(Lanjutan)....
Laras merasakan firasat buruk saat membuka kotak surat di depan rumahnya. Sebuah amplop putih polos tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan "Untuk Laras" dengan tinta biru yang terkesan terburu-buru. Rasa penasaran bercampur keraguan menyelimuti hatinya.
Perlahan, dia membuka amplop tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah surat dan foto. Surat itu ditulis dengan tangan yang gemetar, penuh dengan kata-kata yang menyakitkan dan pengakuan yang tak terduga.
Laras terpaku setelah membaca surat tersebut. Air mata membasahi surat di tangannya. Kata-kata Riana bagaikan pisau yang menusuk hatinya, merobek kepercayaan dan persahabatan yang selama ini mereka jaga.
Surat itu bukan hanya tentang pengakuan cinta terlarang Riana dan Bima. Surat itu juga menceritakan ironi yang menyiksa.
Riana, sahabat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan, ternyata telah melahirkan seorang anak tanpa ikatan pernikahan dengan Bima.
Laras, yang pernikahannya dengan Bima diwarnai keraguan dan rasa hampa, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya telah memiliki anak dengan sahabatnya.
Air mata mengalir tanpa henti di pipinya, membasahi surat dan bajunya. Rasa sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk menjadi satu, menciptakan badai emosi yang mengamuk di dalam hatinya.
"Bagaimana bisa?" bisiknya lirih, tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja terungkap.
Bayangan kebahagiaan pernikahannya dengan Bima runtuh seketika. Kenangan indah bersama sahabatnya ternodai oleh pengkhianatan yang tak terduga.
Laras melemparkan surat Riana ke lantai. Kemarahan bercampur dengan rasa sakit memenuhi hatinya. Dia tak menyangka sahabatnya tega menyimpan rahasia sebesar ini. Bagaimana bisa Riana berselingkuh dengan Bima, suaminya sendiri? Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka memiliki anak?