***
Hari ini, aku mengantar Davie ke sekolah. Tapi sepertinya terlalu pagi. Belum ada tanda-tanda keberadaan siswa lain di halaman. Meski demikian, beberapa staf guru sudah terlihat batang hidungnya.
“Papa...,” Davie menggamit lenganku. Dagunya menunjuk pada sosok seorang staf perempuan yang semula tampak asyik berjongkok mengamati rumpun melati, namun cepat berdiri begitu menyadari keberadaan kami. “Itu..., ibu guru. Nama—nya... i...ibu...”
“Nada?”
Meski tenggorokanku tercekat, nama itu terucap begitu saja. Tidak salah lagi, perempuan di depanku ini sungguh-sungguh Nada. Meski rambut hitam panjangnya dulu telah berganti model dan dicat kecokelatan, namun wajah teduh itu, binar mata itu..., juga tahi lalat tepat di sudut mata kirinya itu masih sama dengan yang kulihat hampir tujuh tahun lalu.
Aku tak tahu mana di antara kami yang lebih terkejut. Nada sama diamnya dengan patung Buddha selama beberapa saat. Namun kemudian, bibir mungil kemerahan itu mulai bergerak.
“Dirga?” ucapnya tanpa suara.
Aku mendesah lega. Dia masih mengenaliku.
Tatapan Nada beralih pada Davie, sebelum akhirnya kembali mengunci pandanganku.
Entah bagaimana menjelaskannya, namun seperti dulu, saat ini pun menerjemahkan bahasa mata Nada masih sama mudahnya. Aku seolah dapat dengan jelas mendengarnya berkata, “Jadi..., dia anakmu? Aku baru mengajarnya sebentar. Aku baru saja pindah. Apa kabar kamu, Dirga? Ga nyangka, ya? Kita bersua di sini?”