Cinta, bagiku, bukanlah sekadar sebuah perasaan. Ia adalah perjalanan---sebuah lintasan panjang melintasi waktu, ruang, dan jiwa. Ia seperti angin yang bergerak tanpa arah pasti, menyentuh hatimu di satu tempat, hanya untuk membawanya ke tempat lain. Dan di setiap tempat itu, aku menemukan cinta dalam wujud yang berbeda, dengan warna yang tak pernah sama, tetapi selalu meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.
Perjalanan ini adalah perjalanan mencari diriku sendiri, tetapi ternyata setiap cinta yang kutemui menjadi cermin yang memantulkan siapa aku sebenarnya. Kyoto adalah awalnya, di mana aku bertemu Aiko---seorang perempuan yang seperti permukaan sungai Kamogawa: tenang, jernih, tetapi menyimpan arus yang tak terlihat. Helena adalah badai Berlin, nyala api yang memakan segalanya, termasuk diriku sendiri. Dan di Kairo, aku bertemu Layla, gurun yang luas dan tak bertepi, yang mengajarkanku bahwa keindahan tidak perlu dimiliki, hanya cukup dirasakan.
Tiga perempuan, tiga cinta, tiga langit yang berbeda. Masing-masing adalah pecahan waktu yang membentuk mosaik hidupku. Aiko memberiku ketenangan, Helena membakarku dengan gairah, dan Layla menyadarkanku bahwa ada kekuatan dalam keikhlasan.
Namun cinta tidak pernah tunggal. Ia mengalir seperti sungai, menyala seperti api, dan melayang seperti pasir gurun yang diterbangkan angin. Ia tidak bisa kau genggam, tetapi ia akan selalu menjadi bagian darimu. Dan ketika aku berdiri di bawah langit terakhir, aku menyadari: aku tidak pernah benar-benar mencari cinta. Cinta itu sendiri yang menemukanku, di setiap tempat di mana aku berdiri.
Inilah kisahku---perjalanan melintasi tiga negeri, tiga perempuan, dan tiga hati. Sebuah perjalanan yang bukan sekadar mencari cinta, tetapi menemukan diriku sendiri di dalamnya.
Kyoto, Jepang: Cinta yang Diam
Musim gugur di Kyoto membuat segalanya terasa seperti puisi yang ditulis dengan daun-daun merah momiji. Angin di sepanjang Kamogawa berembus lembut, membawa aroma kayu basah dan bunga-bunga krisan yang layu. Aku berdiri di sana, mendengarkan suara gemericik air sungai, ketika seorang perempuan dengan kimono berwarna lembayung melintas di depanku. Jalannya lambat, seperti ritme Kyoto sendiri, memaksaku menoleh dua kali.
Aku bertemu Aiko di sebuah kedai teh kecil di distrik Higashiyama. Saat itu, aku sedang mencari kehangatan di tengah dinginnya angin Oktober. Dia datang untuk menyajikan teh, dengan gerakan yang begitu terukur, seperti tarian yang tak ingin terburu-buru.
"Matcha yang sempurna adalah tentang keharmonisan," katanya, suaranya pelan tapi penuh keyakinan. "Manis dan pahit, panas dan sejuk."
Aku tak menjawab. Aku hanya terpaku pada cara dia mengangkat cangkir kecil itu, matanya yang hitam seperti malam tanpa bulan memandang ke dalam cairan hijau pekat.
Kami mulai bertemu di tepi sungai Kamogawa setelah hari itu. Dia selalu membawa kotak makan kayu kecil, berisi onigiri buatan sendiri yang dia tawarkan padaku tanpa kata. Aku bertanya tentang keluarganya, dan dia menjawab dengan cerita pendek tentang ibunya yang membuat kimono atau ayahnya yang sering mendaki gunung Arashiyama.
"Kau seperti gunung itu," katanya suatu hari, menatapku lama. "Tinggi, tapi sulit untuk dijangkau."
Aku hanya tertawa. Tapi malam terakhir kami, saat daun-daun terakhir gugur dari pohon-pohon maple, kata-kata Aiko menusuk lebih dalam.
"Kau akan pergi ke Jerman?" tanyanya sambil memandang sungai yang mengalir.
"Ya," kataku, menahan getaran dalam suaraku.
Dia tersenyum kecil, namun ada luka yang samar di sana. "Orang-orang seperti kau tak pernah tinggal di satu tempat terlalu lama."
Aiko mengajarkanku tentang keheningan. Tentang bagaimana cinta tidak perlu selalu dirayakan dengan kata-kata. Ketika pesawatku meninggalkan tanah Kyoto, aku melihat kota itu memudar di balik kabut. Aiko dan Kyoto menjadi satu---sebuah tempat yang selalu aku rindukan, tetapi tak pernah benar-benar kumiliki.
Berlin, Jerman: Cinta yang Meledak
Berlin adalah kebalikan sempurna dari Kyoto. Udara dingin di sana tidak membawa ketenangan, melainkan kekacauan---suara langkah kaki yang tergesa-gesa di trotoar, deru kereta bawah tanah, dan hiruk-pikuk bahasa asing yang saling berbenturan. Di kota inilah aku bertemu Helena, badai dalam wujud manusia.
Kami bertemu di sebuah galeri seni di distrik Mitte. Aku sedang berdiri memandang lukisan abstrak dengan garis-garis merah darah yang kacau, ketika suara kerasnya menggema di ruangan itu.
"Ini bukan seni, ini omong kosong!" teriaknya, membuat para tamu lain menoleh.
Aku terperangah oleh keberaniannya, oleh rambut pirangnya yang seperti api, dan oleh caranya menyentuh lukisan itu, seperti ingin menyerap energinya.
"Kau setuju?" dia bertanya, tiba-tiba berbalik padaku.
"Mungkin seniman ini hanya ingin melarikan diri," jawabku asal, mencoba menyesuaikan energi Helena yang hampir menguasai ruangan itu.
Dia tertawa, keras, tanpa peduli pada orang lain. "Akhirnya, seseorang yang jujur!"
Kami menghabiskan malam itu berbicara, minum bir di sebuah bar kecil di Kreuzberg. Helena penuh dengan cerita---tentang masa mudanya di Hamburg, tentang kegilaannya pada Nietzsche, dan tentang mimpi-mimpinya yang selalu terlalu besar untuk kota kecil mana pun.
"Berlin adalah rumah bagi orang-orang yang tersesat," katanya sambil menyalakan rokok, asapnya membentuk spiral di udara.
Hari-hari bersamanya terasa seperti ledakan tanpa henti. Kami menari di klub-klub hingga pagi, bercinta di bawah lampu jalanan yang berkedip-kedip, dan melompat ke kereta menuju kota-kota kecil tanpa rencana. Tapi, seperti badai, Helena juga membawa kehancuran.
Suatu malam, setelah pertengkaran sengit tentang hal-hal sepele---aku lupa apa, mungkin tentang lukisan atau buku---dia memelukku erat dan menangis. Tangisannya seperti luka yang tak bisa kusentuh.
"Kau akan meninggalkanku juga, bukan?" suaranya pecah di antara isak.
Aku tahu aku tak bisa menjawabnya. Helena adalah api yang terlalu besar untukku.
Ketika aku meninggalkan Berlin, aku membawa bekas luka yang panas. Jika Aiko adalah ketenangan yang membekukan, Helena adalah api yang menghanguskan. Dua cinta ini mulai membentuk lingkaran di dalam diriku, saling mengisi ruang yang kosong.
Kairo, Mesir: Cinta yang Membekas
Pasir Kairo adalah sesuatu yang lain. Bukan hanya debu yang menempel di kulit, tetapi juga waktu yang terasa melayang di udara. Kota ini seperti museum terbuka, di mana reruntuhan kuno bersandar pada gedung-gedung modern, dan sejarah terasa seperti denyut nadi di setiap sudut jalan. Di sini aku bertemu Layla.
Aku menemukannya di Khan el-Khalili, bazar tua di tengah kota. Dia sedang menawar sebuah gelang perak pada pedagang, suaranya tegas tapi tidak kasar, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.
"Kau yakin itu layak seharga lima puluh pound?" tanyanya pada pedagang itu.
Pedagang itu mengangkat bahu, dan sebelum dia menjawab, aku menyela. "Mungkin itu layak untuk seseorang yang tahu nilainya."
Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya, aku melihat senyumnya. Senyum yang sederhana, tetapi membawa kehangatan seperti matahari pagi.
Layla adalah kebijaksanaan yang dibungkus dengan misteri. Bersamanya, aku menjelajahi sisi lain Kairo: naik perahu felucca melintasi Nil, menjelajahi lorong-lorong sempit di kota tua, dan mendengarkan cerita-cerita rakyat tentang dewa-dewa Mesir kuno.
"Setiap tempat punya jiwanya sendiri," katanya suatu malam, ketika kami duduk di tepi piramida, memandangi bintang-bintang. "Tapi jiwa itu tidak pernah bisa dimiliki."
Aku mengagumi caranya memandang dunia, seolah dia bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Aku ingin bertanya, apakah dia percaya pada cinta, tetapi aku tahu jawabannya sudah ada di matanya.
"Apa yang kau cari di sini, Richard?" tanyanya sambil menatapku.
Aku tak bisa menjawab. Karena aku sendiri tidak tahu.
---
Di bandara, menatap papan keberangkatan, aku mengingat kembali ketiga perempuan itu. Aiko adalah keheningan yang melindungi hatiku, Helena adalah badai yang menyala di dalam jiwaku, dan Layla adalah cermin dari semua pencarianku yang tak berujung.
Mereka tidak berdiri sendiri. Mereka adalah satu rangkaian perjalanan.
Aku pergi ke Jepang untuk belajar menikmati keindahan yang tak perlu dimiliki. Aku pergi ke Jerman untuk memahami bahwa cinta bisa membakar habis dan membangun ulang dirimu. Dan aku pergi ke Mesir untuk menemukan bahwa perjalanan itu sendiri adalah tujuan.
Mereka semua ada di dalam diriku sekarang, bersatu dalam cara yang tak bisa kugambarkan. Cinta bukanlah tentang siapa yang kau miliki. Cinta adalah tentang bagaimana mereka membentukmu menjadi dirimu yangbaru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H