Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Roman

Dalam Tiga Langit yang Berbeda

14 Januari 2025   14:07 Diperbarui: 14 Januari 2025   14:07 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau seperti gunung itu," katanya suatu hari, menatapku lama. "Tinggi, tapi sulit untuk dijangkau."

Aku hanya tertawa. Tapi malam terakhir kami, saat daun-daun terakhir gugur dari pohon-pohon maple, kata-kata Aiko menusuk lebih dalam.

"Kau akan pergi ke Jerman?" tanyanya sambil memandang sungai yang mengalir.

"Ya," kataku, menahan getaran dalam suaraku.

Dia tersenyum kecil, namun ada luka yang samar di sana. "Orang-orang seperti kau tak pernah tinggal di satu tempat terlalu lama."

Aiko mengajarkanku tentang keheningan. Tentang bagaimana cinta tidak perlu selalu dirayakan dengan kata-kata. Ketika pesawatku meninggalkan tanah Kyoto, aku melihat kota itu memudar di balik kabut. Aiko dan Kyoto menjadi satu---sebuah tempat yang selalu aku rindukan, tetapi tak pernah benar-benar kumiliki.

Berlin, Jerman: Cinta yang Meledak

Berlin adalah kebalikan sempurna dari Kyoto. Udara dingin di sana tidak membawa ketenangan, melainkan kekacauan---suara langkah kaki yang tergesa-gesa di trotoar, deru kereta bawah tanah, dan hiruk-pikuk bahasa asing yang saling berbenturan. Di kota inilah aku bertemu Helena, badai dalam wujud manusia.

Kami bertemu di sebuah galeri seni di distrik Mitte. Aku sedang berdiri memandang lukisan abstrak dengan garis-garis merah darah yang kacau, ketika suara kerasnya menggema di ruangan itu.

"Ini bukan seni, ini omong kosong!" teriaknya, membuat para tamu lain menoleh.

Aku terperangah oleh keberaniannya, oleh rambut pirangnya yang seperti api, dan oleh caranya menyentuh lukisan itu, seperti ingin menyerap energinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun