“Tapi aku serius, Ra. Aku pernah suka kamu.”
“Ya, aku juga.”
“Juga pernah suka aku?” tanyanya seolah berharap yang sama.
Aku diam. Bohong kalau misalnya aku bilang aku tidak pernah menyukai sosoknya yang kerap bertingkah manis padaku itu. Bohong kalau aku tidak tertarik padanya yang sampai sekarang masih sering membuatku tersenyum malu.
“Kepedean,” sanggahku setelah beberapa detik terdiam.
Dia berdecih, dan itu membuatku tersenyum tipis.
“Padahal aku sesuka ituloh sama kamu, dulu.”
“Terus mau diapain kalau misalnya aku suka kamu juga?”
Aku menatapnya dengan lagak sok serius, tanganku yang mulanya sibuk mengetik kugunakan untuk menyanggah dagu. Kuberikan pula senyuman miring padanya, seolah menantang jawaban apa yang akan dia berikan untuk pertanyaan itu.
Dia yang duduk di depanku tersenyum begitu manis. Untuk sesaat aku terpaku pada senyum itu. Senyuman yang rupanya masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Dan sialnya, aku masih saja terpesona dengan senyuman itu.
“Mungkin akan aku pacarin,” jawabnya setelah beberapa saat kami hanya saling bertatapan.