Senja mewarnai langit dengan sapuan jingga yang memukau. Di sebuah kafe kecil dengan jendela yang menghadap langsung ke panorama indah itu, duduklah seorang wanita bernama Laras.Â
Matanya yang teduh menerawang jauh, menikmati setiap gradasi warna yang terlukis di langit. Di tangannya, secangkir teh chamomile hangat menemani keheningan sore ini.
Pikiran Laras melayang jauh, teringat akan masa lalunya. Lima tahun lalu, di kafe yang sama, dia bertemu dengan cinta pertamanya, Bima. Senja kala itu sama indahnya dengan yang dia lihat sekarang. Tawa mereka beradu, cerita mengalir tanpa henti, dan rasa cinta bersemi di hati mereka.
Namun, takdir berkata lain. Bima harus pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Jarak dan waktu perlahan mengikis rasa cinta mereka. Komunikasi yang semakin jarang dan kesibukan masing-masing membuat mereka akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Laras masih ingat rasa sakitnya saat itu. Hatinya hancur berkeping-keping, seakan langit senja yang indah berubah menjadi kelam. Namun, seiring berjalannya waktu, dia belajar untuk mengikhlaskan dan menyembuhkan lukanya.
Kini, Laras telah menjadi wanita yang lebih tegar dan mandiri. Dia fokus pada karirnya sebagai seorang desainer grafis dan membangun kehidupan yang baru. Di usianya yang ke-28 tahun, dia telah mencapai kesuksesan di bidang pekerjaannya. Ia memiliki studio desainnya sendiri dan telah banyak bekerja sama dengan perusahaan ternama.
Meskipun hatinya telah tersakiti di masa lalu, Laras masih percaya pada cinta. Dia masih membuka hatinya untuk kemungkinan menemukan cinta sejati.
Di tengah lamunannya, Laras dikejutkan oleh suara bel kafe yang berbunyi. Seorang pria tinggi dengan senyum yang familiar masuk ke dalam kafe. Jantung Laras berdegup kencang. Ya, pria itu adalah Bima.
Bima kini terlihat lebih dewasa dengan rambutnya yang sedikit beruban. Di balik kacamatanya, matanya yang dulu penuh tawa kini memancarkan ketenangan dan keteduhan.
Keduanya saling berpandangan, terpaku dalam momen reuni yang tak terduga. Senyum Bima masih sama seperti yang Laras ingat, hangat dan menenangkan.
"Laras?" Bima bertanya dengan ragu.
Laras mengangguk, tak mampu berkata-kata. Perasaan rindu dan bahagia bercampur aduk dalam hatinya.
"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Bima.
"Aku juga," jawab Laras.
Bima mengulurkan tangannya, dan Laras menyambutnya dengan erat. Sentuhan itu seakan membawa mereka kembali ke masa lalu, saat mereka masih bersama dan penuh cinta.
**
Keduanya duduk berhadapan, canggung namun penuh rasa ingin tahu. Bima menceritakan tentang kehidupannya di luar negeri, tentang pekerjaannya sebagai seorang insinyur di Silicon Valley, dan tentang rasa rindunya pada Indonesia. Laras berbagi tentang karirnya sebagai desainer grafis, tentang kesuksesan dan perjuangannya, dan tentang kehidupannya di Jakarta.
Percakapan mereka mengalir dengan natural, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka. Tawa dan canda kembali menghiasi momen kebersamaan mereka, seperti di masa lalu.
Saat senja semakin meredup, Bima mengantar Laras pulang. Di bawah langit yang penuh bintang, mereka berdua saling menatap, merasakan kembali koneksi yang tak pernah hilang.
"Aku senang bertemu denganmu, Laras," kata Bima.
"Aku juga, Bima," jawab Laras.
Walaupun tak ada kepastian tentang masa depan, momen reuni itu memberikan mereka kedamaian dan harapan. Senandung rindu di langit senja menjadi saksi bisu pertemuan dua insan yang pernah terluka, namun tetap terikat oleh rasa cinta yang tak lekang oleh waktu.
**
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Laras. Kehadiran Bima kembali mengusik hatinya. Perasaan cinta yang dulu terkubur kini bangkit kembali, lebih kuat dan lebih dewasa.
Namun, Laras dihantui oleh keraguan. Luka masa lalu masih membekas di hatinya. Dia takut untuk kembali terluka, takut untuk kembali merasakan sakitnya ditinggalkan.
Di sisi lain, Bima pun merasakan hal yang sama. Dia masih mencintai Laras, dan dia ingin kembali bersamanya. Namun, dia juga dihantui oleh rasa bersalah karena telah meninggalkan Laras di masa lalu.
**
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Bima memberanikan diri untuk mengajak Laras makan malam. Di bawah sinar bulan purnama, mereka berdua berbincang tentang masa lalu, tentang luka yang mereka rasakan, dan tentang harapan mereka untuk masa depan.
Bima dengan suara gemetar meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu. Dia menjelaskan bahwa dia terpaksa pergi ke luar negeri karena tuntutan pekerjaan, dan dia tidak bermaksud untuk meninggalkan Laras. Dia menceritakan tentang perjuangannya di negeri orang, tentang rasa rindu yang selalu menghantuinya, dan tentang penyesalannya atas apa yang telah dia lakukan.
Laras mendengarkan dengan penuh perhatian. Air mata mengalir di pipinya saat dia mengenang kembali masa-masa sulit yang dia lalui setelah ditinggalkan Bima. Dia masih merasakan sakit hati, tetapi dia juga melihat ketulusan di mata Bima. Dia mulai menyadari bahwa dia masih mencintai Bima, dan dia ingin memberinya kesempatan kedua.
Namun, keraguan masih menghantui Laras. Dia takut untuk kembali terluka, takut untuk kembali merasakan sakitnya ditinggalkan. Dia membutuhkan waktu untuk merenungkan perasaannya dan untuk memastikan bahwa dia siap untuk mengambil risiko lagi.
**
Beberapa hari berikutnya, Laras dan Bima sering berkomunikasi. Mereka saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka saat ini, tentang mimpi dan harapan mereka untuk masa depan. Perlahan, rasa saling percaya dan pengertian mulai tumbuh di antara mereka.
Suatu hari, Bima mengajak Laras untuk mengunjungi tempat-tempat favorit mereka di masa lalu. Di taman kecil tempat mereka pertama kali bertemu, Bima memberikan Laras sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati. Liontin itu melambangkan cinta mereka yang tak pernah mati, meskipun sempat terluka dan terpisahkan oleh waktu.
Laras menerima kalung itu dengan mata berkaca-kaca. Di taman itu, mereka berdua berjanji untuk saling terbuka dan berkomunikasi dengan lebih baik. Mereka berjanji untuk tidak saling meninggalkan lagi, apapun yang terjadi.
**
Seiring berjalannya waktu, Laras dan Bima semakin yakin bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama. Cinta mereka yang kedua kali ini terasa lebih kuat dan lebih dewasa. Mereka belajar untuk saling memaafkan dan melupakan luka masa lalu.
Bima memutuskan untuk pindah kembali ke Indonesia dan bekerja di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta. Dia ingin dekat dengan Laras dan membangun kehidupan baru bersama.
**
Dua tahun setelah reuni mereka, Bima melamar Laras untuk menikah. Di bawah langit senja yang indah, di tempat yang sama di mana mereka pertama kali bertemu, Bima melontarkan pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu Laras.
Dengan penuh kebahagiaan, Laras menerima lamarannya. Air mata haru mengalir di pipinya saat dia membayangkan masa depan yang indah bersama Bima.
Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun penuh makna. Diiringi senandung rindu yang kini berubah menjadi bahagia, mereka berdua memulai babak baru dalam hidup mereka.Â
**
Senandung Rindu Berubah Menjadi Kegundahan
Beberapa tahun setelah pernikahan mereka, Laras dan Bima dikaruniai dua orang anak yang cantik dan menggemaskan. Kehidupan mereka tampak sempurna di mata orang lain.Â
Bima yang dulunya romantis dan penuh perhatian, kini terlihat dingin dan semakin pendiam. Rasa bersalah atas masa lalunya kembali menghantui Bima. Dia merasa tidak pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Perlahan, dia menarik diri dari Laras dan anak-anaknya.
Laras merasakan perubahan pada Bima. Dia mencoba menjangkau suaminya, menanyakan apa yang salah, tapi Bima selalu menutup diri. Rasa frustrasi dan kesedihan mulai menggerogoti hati Laras.
Suatu hari, Laras menemukan buku harian Bima yang tertinggal di atas meja. Dia membuka buku itu dengan rasa penasaran dan menemukan curahan hati Bima tentang masa lalunya. Bima menceritakan tentang gadis impiannya yang dia tinggalkan demi mengejar karier di luar negeri. Gadis itu bernama Riana, dan Laras tercengang saat menyadari bahwa Riana adalah sahabatnya sendiri.
Laras dilanda kegalauan. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia mencintai Bima, tapi dia juga tidak ingin menyakiti sahabatnya. Dia terjebak dalam situasi yang rumit, di antara cinta dan persahabatan.
Laras memutuskan untuk menemui Riana. Dia menceritakan tentang isi buku harian Bima dan perasaannya sendiri. Riana yang bijaksana mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tidak menyalahkan Bima, dan dia juga tidak ingin merusak kebahagiaan Laras.
Riana menyarankan agar Laras berbicara dengan Bima. Dia harus jujur tentang apa yang dia rasakan dan mencari solusi bersama. Laras mengikuti saran Riana. Dia memberanikan diri untuk berbicara dengan Bima tentang isi buku hariannya.
Bima yang terpojok akhirnya mengakui perasaannya. Dia masih mencintai Riana, tapi dia juga tidak ingin kehilangan Laras dan anak-anaknya. Dia diliputi rasa bersalah dan kebingungan.
Ketiganya terjebak dalam situasi yang rumit. Cinta, persahabatan, dan rasa bersalah terjalin menjadi benang kusut yang sulit diurai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H