Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehangatan Keluarga Seharum Lembaran Buku, Sehalus Belai Bulu Kucing

15 Maret 2018   09:59 Diperbarui: 15 Maret 2018   14:15 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompal : Kompasianer Palembang

Sejauh apa pun manusia terbang, selalu butuh ia yang disebut pulang. Karena di rumah, ada mereka yang punya prasasti dalam hati ... dengan nama kita terpatri di atasnya.

Honestly, beberapa bulan terakhir saya sangat jarang pulang. Bukannya tidak kangen dengan rumah atau terlalu betah di kosan. Tapi ... di rumah, setiap sudutnya masih begitu mengingatkan saya pada mendiang papa yang berpulang akhir tahun lalu. Ya, maklumlah, luka kehilangan ini masih belum kering sepenuhnya.

Meski begitu, toh saya tetap butuh pulang. Saya sadar, masih punya mama yang pasti menanti dengan segenap masakannya yang berbumbu rindu dan bercita rasa kasih seorang ibu. Dua hal  yang saya tahu tidak akan pernah didapat dari warteg atau warung nasi padang terlezat mana pun.

Akhir pekan lalu saya pulang. Rencana awal sih sekalian mengumpulkan bahan untuk ikut sebuah event menulis bertema kehangatan keluarga. Tapi rupanya setelah sampai di sana, yang ada hanya bengong. Bingung sendiri.

Mau bagaimana lagi ... Faktanya saya bukan tipe anak yang akrab dengan mama. Yang dekat dengan beliau itu kakak lelaki semata wayang yang saat ini kebetulan tinggal jauh di Semarang. (Yah, semacam ada perjanjian dan kesepakatan tidak tertulis :  Saya anak papa, kakak anak mama ).

Saya sering dibilang bawel oleh teman-teman karena tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Tapi di rumah, saya cenderung pasif. Mungkin karena mama bukan tipe ibu yang hangat menurut saya. Beliau tidak pernah menghujani kami, anak-anaknya dengan pelukan. Tidak pula pandai menuangkan kasih sayangnya lewat kata-kata. Kalau beliau berbicara, kontennya  biasa didominasi omelan (mengomeli saya lebih tepatnya).

Saya juga demikian. Apa ya? Rasanya canggung saja jika harus "bermesra-mesraan" atau berakrab ria seperti yang biasa terjadi di keluarga lain ...  

Walau begitu, ada satu kebiasaan yang sangat, sangat  saya rindukan. Kebiasaan yang faktanya dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Tak peduli berapa pun anggota keluarga yang tersisa di dalam rumah.

Dengan sifat dan karakter masing-masing dari kami yang sangat berbeda dan bertolak belakang, entah bagaimana kami bisa punya satu hobi yang sama : membaca. Yah, tentu saja tidak lepas dari peran mama dan mendiang papa yang mewariskan kebiasaan baik ini sejak saya dan kakak masih sangat kecil. 

Saya masih ingat, di rumah lama kami di Bengkulu, papa punya sebuah ruang khusus semacam perpustakaan yang tinggi rak-rak bukunya mencapai langit-langit. (Sayang, koleksi bukunya kebanyakan tak terselamatkan dalam proses beberapa kali kami harus pindah rumah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun