“Aku suka kamu.”
Kalimat yang mengudara secara tiba-tiba darinya itu membuatku yang sedang fokus pada layar laptop membeku. Rasanya badanku kaku ketika suaranya mengudara ke telingaku.
“Jangan bercanda, aku sedang fokus bikin jurnal,” malasku.
Dia tertawa. Dan sialnya, suara tawanya membuatku sedikit terganggu dan tersipu. “Aku serius.”
“Aku juga.”
Aku menatapnya malas, sedang dia menatapku penuh penekanan. Dan itu yang membuatku berpikir ‘ini serius?’.
“Aku benar suka kamu.”
Pengulangannya yang penuh penekanan itu membuat tubuhku menegang begitu saja. Bahkan, aku secara mendadak lupa bagaimana caranya mengatur ekspresi wajah. Dan mungkin karena mendapati ekspresiku yang demikian, dia tertawa.
“Tapi itu dulu, waktu kita masih SMA.”
Dengan cepat aku menghela napasku yang entah sejak kapan tertahan begitu saja. Dengan mata yang memutar malas, aku kembali fokus pada naskah yang sedang aku layout.
“Tapi aku serius, Ra. Aku pernah suka kamu.”
“Ya, aku juga.”
“Juga pernah suka aku?” tanyanya seolah berharap yang sama.
Aku diam. Bohong kalau misalnya aku bilang aku tidak pernah menyukai sosoknya yang kerap bertingkah manis padaku itu. Bohong kalau aku tidak tertarik padanya yang sampai sekarang masih sering membuatku tersenyum malu.
“Kepedean,” sanggahku setelah beberapa detik terdiam.
Dia berdecih, dan itu membuatku tersenyum tipis.
“Padahal aku sesuka ituloh sama kamu, dulu.”
“Terus mau diapain kalau misalnya aku suka kamu juga?”
Aku menatapnya dengan lagak sok serius, tanganku yang mulanya sibuk mengetik kugunakan untuk menyanggah dagu. Kuberikan pula senyuman miring padanya, seolah menantang jawaban apa yang akan dia berikan untuk pertanyaan itu.
Dia yang duduk di depanku tersenyum begitu manis. Untuk sesaat aku terpaku pada senyum itu. Senyuman yang rupanya masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Dan sialnya, aku masih saja terpesona dengan senyuman itu.
“Mungkin akan aku pacarin,” jawabnya setelah beberapa saat kami hanya saling bertatapan.
Aku mengernyit. Merasa bingung dengan kata ‘mungkin’ di kalimatnya. “Kenapa mungkin?”
Tubuhnya yang awalnya duduk tegak itu ia sandarkan, menyamankan diri sembari menyesap kopi miliknya. “Karena kalaupun aku mau, memangnya kamu akan setuju?”
Kini giliranku yang menyamankan posisiku. Aku tertawa kecil dan mengangguk sebagai respons dari pertanyaannya. “Bisa iya tapi bisa saja tidak.”
“Lihat! Kamu saja tidak bisa memastikan jawabannya.”
Lalu kami berdua ditimpa hening yang cukup sunyi. Sebuah keuntungan untukku memilih untuk duduk di area atap kafe ini adalah kesunyiannya. Aku jadi merasa lebih leluasa dalam bertindak dan berkhayal.
Seperti saat ini misalnya, aku yang sedang berkhayal berbicara dengan sosoknya yang sudah lama hilang. Sosok yang terakhir kali kulihat tergeletak rapuh di tanah, bersama cucuran benda anyir di sekelilingnya.
Senyumku yang kubuat senang itu mulai luntur secara perlahan, bersamaan dengan dirinya yang kulihat sejak tadi di depan mata. Ia menghilang, seperti bagaimana seharusnya ia memang tidak ada di sini.
Aku menurunkan pandanganku pada kedua tangan yang kutautkan. Di salah satu pergelangannya terdapat gelang yang sudah mulai luntur warna titaniumnya. Aku tersenyum sendu melihat itu, mengingat betapa tragisnya gelang itu kuterima dengan sedikit percikan-percikan merah di kotaknya.
“Padahal jika saat itu kamu bilang, aku pasti akan setuju, Ka,” monologku masih menyendu.
Aku akan berbohong jika aku tidak merindukannya. Merindukan masa-masa remaja yang ada dirinya di sana. Namun, yang bisa kulakukan saat ini hanya diam dan mengenangnya. Seolah-olah tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuknya selain itu.
Dalam diam dan hening yang kuciptakan sendiri itu, aku bisa mendengar bagaimana suara ramai mulai menghadang kepalaku. Suara gemuruh dari bisik-bisik orang-orang yang berkumpul menjadi satu, mengerumuni sesuatu penuh darah yang sudah ditutupi koran seadanya.
Aku juga ada di sana, terduduk tanpa tenaga ketika menyaksikan bagaimana tubuh itu mulai diangkat untuk dibawa ambulans. Tidak ada yang bisa kulakukan di sana selain menangis dan meraung menyebut namanya.
‘Loka, Loka, jangan pergi, Loka. Jangan pergi.’
Begitulah kiranya aku memanggilnya. Memohon padanya untuk tidak meninggalkan aku sendirian di sana. Namun, ia terlalu bisu untuk mengiyakan permohonanku saat itu. Karena nyatanya, dia sudah pergi terlalu jauh. Tanpa pamit, tanpa aba-aba.
Yang dia tinggalkan untukku hanyalah sebuah kotak penuh darah miliknya yang diberikan petugas padaku yang menunggu jasadnya. Katanya, itu ditemukan di sakunya.
Aku memejamkan mataku. Masih bisa kulihat bagaimana isi dari surat yang juga ada di dalamnya. Hanya satu kalimat, dan itu terus teringat setiap kali aku menutupkan mataku sesaat.
‘Ayo hidup yang lama bersamaku.’
Itulah yang tertulis di sana. Namun, belum lagi kotak itu ia berikan padaku, ia sudah melanggarnya.
“Hidup yang lama denganmu apanya, yang ada itu aku hidup yang lama tanpa kamu di dalamnya. Tega sekali,” rajukku sendirian entah pada siapa.
“Aku tidak pergi ke mana-mana,” bisik suara yang kembali kudengar itu.
Aku memejamkan mataku ketika aku merasakan seseorang memelukku dari belakang. Ia mengusap lembut pipiku dan entah mengapa, aku merasa bahwa saat itu dia tersenyum. Senyum yang begitu manis seperti diingatanku.
“Aku ada di sini, Mara. Bersamamu,” bisiknya kembali sebelum menyandarkan kepalanya di pundakku.
Aku tersenyum, mataku masih terpejam untuk beberapa saat lamanya. Membiarkan laptop yang seharusnya menjadi fokusku mulai mati layarnya. Aku membiarkan ketidakwarasanku mengambil peran. Aku bebaskan ia berkhayal dengan baik, memberikan aku kesempatan untuk dipeluknya lebih lama.
Hingga suara tawa dari sepasang pengunjung yang baru saja datang menyadarkanku dari khayalan. Membuat pelukan itu menghilang seketika, bersamaan dengan mata sendu yang kubuka perlahan.
Aku masih merindukannya, selalu merindukannya untuk waktu yang lama. Yang bahkan membuatku gila dan hilang akal kadang-kadang.
Keinginanku untuk bersamanya masih besar. Namun, kesempatan itu tidak pernah ada. Mengingat dia yang bahkan sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengan duniaku. Jika dulu kami memang bersama sebagai sepasang remaja hidup yang kasmaran, maka sekarang hadirnya hanya sebatas fatamorgana yang kubuat-buat.
Aku tertawa kecil ketika sadar aku melakukannya lagi. Membayangkan kalau dia hidup dan hadir kembali di sisiku. Dengan helaan napas yang memberat, aku membereskan semua barang yang kubawa. Aku memilih pergi dari sana setelah duduk begitu lama. Meninggalkan dua gelas kopi yang masih utuh.
Tepat ketika aku berbalik sebelum benar-benar pergi, dapat kutangkap sosoknya di sana. Memandangku dengan senyumnya yang selalu hangat. Tangannya melambai, seolah memberikan salam perpisahan yang tidak pernah sempat ia lakukan.
Aku hanya tersenyum tipis menatapnya. Karena mau bagaimanapun aku berusaha meninggalkannya di sana, nyatanya sosoknya yang selalu lebih dulu menghilang. Membuat meja itu kembali kosong, sama seperti perasaanku yang terus kosong setelah kepergiannya.
Karena seperti tinta di atas kertas, ia tak akan pernah hilang, meskipun kucoba untuk menghapusnya sekuat tenaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H