Aku mengernyit. Merasa bingung dengan kata ‘mungkin’ di kalimatnya. “Kenapa mungkin?”
Tubuhnya yang awalnya duduk tegak itu ia sandarkan, menyamankan diri sembari menyesap kopi miliknya. “Karena kalaupun aku mau, memangnya kamu akan setuju?”
Kini giliranku yang menyamankan posisiku. Aku tertawa kecil dan mengangguk sebagai respons dari pertanyaannya. “Bisa iya tapi bisa saja tidak.”
“Lihat! Kamu saja tidak bisa memastikan jawabannya.”
Lalu kami berdua ditimpa hening yang cukup sunyi. Sebuah keuntungan untukku memilih untuk duduk di area atap kafe ini adalah kesunyiannya. Aku jadi merasa lebih leluasa dalam bertindak dan berkhayal.
Seperti saat ini misalnya, aku yang sedang berkhayal berbicara dengan sosoknya yang sudah lama hilang. Sosok yang terakhir kali kulihat tergeletak rapuh di tanah, bersama cucuran benda anyir di sekelilingnya.
Senyumku yang kubuat senang itu mulai luntur secara perlahan, bersamaan dengan dirinya yang kulihat sejak tadi di depan mata. Ia menghilang, seperti bagaimana seharusnya ia memang tidak ada di sini.
Aku menurunkan pandanganku pada kedua tangan yang kutautkan. Di salah satu pergelangannya terdapat gelang yang sudah mulai luntur warna titaniumnya. Aku tersenyum sendu melihat itu, mengingat betapa tragisnya gelang itu kuterima dengan sedikit percikan-percikan merah di kotaknya.
“Padahal jika saat itu kamu bilang, aku pasti akan setuju, Ka,” monologku masih menyendu.
Aku akan berbohong jika aku tidak merindukannya. Merindukan masa-masa remaja yang ada dirinya di sana. Namun, yang bisa kulakukan saat ini hanya diam dan mengenangnya. Seolah-olah tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuknya selain itu.
Dalam diam dan hening yang kuciptakan sendiri itu, aku bisa mendengar bagaimana suara ramai mulai menghadang kepalaku. Suara gemuruh dari bisik-bisik orang-orang yang berkumpul menjadi satu, mengerumuni sesuatu penuh darah yang sudah ditutupi koran seadanya.