti kamu komen "kenapa kalian body shaming?". Padahal kagak maksud gitu.

Self love ya berarti kamu juga jaga kesehatan dan badanmu. Makan di jaga, olahraga teratur. Bukan malah komentar orang lain yang diatur. Maunya kamu mencintai diri dan teratur. Malah orang lain dibungkam jangan sok ngatur. Itu lah maksud saya, ketika isu "body shaming" ini malah dijadikan bahan buat "korban" untuk menerima dirinya sendiri dengan asal-asalan dan santai tanpa mau repot-repot hidup sehat dan olahraga teratur. Ribet juga isu serius dijadiin mainan sama si "korban".

**

Akhir kata saya hanya ingin menjelaskan bahwa isu body shaming itu menurut saya terjadi karena pemaknaan yang kurang baik dan individu yang belum menerima dirinya sepenuhnya. Terlepas dari pelaku yang memiliki niatan atau hanya sekedar basa-basi dan candaan.

Lalu ketika isu sudah populer "si korban" yang merasa sudah menerima diri apa adanya malah membungkam orang yang mengatakan fakta tentang "fisiknya" dan mengajaknya untuk hidup sehat dan teratur dengan mengatakan "Ah, dasar lu body shaming".

Jadi isu ini kayak muter saja. Banyak orang yang susah dikontrol omongannya dan memang susahnya menjaga perasaan orang lain, dan dari sisi lain orang yang merasa "menjadi korban" ada yang belum bisa menerima diri sendiri dan meski ada yang sudah menerima diri sendiri, ketika ada orang berkomentar tentang fisik, orang yang merasa "menjadi korban" akan mengecap orang tersebut dengan pelaku body shaming".

Jadi menurut saya lebih baik kamu menerima diri kamu sepenuhnya dan cintai diri kamu seutuhnya. Lalu kamu juga harus menerima kenyataan bahwa orang yang berkomentar dan menggubris itu memang susah dikendalikan. Selain itu cari kelebihan dari kemampuan yang kamu miliki dan cari hal positif yang ada pada dirimu. Sehingga kamu punya hal yang bisa kamu banggakan ke orang lain.

Kritik dan saran terbuka untuk tulisan ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun