"Kau setuju?" dia bertanya, tiba-tiba berbalik padaku.
"Mungkin seniman ini hanya ingin melarikan diri," jawabku asal, mencoba menyesuaikan energi Helena yang hampir menguasai ruangan itu.
Dia tertawa, keras, tanpa peduli pada orang lain. "Akhirnya, seseorang yang jujur!"
Kami menghabiskan malam itu berbicara, minum bir di sebuah bar kecil di Kreuzberg. Helena penuh dengan cerita---tentang masa mudanya di Hamburg, tentang kegilaannya pada Nietzsche, dan tentang mimpi-mimpinya yang selalu terlalu besar untuk kota kecil mana pun.
"Berlin adalah rumah bagi orang-orang yang tersesat," katanya sambil menyalakan rokok, asapnya membentuk spiral di udara.
Hari-hari bersamanya terasa seperti ledakan tanpa henti. Kami menari di klub-klub hingga pagi, bercinta di bawah lampu jalanan yang berkedip-kedip, dan melompat ke kereta menuju kota-kota kecil tanpa rencana. Tapi, seperti badai, Helena juga membawa kehancuran.
Suatu malam, setelah pertengkaran sengit tentang hal-hal sepele---aku lupa apa, mungkin tentang lukisan atau buku---dia memelukku erat dan menangis. Tangisannya seperti luka yang tak bisa kusentuh.
"Kau akan meninggalkanku juga, bukan?" suaranya pecah di antara isak.
Aku tahu aku tak bisa menjawabnya. Helena adalah api yang terlalu besar untukku.
Ketika aku meninggalkan Berlin, aku membawa bekas luka yang panas. Jika Aiko adalah ketenangan yang membekukan, Helena adalah api yang menghanguskan. Dua cinta ini mulai membentuk lingkaran di dalam diriku, saling mengisi ruang yang kosong.
Kairo, Mesir: Cinta yang Membekas