Ia begitu nyaman hingga tak menyadari tanah yang ia pijak cukup datar dan ditumbuhi rumput tanah yang empuk. Ia tarik lagi sebujur anak panah pada busurnya. Satu matanya ia tutup dan yang satunya lagi tampak begitu fokus membidik mangga incarannya. "Slaaatttttt!"
Mangga itu terjatuh tepat beberapa langkah di depannya. Anak panahnya menembus ranting dan dedaunan pohon mangga, entah sekarang berlabuh di mana. Lesatannya begitu cepat karena ditembakkan dari posisi yang memungkinkan untuk berdiri dengan seimbang dan kuat. Sasarannya tak ayal terkena tepat di bagian yang diincarnya karena tembakannya diarahkan dari jarak yang lebih dekat dan sudut yang juga tepat.
Dengan wajah girang pemuda itu mengambil mangga yang sudah tergeletak di depannya, lalu ia merayakan keberhasilannya di depan sang kakek.
"Kakeeekkk, aku berhasiiilll!"
Sang kakek pun tertawa menyaksikan lucu tingkah pemuda itu.
"Hahaha! Kemari, mendekatlah, Nak."
Pemuda itu mulai menenangkan diri. Dengan wajah yang masih menyisakan senyuman, ia kini berdiri berdampingan dengan sang kakek.
"Aku hebat, 'kan, Kek?"
"Ya, ya, ya, kamu memang hebat, anak muda. Tapi, ingat, selain terlalu cepat puas, terlalu berbangga diri itu juga sifat yang tak semestinya kita miliki. Karena, itu lah awal lahirnya jiwa-jiwa yang sombong, yang merasa paling segala-galanya, dan akan membuat kita lupa dengan tempat kita berpijak. Jadi, sebaiknya kita tak usah terlalu berbangga diri dengan apa yang kita miliki."
"Kakek luar biasa. Aku sungguh terkesan dengan petuah-petuah Kakek."
"Kakek kan sudah uzur, mungkin tak lama lagi Kakek akan pensiun menjadi penghuni bumi. Jadi, untuk apa ilmu disimpan sendiri. Bukankah jika dibagikan justru akan lebih banyak orang yang kelak sama-sama hidup dalam kebaikan?"