Kami punya bacaan favorit masing-masing, pastinya. Papa yang kalem dengan buku-buku theologinya yang besar dan berat, mama yang cerewet dengan majalah emak-emak atau novel-novel metropop-nya, kakak yang tempramental itu maniak komik, dan saya adalah si random yang cenderung melahap buku apa saja (meski pilihan utama tetap komik dan novel-novel fantasi terjemahan).
Tentu saja kami cukup sering bertukar bacaan. Terutama jika sudah tidak ada buku baru lagi di rumah. Pernah suatu kali saat mendiang papa masih hidup, saya "kehilangan" komik-komik seri Detective School Q. Ketika berniat "menggeledah" seluruh sudut rumah demi menemukannya, saya mendapati pemandangan seperti ini di kamar kedua orang tua saya ...
"Sengaja digelapkan. Biar menghayati. Ini kasusnya seru. Mutilasi ...," jawab papa yang di-iya-kan penuh semangat oleh mama.
Saya hanya geleng-geleng. Dasar orang tua sarap, balas saya. Tentu saja hanya dalam hati. Saya masih waras, belum siap dikutuk jadi Malin Kundang Milenial.
Seringnya, kami membaca di satu ruangan. Ruang tengah dekat tv yang merangkap dapur paling favorit, meski tak menutup kemungkinan kami membaca bersama di teras atau ruang tamu. Tanpa harus diperintah atau aba-aba, kalau sudah tidak ada kesibukan lain, kami pasti otomatis mencari posisi senyaman mungkin untuk mulai membaca. Paling sering saat sore menjelang magrib, atau malam hari sebelum tidur.
Mama biasanya bergabung paling akhir karena beliau akan sibuk menyiapkan camilan terlebih dahulu. Meski favorit kami sekeluarga sebetulnya pempek dan pisang goreng, mama lebih sering menyiapkan camilan rebus-rebusan untuk momen seperti ini. Entah kacang, ubi, atau jagung rebus.
Yeah. Saya dan papa adalah pecinta kucing. Kami selalu punya banyak kucing di rumah. Rekor terbanyak pernah mencapai 16 ekor. Mama dan kakak sebaliknya. Mereka pembenci kucing yang selalu sebal dengan kehadiran adik-adik saya. Untungnya mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena papa-lah pemegang kendali penuh atas rumah. (Ah, tapi sebetulnya juga tidak benci-benci amat. Toh mereka juga terlihat senang kalau adik-adik saya itu sudah ndusel-ndusel manja di betis mereka).
Kucing-kucing yang selalu tahu namanya masing-masing itu akan mendekat pula jika tangan-tangan kami sudah memegang buku. Ada yang memilih bergelung di pangkuan mama, di perut saya, di sebelah papa atau di betis kaki kakak yang penuh rambut. Ada yang jahil memainkan lembaran-lembaran buku yang dibuka satu per satu, ada yang mengincar camilan di piring (meski jelas-jelas tidak doyan), ada yang iseng menggigiti jari-jari kaki, ada pula yang duduk tenang, mendengkur atau memijati bagian tubuh kami dengan telapak kaki mereka yang lembut dan kenyal.
Meski tak pernah mengambil kursus bahasa kucing, saya merasa ... mengerti mereka. Mereka seperti kompak mengatakan, "Hey, manusia. Jangan abaikan kami, kami juga bagian dari keluargamu, tahu!"