Sejauh apa pun manusia terbang, selalu butuh ia yang disebut pulang. Karena di rumah, ada mereka yang punya prasasti dalam hati ... dengan nama kita terpatri di atasnya.
Honestly, beberapa bulan terakhir saya sangat jarang pulang. Bukannya tidak kangen dengan rumah atau terlalu betah di kosan. Tapi ... di rumah, setiap sudutnya masih begitu mengingatkan saya pada mendiang papa yang berpulang akhir tahun lalu. Ya, maklumlah, luka kehilangan ini masih belum kering sepenuhnya.
Meski begitu, toh saya tetap butuh pulang. Saya sadar, masih punya mama yang pasti menanti dengan segenap masakannya yang berbumbu rindu dan bercita rasa kasih seorang ibu. Dua hal yang saya tahu tidak akan pernah didapat dari warteg atau warung nasi padang terlezat mana pun.
Akhir pekan lalu saya pulang. Rencana awal sih sekalian mengumpulkan bahan untuk ikut sebuah event menulis bertema kehangatan keluarga. Tapi rupanya setelah sampai di sana, yang ada hanya bengong. Bingung sendiri.
Mau bagaimana lagi ... Faktanya saya bukan tipe anak yang akrab dengan mama. Yang dekat dengan beliau itu kakak lelaki semata wayang yang saat ini kebetulan tinggal jauh di Semarang. (Yah, semacam ada perjanjian dan kesepakatan tidak tertulis : Saya anak papa, kakak anak mama ).
Saya sering dibilang bawel oleh teman-teman karena tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Tapi di rumah, saya cenderung pasif. Mungkin karena mama bukan tipe ibu yang hangat menurut saya. Beliau tidak pernah menghujani kami, anak-anaknya dengan pelukan. Tidak pula pandai menuangkan kasih sayangnya lewat kata-kata. Kalau beliau berbicara, kontennya biasa didominasi omelan (mengomeli saya lebih tepatnya).
Saya juga demikian. Apa ya? Rasanya canggung saja jika harus "bermesra-mesraan" atau berakrab ria seperti yang biasa terjadi di keluarga lain ...
Walau begitu, ada satu kebiasaan yang sangat, sangat saya rindukan. Kebiasaan yang faktanya dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Tak peduli berapa pun anggota keluarga yang tersisa di dalam rumah.
Dengan sifat dan karakter masing-masing dari kami yang sangat berbeda dan bertolak belakang, entah bagaimana kami bisa punya satu hobi yang sama : membaca. Yah, tentu saja tidak lepas dari peran mama dan mendiang papa yang mewariskan kebiasaan baik ini sejak saya dan kakak masih sangat kecil.
Saya masih ingat, di rumah lama kami di Bengkulu, papa punya sebuah ruang khusus semacam perpustakaan yang tinggi rak-rak bukunya mencapai langit-langit. (Sayang, koleksi bukunya kebanyakan tak terselamatkan dalam proses beberapa kali kami harus pindah rumah).